Kompas

Demokrasi Semar, Catatan Februari

5,578 Views

tejodalang1DALAM diskusi peluncuran buku Mendidik Manusia Merdeka-63 Tahun YB  Mangunwijaya, tahun 1995, budayawan Dr Sindhunata pernah sangat serius  mengasosiasikan tokoh wayang Semar dengan tokoh konkret KH Abdurrahman  Wahid, alias Gus Dur yang hadir pada acara di Yogya itu. Asosiasi  dibikin atas dasar sikap-sikap (politik) Gus Dur. Bahkan sampai  perkara fisik Gus Dur yang Sindu nilai persis Semar. Penilaian itu tak mendapat gaung. Bisa jadi karena penyamaan dianggap berlebihan. Atau  karena wayang, tempat Gus Dur diandaikan, dianggap sepele. Padahal mungkin tidak terlampau sepele.

Itu bisa sekelebat saja tampak pada bagaimana wayang masih memperoleh  dukungannya dan disadari atau tidak menjadi pandangan hidup. Mereka  senantiasa tumpah ruah pada pertunjukan wayang erutama di kota-kota  besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Tak saja  kaum tua yang sudah bau tanah. Tak sedikit anak-anak muda yang menjadi  penonton histeris. Anak-anak juga ada. Inilah suatu fakta yang jarang  dilirik media massa cetak, tapi dengan jeli diamati oleh stasiun televisi seperti Indosiar dan TPI, serta radio-radio swasta di  kota-kota besar.

Pada dialog di Laga Pub Bandung, sebuah diskusi bulanan yang antara  lain diprakarsai pemusik Harry Roesli, seorang mahasiswi Inggris yang  sedang belajar wayang di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung seperti  kembali menyadarkan negeri ini (seringkali penghuni malah tak sadar  akan potensi rumahnya), betapa wayang adalah perkara “serius”. Ia  bukan perkara sepele karena sesungguhnya mewakili bawah sadar  masyarakat pendukungnya yang tak saja kanak-kanak.

Tak heran begitu banyak lakon-lakon gubahan baru atas dasar Ramayana  dan Mahabarata, yang pencapaiannya setaraf dengan tema-tema tradisi  tarekat. Sebut misalnya pengalaman eksistensial Bima dalam kesadaraan  manunggaling kawula gusti pada lakon Dewa Ruci. Sebut pula misalnya  pencapaian kesadaran kesemestaan Arjuna pada lakon Begawan Ciptaning. “Kalau di Eropa, teater boneka hanya digemari anak-anak,” kata  mahasiswi yang agak lumayan itu.

***

KALAU demikian halnya, kalau benar wayang bukan perkara sepele karena  disadari atau tidak mencerminkan pandangan hidup masyarakat pendukungnya yakni orang-orang dewasa (selain anak-anak), maka  pengandaian Gus Dur dengan Semar perlu diberi catatan di sini. Pengandaian tersebut, setelah sekian waktu tak digubris oleh para  sarjana, perlu diberi catatan hari ini sekaligus mencatat salah satu  topik pertemuan dalang bulan lalu di Jakarta tentang bagaimana  kekuasaan hendak mencaplok kesenian wayang.

Sebelumnya, tentang betapa wayang mencerminkan pandangan hidup  masyarakat pendukungnya, bisa diberi lagi tambahan catatan. Para  dalang silakan membuat kreasi-kreasi   baru yang bersifat “fisik” menyangkut atraksi pertunjukan dan musik.
Namun kreasi-kreasi baru yang lebih “non-fisik”, yang tematis baru,  akan berkemungkinan besar ditolak. Pendukung wayang akan uring-uringan jika Semar dalam lakon baru Semar Mesem misalnya tidak diabdikan pada  Pandawa, yang seringkali diasosiasikan pada kaum mapan, tapi dikembalikan ke khittah untuk mengabdi kebenaran (dan kebenaran  tersebar di mana-mana termasuk pada Kurawa; alias tidak ada  “hitam-putih” seperti dalam realitas konkret).

