Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 141 Wawancara Limbuk – Dahlan Iskan

6,126 Views

STcartoon1Argo Bromo Anggrek dari Jakarta saat itu belum tiba di Stasiun Pasarturi Surabaya. Kabarnya di Benowo lokomotifnya bermasalah. Nunggu loko pengganti. Tapi nduk ruas Juanda ke Sidoarjo dekat perlintasan rel Aloha, Limbuk sudah mergoki Mas Dahlan Iskan.

“Hubungane opo antara Argo Bromo Anggrek belum nyampe Pasarturi terus di tempat yang nggak ada hubungannya, Aloha, Limbuk bertemu Pak Menteri?” tanya ponokawan Gareng ke sang adik, Bagong.
“Ya, apakah kabeh di alam ndonya ini harus punya hubungan?” Bagong menangkis. “Contoh: Aku kemarin ketinggalan mobil Angguna nduk Bungur dan Joyoboyo, tapi Presiden SBY tidak ketinggalan mobil kepresidenan. Kan kalimat itu nggak onok hubungane to? Tapi sah-sah saja kan?”

Seterusnya, seperti adatnya, omongan Bagong ndak bisa mandek. Menurutnya semua hal ndak harus ada hubungannya. Manusia sudah pasti punya hubungan dengan orangtuanya, sedulur adik-kakak, dengan teman-teman, tapi belum tentu punya hubungan paseduluran dengan Presiden SBY.

“Ya tetap berhubungan to Gong. Hubungan antara rakyat dan presidennya. Wong beliau presiden kita semua…” bantah Gareng.
“Tapi aku nggak milih dia!”
“Tapi beliau pilihan banyak orang. Dan kita harus tunduk pada kesepakatan banyak orang…” Gareng sambil garuk-garuk kepala.

Petruk seperti biasa akhirnya tampil jadi penengah. “Gini lho gini, Kang Gareng,” ujarnya lirih sambil kembali mendudukkan Gareng di amben.

“Sebenarnya, Kang Gareng, omongan Bagong tadi, antara Argo Bromo Anggrek dan Pak Dahlan Iskan, kalau dipikir-pikir ada sambung rapetnya juga. Satunya di stasiun Pasarturi, satunya di perlintasan rel Aloha. Yang menghubungkan adalah ya rel-rel itu. Rel dari Pasarturi berhubungan dengan rel Stasiun Gubeng dan Stasiun Semut dan Stasiun Wonokromo. Nah, rel-rel itu terus terhubung dengan lintasan rel Aloha…”

Yo wis. Bagong akhirnya mengendur. “Aku punya hubungan dengan bapakku. Bapakku dekat dengan Pak Camat. Pak Camat sohibnya Pak Bupati. Pak Bupati akrab dengan Pak Gubernur yang cs ama Pak SBY…Gitu kan maksudmu, Truk?”
Gareng pun kemudian mengalah. Sulung ponokawan ini menyuruh Bagong melanjutkan cerita tentang pertemuan Limbuk dengan Mas Menteri di lintasan rel Aloha, yang masih ada hubungannya dengan rel Pasarturi.

***

Limbuk, abdi dalem kerajaan Astina itu begitu kepergok Mas Dahlan langsung menyodorkan tape recorder. Wawancara. “Kang Dahlan, siapa tokoh yang paling Sampeyan kagumi….Pilih Prabu Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula atau Sadewa?” tanya Limbuk menyebut lengkap tokoh-tokoh Pandawa.

Ternyata Kang Dahlan yang baru dari membantu Pak Raden itu bukan tipe penurut yang menyukai tipe-tipe pilihan berganda seperti dalam Ujian Nasional. Jawaban Mas Menteri di luar pilihan yang umumnya disediakan oleh negara.
“Tokoh wayang idola saya bukan Bima, bukan Prabu Kresna, bukan pula Gatutkaca. Tapi Dursasana!”
Hah? Limbuk kaget. Saking begongnya hampir saja ia ditabrak sepeda motor Madridista yang fruftrasi karena Real Madrid kalah. Dursasana? Tokoh Kurawa yang kerjanya cengengesan dan jahat itu?

“Menurut saya Dursasana tidak jahat. Dia hanya agak bodoh. Terutama kalau sudah di depan Patih Sengkuni. Tapi saya suka Dursasana karena bagaimana menjadi saudara yang paling bongsor di antara 100 orang bersaudara dia masih bisa berjenaka…”

Sambil menyimak Mas Dahlan, Limbuk beberapa kali mencubiti kupingnya sendiri. Ia khawatir kalau-kalau salah dengar. Ternyata tidak. Ia tanya tukang ojek dan tukang becak yang turut merubung, ternyata menurut mereka benar bahwa Mas Dahlan memang mengaku sebagai fans Dursasana, ksatria dari Banjarjunut.

“Iya kan, Bu Limbuk? Dursasana masih selalu ketawa-ketawa kan, Bu? Bukankah bongsor di antara 100 saudara seharusnya selalu dalam keadaan stres memikirkan saudara-saudaranya? Dursasana tidak. Bahkan ia masih bisa punya selera humor dengan cara mengejek dirinya sendiri. Sebaik-baik orang, menurut pendapat saya, adalah orang yang masih mampu mengejek dirinya sendiri. Apalagi ejek-diri itu dilakukan sebelum mengejek orang lain!”

***

Membaca reportase Limbuk Videobokepwati, redaktur Arief Santosa agak mandek mangu. Ia ragu-ragu. Benarkah Mas Dahlan Iskan mengidolakan Dursasana. Atasannya, Leak Kustiya, juga was sumelang. Keduanya baru sreg setelah Limbuk sesumbar, “Kalau wawancara ini bohong, saya bersedia digantung di Monas.”

Ternyata pengaruh dari pemuatan berita itu luar biasa. Hampir semua orang kini mencopot pajangan wayang idolanya di rumah dan perkantoran. Mereka menggantinya dengan Dursasana. Puntadewa, Arjuna dan lain-lain ditanggalkan dari gantungan di Monas, eh, di tembok.

Orang-orang itu hampir tanpa kecuali. Yang mulai memasang wayang Dursasana di dinding-dinding itu ya penggemar Pak Ical (Bakriedista), ya fans Pak Susilo Bambang Yudhoyono (Susilisti), supporter Pak Jusuf Kalla (Kallaniti), ya Pak Prabowo (Prabodlian), Pak Surya Paloh (Palohcious), Pak Wiranto (Wirantoers), Ibu Megawati (Megazen) termasuk ya bobotoh Mas Dahlan Iskan sendiri (Dahlanian).

Kini di rumah dan perkantoran kelompok-kelompok yang namanya terinspirasi dari nama-nama fans club Liga Eropa itu telah terpajang Raden Dursasana dalam pose ketawa santai kepingkel-pingkel.

Maka semuanya juga santai ketika mendengar bahwa usaha Kang Menteri berhasil di beberapa hal namun mentok di beberapa hal lain. Konon salah satu yang Kang Menteri mental-mental adalah ketika berusaha membasmi mafia minyak.
“Halah, tak usah risau. Tenang saja. Pasti Pak Dahlan sekarang sedang kepingkel-pingkel mengejek dirinya sendiri,” celetuk seorang Dahlanian sambil menirukan gaya terbahak-bahaknya Dursasana.

“Apa karena mafia minyak itu ujung-ujungnya berhubungan dengan kekuasaan, Truk?” tanya Gareng mengernyit.
“Embuh, Reng. Yang jelas rel lintasan Aloha itu masih ada hubungannya rel Pasarturi terus sampai Stasiun Gambir dekat Istana…”