Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 70 ”Panji Tengkorak” di Perkampungan Wayang

5,419 Views

Episode070ORANGNYA mirip Panji Tengkorak dalam komik Hans Djaladara. Tapi, agak nganeh-nganehi. Dia ndak omong soal cinta. Dia pun tak berbicara tentang mayat pacarnya yang dioyang-oyong ke mana pun pergi. Saking cintanya, si mirip Panji Tengkorak di terik itu malah ngalor-ngidul tentang panakawan.

”Gareng itu tak jauh-jauh orangnya,” kata yang menyerupai Panji Tengkorak. ”Di dalam dirimu sendiri, di situlah ada Gareng. Kalau kamu senang memperkarakan banyak hal, kalau kamu bertanya tentang apa saja, pada saat itu Gareng bercokol dalam dirimu.”

”Wah, kalau begitu, di sini ini kami semua adalah Gareng,” kata orang-orang yang hadir dalam ceramah si mirip Panji Tengkorak di sebuah kedai.

Sebetulnya, forum itu bukanlah ceramah. Orang yang serupa Panji Tengkorak itu… selanjutnya biar ringkas kita sebut saja Panji Tengkorak… suka mengobrol dari kedai ke kedai. Dalam obrolan di warung-warung, tiba-tiba dia dikerumuni pengunjung lain satu-satu, lalu jadilah semacam forum sarasehan kecil.

Seseorang merasa kerap mempertanyakan segala hal, mulai rencana pembangunan jalan tol di Jalan A. Yani Surabaya sampai kenapa tim nasional kini pertandingannya selalu dihadiri presiden. ”Yang lain-lain diem saja ketika bahan bakar minyak subsidinya akan dihapus. Saya ndak. Saya terusmenerus bertanya…” Orang itu menggerundel.

”Berarti, kamu sama dengan saya. Kita samasama sering bertanya, kita sama-sama Gareng,” ujar temannya.

Panji Tengkorak mengelus-elus dagu sambil kaki kanannya menekuk naik di kursi. Sekali-sekali dia mengi baskan rambut gondrongnya di bagian bawah ikat kepala. Matanya tetap awas ke seantero. Pas ada kesempatan menyela, Panji Tengkorak bicara di sela-sela orang-orang warung yang mengaku disusupi Gareng.
”Ehm.. ehm…” Panji Tengkorak mengawali selaannya. ”Sedulur-sedulur kabeh yang merasa kepanjingan Gareng… Hmmm… begini… Gareng ndak bertanya dengan kecurigaan, tidak bertanya dengan pikiran negative. Gareng bertanya dengan hati yang tulus, bening. Gareng tidak serta-merta ketawa meledek ketika Ketua Umum Nurdin Halid mencium tangan presiden. Gareng betul-betul bertanya, mengapa pada zaman demokrasi, bukan monarki lagi, kok ada orang salaman cium tangan… Nah, apakah sedulur-sedulur sanggup bertanya begitu tanpa rasa merendahkan, curiga, dan sejenisnya?”

Antar pengunjung warung saling celingukan. Warung hening. Hanya asap rokok yang berkepulan ke udara.

”Kalau begitu, jangan jadi Gareng.” Panji Tengkorak memecah keheningan. ”Tapi, jadilah Bagong. Bagong tidak berpikir keras. Bagong tidak senang bertanya seperti Gareng. Bagi Bagong, yang penting dia itu membantah…”

***

Lekas beredarlah kasak-kusuk di warung Dusun Bluluk Tibo, dusun yang dipercaya sebagai markas Gareng. Kabar tersiar hingga Dusun Pucang Sewu, tempat yang diyakini sebagai markas Bagong. Orang-orang di warung itu, pokoknya, ingin membantah apa saja.

Keinginan Jakarta untuk mengakhiri monarki di Jogja mereka bantah. Keinginan Jakarta untuk mencabut subsidi BBM mereka bantah. Kelakukan Mahkamah Konstitusi yang akhir-akhir ini banyak terlibat dalam penyelesaian konflik pilkada juga mereka bantah. Mereka ingin MK lebih berfokus pada konflik-konflik perundang-undangan.

Pendeknya, apa pun yang dilakukan atau sekadar diniatkan oleh Jakarta salah.

Bahkan, sasakan rambut ibu negara saat semifinal timnas dan Filipina mereka salahkan. ”Terlalu tinggi itu sasakannya,” kata seseorang dengan gaya Bagong pula. Suaranya tercekik, sember, namun lantang.

Yang lain coba membela. Dia mengingatkan bahwa sasakan rambut ancene berbanding lurus dengan jabatan suami. Makin tinggi jabatan suami, makin tinggi pula sasakan rambut. ”Halahhh,” sergah yang lain lagi, mencoba persis Bagong. Sergahnya, ”Justru di keraton-keraton zaman dulu, semakin ningrat, rambut semakin rata dengan puncak kening, dengan dahi, semakin kerepes…”

Lho, itu kan dulu, sebelum Obama lahir,” kata yang lain lagi, mencoba menyanggah. Dia tidak membantah Jakarta, tapi justru membantah sesama Bagong. Yang penting berbaku bantah. Bukankah karakter Bagong begitu, menurut yang mereka dengar dari orang-orang Bluluk Tiba. Orang Bluluk Tiba konon mendengarnya dari seorang pendekar yang kebetulan lewat di dukuh itu.

