Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 133 Dewi Siti Malinda Depan Graha Pena

4,768 Views

Episode133Lingsir wengi.

Bahasa Indonesianya: lewat tengah malam.

Di pinggir jalan depan Graha Pena Suroboyo, ada perempuan setinggi Malinda Dee nyetop taksi. Namun, tak satu pun taksi mau berhenti. Mereka takut kalau-kalau itu cuma manusia yang tidak terlalu manusia.

Padahal, walau belum tentu Malinda atau Melinda Dee yang sedang disidang kasus perbankan, perempuan murah senyum itu sungguh-sungguh manusia lho. Ia napak bumi kok. Rasa kuatir pun ia punya. Kalau Kuntilanak maupun sundel bolong, mana punya rasa was-was? Misalnya, ia punya rasa ketar-ketir harga wayang sekotak akan turut naik jika nanti harga BBM naik. Berarti, kandas sudah cita-citanya mengoleksi wayang sekotak.

’’Ah, tak usahlah cemas kau itu,’’ tegas suaminya tadi sore. ’’Yang ikut naik gara-gara harga BBM naik kan tak semuanya… paling makanan. Wayang tak butuh makan to? Belum pernah itu aku lihat wayang makan-makan. Ngemil saja tidak…’’
’’Memang ndak ada, Bang,’’ batin perempuan itu. ’’Tapi, para pembuat wayang, perajin tatah sungging, mereka perlu makan-minum. Kerbau juga perlu makan-minum sebelum tanduk dan kulitnya diiris-iris jadi bahan ayang.’’

Pertengkaran kecil sore itu akhirnya merembet ke tetek-bengek lain perkara rumah tangga. Sore pun berganti senja. Senja menjadi petang. Petang terus berlanjut hingga akhirnya perempuan itu sudah berdiri dalam gerimis dengan koper abu-abu, syal warna jingga, di tepi jalan di depan pusat Jawa Pos, Graha Pena.

***

’’Kok kelihatannya murung sekali ya, Mbak?’’ tanya sopir taksi gelap itu. Ia satu-satunya sopir Surabaya yang akhirnya lulus uji nyali mengangkut perempuan itu.

Yang ditanya, duduk di belakang, tak acuh. Sekian lama hening hingga Wonokromo pun sudah lewat, sopir lalu mencoba membuka percakapan lain.

’’Maaf, Mbak. Malam-malam begini, bolehkah saya minta komentar Mbak soal kekalahan PSSI dari Bahrain yang nol-sepuluh itu?’’

Yang ditanya, masih duduk di belakang, dan masih tak acuh. Kini tatapan matanya ke Tugu Pahlawan dan taman-taman yang mengitarinya. Hening cukup lama. Tak terasa taksi gelap sudah menjelang keblasuk ke arah Gresik.

’’Maaf, Mbak. Mulai tadi saya belum tanya. Kalau nggak merepotkan Mbak, bolehkah saya bertanya, tujuan kita ini sebetulnya ke mana ya?’’

Akhirnya, perempuan itu mau menjawab setelah membetulkan syal jingganya, ’’Terus saja putar-putar, suka-suka Sampeyan, Mas. Saya juga menikmati kok… Saya juga nggak merasa repot menjawab pertanyaan Sampeyan. Repot apa? Wong saya cuma duduk-duduk di belakang ini. BBM-an juga nggak. Mas juga nggak repot, kan?’’

’’Nggak kok. Saya cuma nyetir. Hehehe… Nyetir sambil SMS-an juga nggak. Hmmm… Iya, tapi tujuan akhirnya ke mana ya Mbak, ya?’’ ’’Nggak usah pakai tujuan-tujuan… jalan saja, Mas!’’ ’

’Lho?’’

’’Heran ya, Mas? Karena saya naik taksi ndak pake tujuan? Ndak usah heran, Mas. Lha wong negara kita saja juga ndak punya tujuan…’’

’’Lho? Kan ada, Mbak? Melindungi fakir miskin dan anak telantar… mewujudkan masyarakat yang adil dan…’’

’’Halah itu kan slogan, Mas! Bukan tujuan. Rumah-rumah tangga juga banyak yang nggak punya tujuan. Ndak usah jauh-jauh, contohnya ya saya sendiri, Mas.’’

Sopir taksi gelap itu mencium gelagat bahwa si perempuan bakal curhat.

***

Atas curahan hati penumpang cantiknya, Pak Sopir yang mengenakan kopiah haji warna putih mangkak itu kasih saran. Menurut dia, mau harga BBM naik atau turun, tetap saja masih banyak jalan menuju Roma. Kalau tak mampu beli wayang sekotak gara-gara harga BBM naik, ya belilah satu-satu untuk pajangan di rumah. Nyicil. Semampunya.

Pertama, pilih wayang yang tidak umum. Pajang di ruang tamu. Umpamanya, Kilatmeja. Jarang orang tahu bahwa raksasa itulah penjaga gapura negeri Alengka. Lidahnya sangat-sangat-sangat panjang. Bisa menjulur sampai sepanjang pantai. Kera putih Hanuman pernah ketipu. Ia kira sedang malang kadak di pesisir. Ternyata, itu hamparan lidah Kilatmeja. Mak leb. Seketika lidah itu ditariknya buat ngemplok Hanuman.

’’Orang-orang penjilat sekarang makin banyak. Mereka kalau bertamu ke rumah Mbak pasti tersindir,’’ kata Pak Sopir.

’’Hmmm, belum tentu mereka bisa disindir… Eh, Mas Sopir, kalau di wayang, ada nggak tokoh yang dilukai wajahnya saking sudah keselnya kita… Nggak pakai hukam-hukum lagi. Itu lho kayak koruptor yang dibacok di Bandung… Ada nggak?’’

Setelah mikir-mikir, Pak Sopir dapat ide menceritakan tindakan Kertanegara yang menentang hukum. Ia lukai wajah Meng Khi. Padahal, itu sekadar utusan Kubilai Khan dari Mongolia yang nyuruh Kertanegara takluk. Utusan Arya Penangsang, seorang pekatik alias tukang kuda, dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Panjawi dari pihak Jaka Tingkir. Itu juga di luar hukum.

’’Ah, tapi itu di luar wayang, Pak Sopir. Kertanegara kan raja terakhir Singosari. Konflik Arya Penangsang-Jaka Tingkir itu kan perkara di Babad Tanah Jawa… Saya minta yang cerita wayang…’’

’’Oh, ada, Mbak,’’ Pak Sopir serta merta ingat kisah Ramayana. ’’Raden Lesmana. Ada. Ia puntir hidung perempuan cantik sampai growong. Berdarah-darah. Perempuan itu lalu kembali ke wujud aslinya, Sarpakenaka. Raksasa perempuan itu utusan dan adik kandung Prabu Dasamuka dari Alengka.’’

Ciiiiiiiittt…!!!

Taksi gelap tiba-tiba berhenti.

’’Kok ngerem dadakan, Mas?’’ perempuan yang hampir terantuk sandaran kepala jok depan itu heran.

’’Lihat, Mbak, di depan sono itu ada razia. Mobil saya ini Esemka. Bukan produk asing. Ini produk putra-putri Indonesia. Tapi, tidak lulus uji emisi…’’ ’

’Apa yang menguji emisi itu orang asing, Mas? Takut mobil-mobilnya kesaingi?’’

’’Entahlah. Wajah penguji emisi itu sih pribumi tulen, Mbak. Ndak tahu kalau aslinya. Sarpakenaka kan juga bisa berubah-ubah wujud.’’