Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 143 Apel Washington di Mulut Gua

5,227 Views

STcartoon1Imbas cebloknya pesawat Sukhoi SJ – 100 ndak cuma pada dunia Indonesia. Dunia wayang pun terkena dampaknya. Masyarakat blok Pandawa dan blok Kurawa podo-podo berkabung. Apalagi warga kota Ekacakra. Sudah nduk sana ada raksasa yang per minggu meminta korban manusia, eh sekarang terdengar kabar tentang jatuhnya kapal terbang di Gunung Salak. Kesedihan mereka jadi bertumpuk-tumpuk.

“Yang juga menyedihkan dari kecelakaan montor muluk di Gunung Salak itu karena mereka saling menyalahkan … Yang sopir kapal terbangnya salah kek… Yang salah pesawatnya kek … Petugas di Bandara yang menyiapkan penerbangan juga tak luput dari tudingan bertindak ceroboh …”

Ponokawan Gareng ada benarnya. Setiap ada musibah, orang-orang yang berwenang di negeri itu kerjanya saling menyalahkan. Waktu jembatan Kutai Kartanegara ambrol juga sami mawon kan?

Ekacakra lain. Kejadian nduk sana sudah jelas salah siapa. Rajanya yang salah! Bawahan dan seluruh rakyat ndak lagi tunjuk-tunjukan hidung untuk saling nyalahno. Wong ada raksasa bernama Bakasura, pemakan apapun termasuk manusia, kok rajanya malah lari ke Vetrakiya. Andai raja tersebut rawon, pasti jenis rawon yang nggak pakai kluwek nggak pakai daun jeruk purut.

Ya, bener, di Ekacakra orang tidak saling mengelirukan seperti pas terjadi kemacetan arah ke Sutos di Surabaya, kemacetan sepanjang Kutai sampai pintu keluar RKZ, maupun kemacetan dari pintu keluar Tol Kebomas arah ke Lamongan. Sudah jelas di Ekacakra bahwa semua ini berkat kesalahan orang nomor satu: Sang Raja.

Karena sudah jelas siapa yang mestinya bertanggung-jawab, warga Ekacakra jadi kompak dan mau berembuk. Mereka meminjam sila yang sudah jarang digunakan di Indonesia, yaitu sila ketiga dan keempat Pancasila. Raksasa Bakasura mereka minta untuk tidak setiap saat memangsa manusia Ekacakra.

“Tinggallah kamu di dalam gua di sekitar Ekacakra. Setiap akhir pekan, kami akan menyediakan satu gerobak buah-buahan, padi dan seluruh hasil tanem-tuwuh. Gerobak ini akan ditarik oleh dua kerbau dan seorang manusia sampai di mulut gua. Kamu boleh sekalian memangsa kerbau dan manusianya,” kata seorang yang mewakili seluruh fraksi di Ekacakra.

***

    Upacara penghidangan korban kepada raksasa Bakusura berlangsung seperti kesepakatan. Setiap akhir pekan ada manusia yang dilahap habis oleh sang monster. Peristiwa mencekam itu sudah berlanjut tujuh tahunan ketika datang ke Ekacakra rombongan Pandawa dan ibunya, Dewi Kunti.

Ketika itu Dewi Kunti dan Pandawa datang ke Ekacakra setelah lolos dari tragedi pembakaran Istana Kardus. Istana ini dalam pedalangan Jawa populer dengan istilah Bale Sigolo-golo. Dalam lakon tersebut pihak Kurawa membakar perkemahan kaum Pandawa yang terbuat dari bahan gampang kobong. Melalui terowongan di bawah istana kardus itu Pandawa berhasil melarikan diri sampai akhirnya njedul di Ekacakra.

Di Ekacakra mereka ditampung oleh seorang Brahmana. Brahmana ini pula yang menjamin dan melindungi Pandawa dari razia senjata api oleh aparat keamanan Ekacakra. Maklum, senjata Arjuna waktu itu memang tak lagi berupa panah, tombak dan keris. Senjata penengah Pandawa itu sudah berupa pistol.

Hah? Pistol?

Iya. Senjata api seperti yang sering dipakai para koboi Nusantara. Apakah sang Brahmana menyuap aparat? Tidak. Di Ekacakra, aparat keamanan bukanlah setipe WC yang bisa disogok-sogok. Brahmana itu yakin Arjuna orang baik. Senjatanya pasti dipakai untuk tujuan kebenaran pula. Maka, berkat mantera sang Brahmana, aparat keamanan simsalabim melihat pucuk-pucuk pistol Arjuna itu sebagai busur panah dan semacamnya.

Demikianlah. Lalu cukup lama Pandawa dan Kunti hidup atas kebaikan keluarga sang Brahmana sampai di suatu malam Kunti mendengar percakapan dan tangis keluarga Bramana tersebut.

“Pagi hari nanti itu aku saja yang akan menemani dua kerbau dan gerobak buah ke mulut gua,” dari dinding anyaman bambu Dewi Kunti mendengar sang Brahmana bicara di sela-sela tangis istrinya.

***

    Andai ponokawan Gareng, Petruk dan Bagong turut nguping dialog mengenaskan itu, mungkin mereka akan berkesimpulan bahwa sang Brahamana sedang meminjam sila kedua Pancasila, sila yang juga sudah jarang dipakai di Indonesia: Peri kemanusiaan.

Atas nama peri kemanusiaan, sang Brahmana yang sudah sepuh tak tega melihat anak-anak muda dikorbankan kepada raksasa Bakasura. Biarlah hanya di Indonesia anak-anak muda dikorbankan melalui jeratan kasus-kasus korupsi. Rakyat kemudian tak percaya lagi pada generasi muda. Kaum sepuh akan tetap menjadi idaman untuk menjadi pemimpin masa depan. Janganlah kelicikan setaraf itu terjadi di Ekacakra.

“O, jangan engkau yang menjadi korban, Kakang Mas. Biar aku saja korbannya,” terdengar istri Brahmana itu berteriak dalam tangis. Anak perawan mereka menyahut juga dalam tangis, “Romo Ibu, aku sajalah korbannya.”

Ketiganya lantas terdengar berdiskusi dalam isak tangis ibu dan anak. Mereka berdiskusi cukup lama tanpa rasa takut karena di Ekacakra memang tidak ada laskar-laskar yang boleh seenaknya membubarkan diskusi. Tak terasa rembukan itu berlangsung sampai akhir pekan dan tahu-tahu raksasa Bakasura sudah mati. Jasadnya sudah diseret tergeletak di gerbang kota.

Ternyata, tanpa perintah, cerita Kunti dari hasil ngupingnya sudah cukup menggerakkan Bima ke mulut gua bersama dua kerbau dan gerobak buah. Bima mengisi gerobak itu dengan Apel Malang dan Apel Washington. “Sebelum mbadog kami semua, kamu harus pakai baju tahanan koruptor yang dulu pernah jadi proyek di Nusantara tapi sekarang entah kemana hampir nggak pernah dipakai,” syarat Bima kepada Bakasura sekeluar si raksasa dari mulut gua.

Bakasura menurut. Ia berbusana tahanan koruptor. Lalu berlangsunglah pertempuran itu.