Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 151 Perselingkuhan di Taman Sari

7,515 Views

STcartoon1Ada Citranggada. Ada Citrasena. Dua-duanya ndak kerja di dinas petamanan dan tata kota Surabaya. Tapi dua-duanya bertanggung-jawab atas keasrian taman di Kahyangan. Yang sering sir-siran di taman itu bukan orang-orang biasa seperti Bonek dan Aremania. Tak tanggung-tanggung lho, yang sering bercengkerama di situ adalah Batara Guru dan Dewi Uma.

Bukan maksud di sini menyepelekan Bonek dan Aremania. Tapi nek dibandingno Batara Guru dan Dewi Uma, pakaian manusia-manusia Salam Satu Nyali dan manusia-manusia Salam Satu Jiwa itu relatif normal-normal saja to? Coba kalau kita berpakaian mirip Batara Guru atau Dewi Uma terus kita petedang-petedeng di Tunjungan, pasti kita lebih jadi tontonan ketimbang kambing makan pindang.

Nah, berkat tanggung-jawab serta pengabdian Citranggada dan Citrasenalah taman di Kahyangan itu terpelihara selalu keelokannya. Suara ayam bekisar setiap sore tak pernah absen. Wuiiih merdunya. Apalagi dengan latar langit senja nun jauh di selatan taman. Anyelir, bugenvil, aneka anggrek, tapak dara dan kecubung turut memperasri suasana.

Pantas Citranggada dan Citrasena yang dasarnya sudah tampan semakin kelihatan ngganteng karena selalu dibelikan pakaian bagus-bagus. Sejoli Batara Guru- Dewi Uma kerap membingkisi mereka berbagai hadiah saking senangnya pada kerja kedua juru taman tersebut.

Tibalah di suatu sore sehabis gerimis dan bau tanah, Dewi Uma yang biasanya duduk di bawah pohon kenanga bersama Batara Guru kali ini duduk seorang diri. Esoknya juga terjadi kesendirian serupa. Begitu pula di hari-hari yang lebih lanjut. Hanya angin yang mengibar-ngibarkan rambut panjang Dewi Uma yang menjadi teman satu-satunya sang bidadari.

Dari kejauhan di bawah trembesi Citranggada dan Citrasena menerawang kesepian Sang Dewi. Keduanya sama-sama dirundung sedih dan iba pada junjungan perempuan mereka. “Sudah hampir selapan (35) hari ini kemanakah gerangan Batara Guru mengembara?” batin keduanya.

***

    Ternyata begitu banyak persoalan di mayapada yang Batara Guru harus turun tangan. Perginya meninggalkan Dewi Uma bukan cuma jalan-jalan mencari angin. Problem paling serius bagi Batara Guru adalah menghentikan saling curiga di antara manusia.

“Para ahli fisika sedunia sudah menemukan partikel Tuhan yang nantinya akan mengubah pandangan kita tentang asal-usul alam semesta, ini orang-orang di Nusantara kok malah masih sibuk merusak dirinya sendiri,” Batara Guru tak habis merenung meski kakinya telah menginjak bumi.

“Curiga mencurigai ini sudah sampai pada puncak-puncaknya,” lapor Gareng kepada Batara Guru. Laporan sulung ponokawan itu dibenarkan oleh adik-adiknya, Petruk dan Bagong.

“Terlalu awal mencalonkan diri jadi presiden dicurigai terlalu bernafsu mengumbar ambisi pribadi,” Petruk menambal informasi Gareng.

“Tapi kalau tidak cepat-cepat mengeluarkan jago calon presiden, dicurigai partainya sedang penuh kemelut,” Bagong ikut-ikutan sok tahu.

Gareng ngomong lagi, “Rakyat sampai menangis menyaksikan gerakan curiga-mencurigai antarpemimpin ini, Pukulun…”

Baiklah. Baiklah. Batara Guru celingukan bingung. Rakyat menangis? Bukannya yang menangis di Stadion Gelora Bung Karno itu kaum wanita fans Fabregas. Mereka menangis saking terharunya bisa menyaksikan langsung pemain Barcelona idola mereka itu. Sebagian malah sudah lama mengidolakannya semasih orang Spanyol itu masih bermain di Arsenal.

“Aduh, Pukulun,” gerutu Gareng. “Mereka memang menangisi Cesc Fabregas… Tapi itu sebagian kecil. Sebagian besar masyarakat di sini menangisi para pemimpin yang makin curiga-mencurigai…”

“Baiklah,” sabda Batara Guru, “Kalau begitu Ulun tidak akan segera kembali ke Kahyangan. Ulun akan tinggal di sini beberapa waktu sampai benang kusut curiga-mencurigai ini pelan-pelan mulai bisa diudari…Tapi di manakah Ulun harus bermalam? Libur-libur begini susah mencari hotel di Solo dan Yogya. Semuanya penuh.”

***

    Tampaknya situasi sak wasangka satu sama lain itu mulai bisa diurai. Termasuk kecurigaan mengapa pajak puluhan trilyun tak bisa ditagih. Batara Guru kembali ke Kahyangan dan menggelar sidang dengan dewa-dewa bawahannya. Dewi Uma ditugasi menghidangkan jamuan air suci Tirta Amarta dalam wadah Kamandalu alias kendi pusaka.

Pyar!!!

Tak dinyana-nyana kendi pusaka jatuh pecah di lantai. Anehnya, Tirta Amarta yang biasanya wangi kok kini menebarkan bau busuk.

Batara Guru tanggap. Bola matanya berputar-putar. Segera ia bubarkan para dewa. Ia panggil Citranggada dan Citrasena. Kini di hadapan Batara Guru di ruang tertutup itu cuma bercokol Dewi Uma dan kedua petugas taman yang semuanya amat sangat tegang.

Mereka tahu Batara Guru bukan KPK bukan Kepolisian bukan pula Kejaksaan. Batara Guru tak perlu bukti-bukti yang berbelit-belit sudah langsung tahu dari pertanda tumpah dan bacinnya aroma Tirta Amerta.  Bahwa, tudingnya, selama dia turba ke mayapada tak bisa disangkal Dewi Uma nyata-nyata berselingkuh sekaligus dengan Citranggada dan Citrasena.

Bumi gonjang-ganjing…

“Heh kamu Dewi Uma,” titah Batara Guru tandas. “Ulun kutuk kamu menjadi raksasa Batari Durga alias Ranini. Dan kamu Citranggada. Terkutuklah kamu jadi raksasa Kalanjana. Dan jadilah raksasa Kalantaka heh kamu, Citrasena!”

***

    Di dalam dunia wayang umumnya yang bisa mengembalikan Durga, Kalanjana dan Kalantaka ke bentuk semula adalah bungsu Pandawa Raden Sadewa. Ceritanya, Durga yang berkahyangan di Setragandamayit menyamar sebagai Kunti. Dalam wujud ibu para Pandawa itulah lantas Durga menculik Sadewa ke Setragandamayit untuk meruwat ketiga raksasa kembali ke wujud asal.

Tapi masa’ wayang DURANGPO alias nglinDUR bAreNG POnokawan harus sama dengan wayang pada umumnya. Bagaimana kalau yang meruwat itu politisi entah Ruhut Sitompul entah Sutan Bhatoegana. Problemnya, siapa sebenarnya Kunti alias ibu politik mereka. Karena Durga tetap harus menyamar sebagai ibu tersebut agar dapat menculiknya ke Setragandamayit.