Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 92 Siapa Bapakku … Hah … Siapa ?

7,022 Views

Episode092Pengamen itu bernama Entah. Senengane lagu-lagu Ebiet G. Ade dan Franky Sahilatua. Kadang-kadang Entah bawakan juga nyanyian Iwan Fals dan Sawung Jabo. Sekali-sekali tembang-tembang lama dari Rhoma Irama di album-album awal koyo to  Begadang dan Penasaran.

Selulus SMP anak tunggal di kota kecamatan itu sedianya akan melanjutkan ke SMA. Rencananya setamat SMA nanti pecinta bola ini  akan melanjutkan kuliah di Unair atau Universitas Brawijaya. Atau perguruan tinggi manapunlah. Sing penting bar itu Entah bisa menjadi anggota DPR komisi sepakbola.

Tapi rencana tinggal rencana. Sehari setelah pengumuman kelulusan SMP, Entah mendengar bapak ibunya tukaran. “Anakmu bukanlah anakmu,” teriak ibu Entah. Wah, Entah langsung menyangka bahwa bapak serumahnya selama ini bukanlah bapaknya yang sejati. Entah langsung minggat. Padahal, ibu Entah cuma mengutip syair terkenal Kahlil Gibran bahwa “Anakmu bukanlah anakmu…”

Ketika ibunya akan ngasih penjelasan bahwa “Anakmu bukanlah anakmu…” itu cuma kutipan dari sajak abadi dunia, Entah sudah berada di kecamatan lain. Esoknya dia sudah di kabupaten lain. Esok-esoknya lagi Entah sudah menyanyikan “Perjalanan” Ebiet G. Ade di provinsi lain. Ibunya menyangka Entah tak pulang-pulang lantaran bermain bola tarcam, antar-kecamatan. Padahal….

Padahal Entah berkelana. Duit bukanlah hal paling utama yang dicari Entah dalam episode minggatnya. Yang penting dari duit ngamen itu dia bisa membeli makanan. Soal angkutan antar-kota Entah bisa gratisan nebeng truk.

“Kisahmu ini mirip Wisanggeni yang mencari-cari ayah kandungnya setelah dewasa,” kata Pak Petruk yang mengajak Entah masuk ruang tamunya. Pak Petruk suka lagu-lagu Franky Sahilatua. Lelaki jangkung ini kesengsem ketika Entah melantungkan Lelaki dan Rembulan. Saking kesengsemnya, Pak Petruk tak cuma mengajak Entah masuk rumah. Ia bahkan meminta istrinya, Dewi Undanawati, menyiapkan makanan buat Entah.

“Ah, sebenarnya nggak cuma Wisanggeni, ” lanjut Pak Petruk. “Yang bertanya siapa bapak kandungnya sebenarnya itu banyak di wayang. Ada Antareja, ada Antasena …Ada Bambang Priyambodo…wah…Banyak lagi. Semuanya nyari-nyari, tolah-toleh siapa bapaknya. Akhirnya ketahuan, bapak Wisanggeni dan Bambang Priyambodo itu Raden Arjuna. Bapak Antareja dan Antasena itu Bima.”

“Terus, Pak Petruk. Kira-kira kalau bapak saya itu siapa ya?”

Pak Petruk terkekeh-kekeh. Sambil menghindar memberi jawaban, ia menyilakan Entah menyantap hidangan yang sudah disajikan sang isteri.

***

Ketika meninggalkan dusun Pak Petruk, sebelum tapal batas, Entah mengamen di sebuah warung pracangan. Entah melihat baru saja ada pengamen keroncong dari warung itu. “Pasti pemiliknya nggak akan ngasih duit lagi ke pengamen berikutnya,” pikir Entah. Tapi ada hal lain yang membuat Entah mampir ngamen ke warung pracangan itu. Mengamenlah Entah di situ.

“Indonesia merah darahku…Putih tulangku…”  Entah membawakan Kebyar-Kebyar Gombloh. Sambil menyanyi melengking tinggi seperti almarhum Gombloh, Entah kaget sendiri kok bisa-bisanya nyanyi lagu itu. Belum pernah sebelumnya Entah nyanyi itu selama ngamen seusai minggat.

Mungkin karena televisi cembung warung pracangan sedang menayangkan berita tentang kisruhnya kongres PSSI. Nasionalisme Entah tiba-tiba terusik. Maka terlontarlah secara spontan lagu Gombloh. Atau mungkin karena ada gadis hitam manis berambut panjang, mungkin putri pemilik warung. Mata gadis setinggi kira-kira 155 cm ini begitu menggetarkan hati Entah.

Gadis itu selalu senyum-senyum kepada Entah ketika Entah sedang membawakan lagu tentang kebanggaan menjadi Indonesia. Namun hati Entah agak hancur ketika ternyata gadis itu juga tersenyum kepada siapapun. Ia misalnya mesam-mesem kepada pemuda yang datang membeli cabe. Entah kesal. Lagu belum selesai, Entah sudah meninggalkan warung pracangan dekat tapal batas dusun Pak Petruk itu.

Sampailah Entah di dusun yang lain. Tuan Rumah keluar pagar ketika Entah membawakan Camelia dari Ebiet G. Ade. Orangnya gemuk, pendek. Wajahnya tampak ngotot, namun kelihatannya berhati baik. “Sini kamu aku ajari macapat…Menjadi anak muda Indonesia itu jangan cuma bisa lagu-lagu pop…” kata si tuan rumah sambil menyuruh Entah duduk di teras.

