AREA 2007 - 2008

Jakarta dan Keris

3,847 Views

Mobil saya, Volvo 740, ada tiangnya di bagian depan. Persis mobil-mobil menteri semasih mereka pakai kendaraan Swedia itu. Tapi tiang saya ada kerisnya. Dan keris beneran.

Beberapa bulan setelah itu baru saya sadar, bahwa keris beneran pada sebuah mobil di Jakarta, bukan cuma bisa buat gaya-gayaan pemiliknya, apalagi kalau dia pengin banget jadi menteri tetapi tak kunjung jadi. Keris juga bisa jadi barometer mengukur tingkat stres orang-orang Jakarta.

Kalau mereka senyum bahkan ketawa-ketawa melihat mobil saya lewat berkeris, berarti mereka lumayan tidak stres berada di udara dan irama Jakarta.

Ada penumpang angkutan kota jenis metromini maupun kijang atau zebra, yang terkantuk-kantuk di lampu merah. Pas matanya memergoki keris mobil saya, eh dia kebangun dan ketawa-ketawa.

Ada yang nggak terkantuk-kantuk. Dia bengong aja, ndak tahu bengong mikirin apa. Mungkin mikir biaya sekolah anak-anak dan sebagainya. Pas kepergok keris mobil saya ketawa-ketawa. Tak jarang mereka menowel teman-teman sesama penumpang kendaraan umum, lantas menunjuk-nunjukkan pada mereka keris yang tegak di depan mesin mobil saya.

Nah, maksud saya, mereka termasuk beruntung. Mereka adalah orang-orang Jakarta yang masih bisa rileks, di tengah keharusan serba tegang kehidupan metropolitan.

Ini juga termasuk orang-orang beruntung: lagi menyeberang di lampu merah tiba-tiba berhenti sambil cekikikan karena melihat keris di mobil saya.

Tapi orang-orang seperti itu tidak banyak. Kebanyakan warga kota Jakarta tidak melihat ada sesuatu yang perlu diketawain pada mobil dengan keris sungguhan.

Banyak yang melihat keris mobil saya, tapi ya…udah gitu aja. Wajahnya tetep serius.

Saya sedih. Sedih ya sudah pasti karena telah capek-capek pasang keris tapi gak dipeduliin. Tapi terutama sedih juga karena kok bisa-bisanya mereka serius total 24 jam hidup di Jakarta? Bukankah, meski Jakarta ini hiruk pikuk, seyogyanya masih ada sisa waktu buat ketawa-ketiwi?

Saya sudah tentu tidak mengharapkan mereka sampai berhenti dan menyembah-nyembah keris saya. Di daerah Banten misalnya, daerah yang dikenal angker, ada orang yang tiba-tiba berlutut menyembah keris mobil saya. Saya kira ini peristiwa mistis. Ternyata setelah saya turun mobil, orang-orang sekitar pada ketawa, karena yang menyembah-nyembah keris mobil saya adalah orang gila.

Ya, saya tidak pengin masyarakat Jakarta jadi gila. Saya cuma minta mereka tersenyum walau sedikit saja, kalau seyogyanya sesuatu emang patut mereka senyumi.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA edisi No. 88, tanggal 28 Mei 2007)