Mudah dimengerti jika pada tahun 70-an, ketika wayang dihidup-hidupkan  lagi antara lain melalui program Banjaran Bima oleh tokoh-tokoh, di  antaranya Sudarko Prawiroyudo, yang hidup (sampai kini) adalah kreasi  baru “fisik” seperti penggunaan lampu warna-warni, penggabungan dengan  tari Bedaya, musik dengan drum, simbal dan trompet, dan kini dengan  pelawak. Tapi nyaris tak ada pembaruan-pembaruan, atau tepatnya pengembalian ke khittah, yang berarti pada sektor tematis.

Pada konteks itulah, barangkali, media massa cetak kecele. Mereka  menganggap wayang (lama) sudah mati, semati-matinya mati, karena  ketika denyut modern telah masuk dengan segala strukturnya, termasuk  struktur demokrasi, seharusnya tak ada tempat buat katakanlah mental  wayang. Penonton tak akan menjubeli pertunjukan wayang (lama), karena  menganggap kesenian itu sudah tidak “bunyi” untuk hari ini.

Orang lupa bahwa di sini, di tanah ini, bisa jadi struktur yang  “fisik” itu tak diikuti oleh yang “nonfisik” seperti sikap mental.  Penilaian ini bisa lebih diyakinkan oleh sejarawan Dennys Lombard  melalui karya besarnya Nusa Jawa: Silang Budaya, bahwa sejak dulu  pengaruh apa pun yang datang termasuk Islam, disambut dan disesuaikan  dengan cita rasa lokal.

Dengan kata lain, ada inersia atau kelembaman yang luar biasa  menyangkut sikap mental. Maka kalau tadi disebut wayang mencerminkan pandangan hidup masyarakat pendukungnya, sebetulnya lebih dimaksud  sebagai masyarakat pendukung yang amat lembam terhadap nilai-nilai  baru.

***

KALAU demikian halnya, usaha para Wali untuk meng-Islam-kan wayang  supaya lebih demokratis antara lain melalui pengadaan panakawan atau  simbol rakyat seperti Semar, bisa dibilang kurang mencapai hasil juga  akibat kelembaman sikap mental tersebut (meskipun masih diperdebatkan,
tetap besar diyakini bahwa adaptasi Ramayana dan Mahabarata dari India  dilakukan oleh para Wali termasuk penciptaan tokoh-tokoh baru seperti  Semar; pada wayang Cirebon jumlah panakawan malah sembilan, diyakini  sebagai lambang jumlah wali).

Semar yang dirancang sebagai panakawan, bukan punokawan seperti salah  kaprah selama ini (pana=terang atau menerangi, kawan= sejawat dengan  kedudukan sejajar), yang seharusnya dilihat sebagai wakil Tuhan yang  paling nyata kemudian hanya dilihat sebagai gombal, sebagai gedibal para satria. Dalam wayang (lama) kata-kata Semar terhadap satria  bukanlah kata-kata yang mengikat seperti, dalam teori, seharusnya DPR  terhadap eksekutif.

Semar boleh omong apa saja, melalui (seperti fisiknya yang samar-samar  antara mesem atau tersenyum dan menangis) tembang pocung atau apa pun  yang tak jelas antara tangis dan tawa, antara marah dan memohon, dan  lain-lain “kontradiksi”, tapi keputusan sepenuhnya mutlak di tangan
Arjuna. Bahkan diyakini bahwa semakin baik dalang, semakin membuat  Semar tak memberi petunjuk pada Arjuna kecuali melalui sanepo, pasemon atau kiasan (yang sama sekali tak mengikat dengan sanksi misalnya). Dan perlu diketahui bahwa ending gubahan baru Semar Boyong, adalah  kembalinya Semar, setelah membelot, pada Pandawa (bukan seperti khittah bahwa Semar pengabdi kebenaran dan kebenaran ada di mana pun).

Kerja kebudayaan mudah-mudahan bisa dimulai. Apakah hal demikian  karena masyarakat pendukung wayang memang lembam terhadap nilai-nilai  baru. Atau, bersamaan itu, kekuasaan juga menghendaki hal serupa.  Terbukti, misalnya, simbol rakyat Semar yang seharusnya menyuarakan  aspirasi rakyat kini malah menyuarakan atasan melalui Ria Jenaka TVRI.

Sekian catatan Februari. (H Sujiwo Tejo)