Kompas

Sri Mulyani, Bisma, dan Panakawan

12,543 Views

ST2Bagaimana menerawang Sri Mulyani Indrawati dari kacamata panakawan?

Misalnya, melalui sudut pandang Gareng yang selalu kritis, tetapi tanpa vested interest apa pun, sejatinya Menteri Keuangan itu wujud nonfiksi tokoh fiksi Dewi Drupadi yang pernah dipermalukan di depan umum, tetapi ditegakan saja oleh Sang Bisma. Bisma adalah tokoh paling berkuasa di wilayah dan saat tragedi itu berlangsung.

Sebaliknya, dengan sudut pandang Bagong yang tampak lugu tetapi berpikiran mendasar, kita tak perlu menghabiskan waktu buat bertanya-tanya. Mbak Ani belum ada apa-apanya dibandingkan dengan Drupadi. Mbak Ani baru disebut-sebut na- manya dalam suatu skandal keuangan. Orang Semarang ini baru fotonya saja yang diberi taring mirip drakula atau diberi kacamata hitam sebelah mirip perompak.

Aib yang disandang Drupadi jauh lebih besar dan nyata. Di depan Bisma yang diam mematung, putri Kerajaan Pancala ini sungguh-sungguh secara fisik dikoyak-moyak pakaiannya, dan ramai-ramai ditelanjangi di depan umum.

Demikian kira-kira perbedaan sulung Gareng dan bungsu Bagong dalam menelaah Sri Mulyani atas dasar pakem wayang.

Cuma wakil

Gareng matanya juling. Tatapannya ke seantero. Itu pertanda ia kritis, awas, bila perlu curiga tetapi tanpa sinisme terhadap segala hal di sekitarnya. Bagong matanya terus memelototi dunia dan keningnya siap menyeruduk masalah, tetapi tengkuk dan lehernya luruh. Itu perlambang ia selalu menggugat, tetapi sekaligus pasrah terhadap kehidupan.

Selain bermata juling ke seantero pertanda awas, Gareng juga berkaki pincang. Ini pertanda ia berhati-hati dalam melangkah ataupun bersikap. Sejak awal pembentukan Pansus Century, Gareng sudah terheran-heran. Mengapa partai besar yang semula alot dan menolak pembentukan Pansus tiba-tiba menyetujuinya sehingga Pansus itu terbentuk dengan suara nyaris aklamatif? Mungkinkah karena mereka yakin bahwa toh pada akhirnya kesimpulan Pansus bisa mereka belokkan entah redaksionalnya entah substansinya sehingga telunjuk Pansus paling banter cuma mampu menuding menteri dan yang setaraf?

Mungkinkah karena mereka juga yakin jika pun redaksi dan substansi itu tak dapat mereka goyang-goyang, toh tindak lanjutnya masih bergantung pada aparat penyidik yang bisa (disetel untuk) mengatakan bahwa aparat hukum itu tak terikat hasil kerja Pansus, temuan Pansus hanyalah temuan politik, bukan temuan hukum?

Bagong tak akan membuang waktu seperti Gareng. Si bungsu yang sosoknya berupa kanak-kanak abadi itu, yakni perlambang betapa lugu tetapi betapa mendasarnya setiap pertanyaan ataupun pernyataannya, akan melihat respons aparat hukum itu sebagai hal yang wajar belaka.

Bagong akan berkata, ”Terang saja aparat hukum tidak takut kepada DPR. Mereka juga tidak merasa terikat, atau sedikitnya tidak sungkan kepada DPR karena DPR memang bukan rakyat. DPR itu cuma wakilnya. Wakil, ya, lebih rendah daripada yang diwakilinya, yaitu rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi di Tanah Air.”

Bisma dan Semar

Bagong suka ngotot kepada pendapatnya yang polos, tetapi mendasar. Konon, karena Bagong dipercaya berasal dari kata Arab bagho ”suka membantah”. Gareng yang dipercaya berasal dari kata ghoiron, ”yang berbeda”, selalu ingin melihat hal-hal yang berbeda dibandingkan dengan yang kasatmata. Petruk, dipercaya dari fatruk ”yang meninggalkan”. Ia sudah berani melampaui topik ataupun tema yang kerap menjadi perhatian Bagong ataupun Gareng. Maka, Petruk digambarkan tubuhnya serbalonggar dan tersenyum senantiasa, pertanda semeleh.

Bagi Petruk, dalam kasus Century dan Sri Mulyani, atau konflik Pandawa-Kurawa dan Drupadi, yang menarik perhatiannya bukan Sri Mulyani ataupun Drupadi. Petruk sudah melampaui itu. Petruk sambil tersenyum akan bertanya mengapa Bisma yang secara spiritual bertanggung jawab, kok, diam saja melihat Drupadi di-kuyo-kuyo?

Leluhur wayang mengajarkan: semua panakawan (kawan yang menerangi, karena pana, bukan puna seperti salah kaprah, berarti terang), sekaligus terkandung di dalam pribadi setiap orang. Di dalamnya termasuk Semar. Semarlah yang menjadi moderator perdebatan Gareng, Petruk, dan Bagong, termasuk ketika ketiga panakawan ini memperbandingkan Sri Mulyani dan Dewi Drupadi.

Bagi Semar, debat tak perlu dilarut-larutkan. Pekerjaan konkret masih banyak. Toh, sudah jelas dalam kasus Drupadi bahwa yang salah adalah Bisma. Tokoh paling berkuasa ini diam saja ketika seorang perempuan yang mestinya berada dalam tanggung jawabnya ditelanjangi di muka umum.

Bagi Semar, Bisma tidak gugur oleh Srikandi yang kesusupan Dewi Amba saat Bharatayuda sebagaimana khalayak wayang terkecoh. Itu hanya kematian fisik. Jiwa Bisma sudah mati jauh sebelum itu, yakni saat ia lepaskan tanggung jawabnya untuk melindungi perempuan teraniaya bernama Drupadi.

Sujiwo Tejo Dalang

Link: KOMPAS, 3 Maret 2010, OPINI