Bapak ini mengajari macapat Pocung, sastra tutur yang sederhana baik ucapan maupun lagunya. Lariknya begini:

Opo ono, biso bener tanpo luput

Yen wedi luputo

Benere tan biso panggih

Awit iku wis kalebu jodoniro…

(Apa ada kebenaran tanpa kesalahan sebelumnya. Takut berbuat salah akan membuatmu tak pernah menjumpai kebenaran. Sebab salah dan benar itu adalah termasuk jodohmu pula).

Setelah hampir setengah harian diwejang di teras, akhirnya Entah menguasai macapat Pocung. Setelah itu baru tuan rumah menyebutkan namanya. “Saya ini Pak Bagong,” katanya sambil salaman dan cengengesan. Rupanya Bagong senang telah mempunyai murid baru di kancah macapat.

“Pak Bagong. Saya ini sebenarnya bukan ingin ngamen. Saya ingin mencari siapa bapak saya sebenarnya…Umur saya sudah 15 tahun. Tapi ternyata saya belum tahu siapa sesungguhnya yang mengukir jiwa raga saya…”

Mendengar ucapan bocah belasan tahun itu istri Bagong, Dewi Bagnawati, menitikkan airmata. Bagnawati yang baru pulang dari pasar menaruh belanjaannya, lalu menyeka airmatanya dengan ujung kebaya di bawah guguran bunga jambu.

Bagong kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Entah. Entah manggut-manggut. Wajahnya cerita. Seolah kini ayahnya sudah di depan mata.

***

Sesuai anjuran yang dibisikkan Bagong, Entah berjalan ke selatan. Sebenarnya Entah sudah ingin balik lagi ke barat. Ia teringat lagi pada senyum gadis manis berambut panjang di tapal batas dusun Pak Petruk. Tapi segera pula ia teringat pesan para leluhur dari garis ibunya. “Kalau sedang mempunyai tujuan, jangan gampang terkecoh oleh keindahan dunia termasuk kecantikan perempuan,” kata para leluhur.

Akhirnya Entah meneruskan perjalanannya ke selatan sampai terdampar di sebuah huma di atas bukit. “Terima kasih kamu sudah menghibur aku dan istriku, Dewi Sariwati. Aku memang dari dulu suka lagu-lagu Iwan Fals dan Sawung Jabo,” kata Pak Gareng, tuan rumah.

Setelah Entah menyampaikan maksudnya luntang-lantung ngamen , Pak Gareng berkata begini: Seorang anak itu jangan cuma mencari bapaknya. Apa yang dilakukan Wisanggeni dan Bambang Priyambodo mencari bapaknya, Arjuna, itu bagus. Antareja dan Antasena mencari ayahnya, Bima, itu juga baik. Tapi lebih baik lagi kalau setelah berjumpa, kamu bela ayahmu itu dengan seluruh jiwa raga.

“Untuk apa kamu mencari ayahmu, kalau setelah ketemu tidak kamu bela hidupnya,” kata Gareng.

Bima, lanjut Gareng, bahkan tak cuma membela ayahnya, Pandu, di dunia. Setelah hidup di alam lain, Bima membela Pandu yang diceburkan ke neraka. Batara Narada dan para dewa kelimpungan ketika Bima menawarkan diri masuk neraka, menggantikan posisi ayahnya. “Aku akan masuk neraka, dan lepaskan ayahku dari siksa neraka…”

“O tidak, Bima, kamu tidak pantas disiksa…jatahmu itu sorga…”

Bima tidak peduli. Ksatria Pandawa itu hendak melompat ke neraka sampai akhirnya para Dewa membebaskan Pandu dari gelora api neraka.

Bocah bernama Entah bertanya, “Bagaimana aku akan membela ayahku, kalau ketemu beliau saja belum…?”

Tiba-tiba seekor cicak jatuh dan tak bergerak-bergerak. Hampir saja Entah menginjaknya. “Jangan,” kata Pak Gareng. “Semua yang terjadi di alam ini ada pertandanya. Kalau kamu bisa mengerti bahasa tanpa kata-kata, bahasa pertanda, bahasa sanepo, kamu baru akan memahami dunia…”

Timbul ide di benak Entah untuk berjalan mengikuti garis arah dari ekor ke kepala cicak. Entah berjalan mengikuti rasa arah itu. Entah bergerak tak mengikuti jalan yang telah dibuat manusia. Pokoknya Entah hanya mengikuti nalurinya berjalan pada arah yang ditunjukkan oleh cicak. “Mungkin aku akan salah, tapi bagaimana aku akan menemukan kebenaran kalau takut salah,” Entah teringat macapat Pocung. Maka tak jarang ia memotong sungai, memotong sawah, memotong bukit…Tak dinyana-nyana akhirnya Entah memergoki kembali warung pracangan dengan gadis manis berambut panjang. Entah deg-degan. Apalagi gadis itu ada di warungnya.

“Banyak pemuda menanyakan siapa dan di mana bapaknya, ” kata gadis itu. “Waktu sampeyan ngamen ada pemuda beli cabe itu..ingat kan? Nah, pas sampeyan  sudah pergi, pas saya ngasih uang kembalian, dia juga nanya saya, siapa bapaknya…”

“Kamu jawab?”

“Saya jawab…”

“Kalau siapa bapakku, kamu tahu?”

“Tahu….Ketua PSSI yang terpilih di kongres Malam Sabtu itu…” kata si gadis sungguh-sungguh.

Hati Entah menjadi senang. Dia selalu hidup di jalan, ngamen. Dia beruntung pernah tahu berita bahwa Ketua PSSI itu tidak ada, karena kongres menemui jalan buntu.

***

Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo