Kompas

Ivan dan Matematika Esok

5,576 Views

ST4DC2KEMENANGAN Indonesia dalam Olimpiade Matematika dan Ilmu Pengetahuan Internasional (IMSO) 2004 tingkat sekolah dasar perlu disambut baik. Sambutan bukan karena kemenangan itu sendiri, tetapi terutama karena kemenangan itu menyangkut bidang yang amat bergengsi, yakni matematika.

Inilah bidang yang jarang diketahui punya julukan “ratu” sekaligus “pelayan” ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai ratu, matematika yang sebenarnya tak sekadar ilmu hitung-menghitung amat diperlukan dalam proses perencanaan berbagai bidang termasuk sosial. Sebagai pelayan, matematika yang sebenarnya lebih merupakan latihan eksplorasi logika ketimbang sekadar hitung-menghitung mutlak diperlukan dalam proses analisis berbagai hal termasuk sosial.

Untuk kepentingan ke depan, yakni mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang berarti menggalakkan penelitian dasar di berbagai bidang, dengan demikian juga keharusan mengokohkan matematika bukan sebagai ilmu hitung-menghitung, sambutan itu perlu diwujudkan dalam pertanyaan utama: apakah Ivan Kristanto (11), peraih gelar The Best Overall dan The Best Theory, meraih kedua predikat itu karena iklim pendidikan matematika di Indonesia sudah bernas? Atau, 40 peserta dari 10 negara pada olimpiade 29 November-4 Desember itu sanggup tersisihkan lantaran usaha individual Ivan dalam bermatematika, meski sistem pendidikan matematika di Indonesia belum mendukung ke arah itu?

Jika yang terjadi adalah kasus pertama, keajaibanlah yang sedang berlangsung. Sebab, mungkin di antara kita ada yang ingat, pertengahan dekade 90-an majalah The Economist menempatkan Singapura sebagai negara dengan warga bermatematika terbaik. Indonesia belum di-reken. Kita pun ingat, empat tahun setelah itu, tahun 1999, The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) cuma menempatkan Indonesia di urutan ke-34 dalam kemampuan bermatematika. Itu pun dari total 38 negara yang disurvei.

Tahun 2000, dalam pertemuan tak sengaja di sebuah rumah makan di Puncak, Prof Dr Andi Hakim Nasoetion mengeluhkan kurang wajarnya pendidikan matematika di Tanah Air. Almarhum yang kerap membawa putra-putri berbakat dalam berbagai olimpiade matematika internasional melihat matematika diajarkan cuma sebagai ilmu hitung. Mestinya, seperti 39 soal esai yang harus dijawab Ivan dan peserta IMSO 2004, matematika bagi Prof Andi Hakim perlu disampaikan pada peserta didik sebagai latihan terbaik buat eksplorasi logika.

Bagi saya, dalam eksplorasi logika matematika itu antara lain terkandung tuntutan agar kita mampu menyusun berbagai konsep tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam eksplorasi logika pada pendidikan matematika yang bernas, atau “wajar” dalam istilah Andi Hakim, juga terkandung tuntutan agar kita konsisten serta hormat penuh terhadap kesepakatan yang telah diambil bersama. Sebagai contoh, 1 + 1= 2 hanya boleh benar jika kita sepakat sedang beroperasi dalam bilangan persepuluhan. Jika kesepakatan itu di-“amandemen” dan kita memasuki kesepakatan baru, yakni sepakat beroperasi dengan sistem bilangan biner yang cuma kenal angka 0 dan 1, maka 1 + 1 sudah bukan 2 lagi.

RASANYA yang lebih mungkin terjadi pada peristiwa kemenangan Ivan dalam bidang matematika adalah kasus kedua. Ivan sanggup menyisihkan peserta lain karena bakat terpendam maupun usaha individual meski iklim matematika di Indonesia belum mendukung ke arah itu. Bagaimana bisa disebut iklim matematika yang bernas sudah berlangsung di masyarakat jika eksekutif dan parlemen kerap mengeluarkan produk undang-undang yang konsepnya tumpang-tindih dengan undang-undang lain, dan respons masyarakat pun kurang gegap gempita atas tumpang tindihnya konsep-konsep itu? Bukankah, jika iklim matematika yang bernas sudah terbentuk, semua pihak, termasuk masyarakat, akan sensitif terhadap tumpang tindihnya logika termasuk dalam eksplorasi dan eksploitasi air saat ini?

Bukankah jika iklim matematika yang bernas telah terbentuk, tak akan selalu muncul tabrakan antarkonsep setiap menjelang lahir undang-undang baru termasuk UU Migas 2001 dan UU TNI saat masih akan disahkan Agustus lalu. Mundur lagi, tak lama setelah reformasi 1998 yang sepakat atas asas keterbukaan, muncul tabrakan konsep antara RUU Rahasia Dagang dan RUU Rahasia Negara. Pihak yang diam-diam berlogika matematika saat itu, yakni yang terlatih diam-diam untuk menyusun konsep-konsep agar tak saling bertabrakan, menyebutkan, mestinya ihwal rahasia negara cuma jadi pasal pengecualian dari ketentuan yang lebih umum dalam payung UU tentang keterbukaan publik mengakses informasi. Sayang, debat itu kurang bergaung.

Bagaimana bisa disebut, iklim bermatematika yang bernas telah terbentuk di Indonesia jika sampai hari ini masih banyak ilmuwan yang mengatakan betapa hidup bukanlah matematika yang serba pasti. Jika mereka, termasuk ilmuwan sosial, mendapat pendidikan matematika yang wajar, mereka tak akan pernah bilang matematika itu pasti. Matematika juga tidak pasti. Kesepakatannya berubah-ubah seperti UUD 1945 yang bisa diamandemen. Cuma, saat suatu kesepakatan sudah diambil dan belum dibuat kesepakatan baru, reformasi yang sepakat pada keterbukaan publik mengakses informasi, seluruh operasi harus dibuat berdasar kesepakatan lama.

Berita Kompas (4/12/2004) makin menunjukkan, Ivan terbaik dalam olimpiade matematika bukan karena iklim di masyarakat sudah terbentuk buat itu. Ivan mengaku tidak pernah les berbagai metode matematika yang kini marak di Indonesia. Ibunya hanya meminta dia les menggambar. Namun, kemudian ia juga les komputer dan bahasa Inggris.

Menggambar dan bahasa (Inggris) perlu digarisbawahi di sini. Seperti dikatakan filsuf Bertrand AW Russell dan Michael Polanyi, kemampuan bermatematika (yang bernas) erat dengan kemampuan berkesenian dan berbahasa.

Kelak, jika sistem pendidikan matematika sudah mulai wajar dan tak cuma disampaikan sebagai ilmu berhitung, nilai matematika sekolah akan berhubungan positif dengan nilai kesenian dan bahasa peserta didik. Ini gampang diucapkan meski sulit menyusun kurikulumnya karena kita tak ahli di situ. Tetapi, dengan ini, kita sudah menantang para pakar penyusun kurikulum.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/15/opini/1427598.htm