***

Masih di Dukuh Pucang Sewu.

Tak cuma soal sasak. Bahkan, cium tangan ketua umum PSSI kepada presiden juga dipersalahkan oleh orang-orang yang dilanda demam Bagong.”Katanya monarki sudah tidak boleh ada lagi di negara demokrasi, kenapa kok masih mau dicium tangan,” kata seseorang di sudut sambil menyeruput kopi.

”Jangan salahkan yang mau dicium tangannya,” kata seseorang lagi di meja tengah. Kebetulan dia mendengar celotehan dari sudut. ”Salahkan saja yang mau mencium tangannya…”

Lantas, setelah itu, seperti halnya yang terjadi di komik-komik silat, muncul sosok pendekar di ambang pintu. Semua orang sudah bisa menerka-nerka dan mulai paham itu pasti si Buta dari Goa Hantu.

”Bukan. Itu Bratasena,” bisik seseorang sambil mengunyah daging rawon. ”Rambutnya gondrong.

Pakai ikat kepala seperti demonstran. Persis Bratasena sebelum rambutnya digelung menjadi Werkudara…”

”Saya Panji Tengkorak,” kata pemuda di ambang pintu itu. Seluruh pengunjung terdiam dan terkesima. ”Saya bukan si Buta dari Goa Hantu.

Bukan pula saya ini Bratasena. Saya bukan ciptaan Jan Mintaraga. Saya ciptaan Hans Djaladara…”

”Salah! Sampean kebalik-balik,” celetuk seseorang di dekat pintu. ”Panji Tengkorak itu komiknya Jan Mintaraga. Si Buta dari Goa Hantu itu baru tokoh rekaan Hans Djaladara.”

Panji Tengkorak tersenyum mendengar itu. Tokoh itu tahu, orang yang baru nyeletuk tadi ingin menjadi Bagong. Yang penting membantah. Menyanggah. Panji Tengkorak juga tahu bahwa hampir seluruh pengunjung warung tersebut dilanda demam Bagong.

Yang penting menolak. Yang penting demo.

”Baiklah, baiklah,” ucap Panji Tengkorak sambil duduk dan pesan minum. ”Baiklah, saya terbalikbalik.

Saya ini diciptakan oleh Jan Mintaraga. Pertanyaan saya, apakah bantahan sampean tadi dilandasi niat yang spontan, yang tulus. Bagong hanya membantah kalau nalurinya mengatakan bahwa dia harus membantah. Tak pernah Bagong sejak awal punya niat untuk pokoknya membantah…”

Kini kejadian di Bluluk Tibo berulang di Pucang Sewu. Pengunjung warung saling menoleh saat mendengar ucapan pendekar muda. Pemilik warung yang semula menghitung duit juga menghentikan penghitungannya. Seseorang yang asyik memamah sukun goreng menghentikan sukunnya di mulut.

Matanya menyorot Panji Tengkorak.

”Kalau kalian merasa tak sanggup membantah secara tulus, kenapa kalian tidak menjadi Petruk saja? Dia tidak bertanya. Dia tidak membantah. Hidupnya cuma cengengesan dan happy…”

***

Sesampai di suatu warung di Dukuh Kembang Sore, dukuh yang diyakini sebagai kediaman Petruk, Panji

Tengkorak kembali heran. Mungkin peristiwa di warung Pucang Sewu telah menyebar. Tak ada satu pun pengunjung warung di sana yang bertanya tentang apa pun. Tak ada satu pun pengunjung warung di sana yang membantah tentang apa pun. Semuanya ketawa. Semuanya pringas-pringis. Semuanya terkekeh-kekeh.

Padahal, kini keadaan kembali ke musim mencari ”kambing hitam”. Apa pun, dicari ”kambing hitam”- nya. Tapi, tak ada satu pun yang bertanya tentang hal itu. Juga tak ada satu pun yang menyanggah hal itu.

”Wah, ini juga nggak bener,” kata Panji Tengkorak.

”Jangan cuma menjadi Petruk. Di dalam jiwa kalian itu ada ramuan atau komposisi dari Gareng, Petruk, dan Bagong. Ada saat-saat kalian menonjolkan Gareng. Ada saat-saat kalian menonjolkan Petruk. Ada saat-saat kalian mencuatkan Bagong.

Jangan jadi Gareng terus-terusan atau Bagong terus-terusan. Kadang gabungan ketiganya kita perlukan dengan komposisi yang harmonis.

Seperti masakan, takarannya harus pas.”

”O, Gareng, Petruk, dan Bagong itu seperti bumbu-bumbu begitu ya, Mas Panji…”

”Ya. Kokinya adalah Semar. Semar ada dalam diri setiap orang. Apa itu karakter Semar? Banyak.

Tapi, intinya, Semar adalah rasa syukur di dalam batinmu. Paham?”

Panji Tengkorak lantas berlalu dari dusun itu. Mayat kekasihnya dibopongnya. Lalu, keduanya  tenggelam di cakrawala..

Disadur selengkapnya dari Jawapos, Kolom Mingguan Wayang Durangpo