Seminar dan Koferensi

Dimensi Kultural dalam Krisis dan Pembalikannya

13,947 Views

Beberapa catatan tentang Dimensi Kultural dalam Krisis dan Pembalikan NEED Menjadi WANT

titleST2

andree1Krisis, kalaupun betul-betul ada, menurut saya intinya adalah kurang disadarinya lagi oleh semua pihak, termasuk saya sendiri, tentang perbedaan dari sesuatu  yang sebetulnya sangat sederhana yaitu antara WANT dan NEED.

Bubble menurut saya bukan terjadi di dalam lapangan ekonomi semata-mata. Di dalam lapangan ekonomi, mungkin kalau dapat saya simpulkan secara awarn. Ketika WANT itu dikira NEED, maka lahirlah kenjomplangan antara sektor riil dan sektor moneter. Nilai ekonomi dari suatu surat-surat berharga jauh lebih tinggi daripada rujukan surat-surat berharga tersebut di sektor riil.

Bubble di dalam politik juga sama. Sumbernya adalah ketika WANT dianggap NEED. Maka demokrasi yang semula kita perlakukan sebagai alat tiba-tiba menjadi tujuan. Padahal tujuan kita, seperti tercantum dalam Pancasila adalah masyarakat berkeadilan sosial. Demokrasi hanyalah alat.

Bubble di lapangan hukum juga demikian. Keinginan, WANT, berperkara dan membuka acara di pengadilan, jauh lebih tinggi dibanding kebutuhan untuk mendapatkan keadilan. Hukum dianggap sebagai segala sesuatu yang tertulis. Padahal, sesungguhnya, dasar dari segala hukum adalah moralitas yang tidak terfulis. Jika WANT tidak mengalahkan NEED, sebenarnya banyak kasus di masal,arakat yang bisa diselesaikan secara moral maupun adat. Mbok Minah yang mencuri 3 blji cacao di Banyumas, lelaki miskin yang mencuri lima batang jagung rusak di Situbondo. Anak kecil di bawah umur di Surabaya yang menyengatkan lebah ke temannya…seharusnya bisa diselesaikan di luar pengadilan. Sistem nilai pun lalu berubah. Dulu orang malu kalau harus berperkara di pengadilan. Sekarang, sebisa mungkin seluruh hal harus diselesaikan secara formal di pengadilan.

Bubble di dunia budaya paling mencolok pada kaburnva pengertian antara DATA dan INFORMASI. Seingat saya INFORMASI adalah data-data yang bisa kita olah untuk proses pengambilan keputusan. Tapi sekarang setiap DATA dikira INFORMASI. Atas nama WANT, seluruh data itu diburu melalui dunia nyata maupun dunia maya. Tapi hasilnya kalau dalam pandangan saya adalah korban-korban yang berjatuhan tertimbun data, tanpa tahu harus berbuat apa dengan data-data yang seabreg itu. Betapa banyak anak-anak yang tiap hari berburu data permainan gitar dari berbagai pemusik dunia, tapi mereka sendiri tak kunjung melahirkan teknik dan melodi permainan gitar versi mereka sendiri (mengolahnya menjadi INFORMASI) atas dasar data-data tersebut.

Berapa banyak data yang muncul dari buku maupun internet tapi hanya sedikit yang menjadi informasi. Maksud saya. hanya sedikit orang yang mampu menjadikan semua itu (DATA) sebagai bahan pertimbangan dan mengolahnya sebagai pendapatnya sendiri (INFORMASI). Ini karena sumber-sumber tersebut dicari atas dasar WANT, bukan atas dasar NEED. Banggalah kemudian kita disebut sebagai MASYARAKAT INFORMASI…padahal menurut perasaan saya…kita baru menginjak MASYARAKAT DATA.

Dalam konteks ini perlu dicek lagi, benarkah ada hubungan positif yang signifikan antara satuan sambungan telepon dengan perfumbungan ekonomi. Kok rasanya lebih banyak orang ngobrol yang “tidak produktif’ di dalam telepon. Pesan-pesan iklan suatu telepon biasanya berisi pentingnya obrolan yang remeh-temeh, yang membuka lahan bagi terpenuhinya WANT, bukan NEED. Tak ada pula WARNING dari penyelenggara iklan agar, misalnya, GUNAKAN TELEPON SEPERLUNYA (NEED)..

Maka seluruh catatan berikut ini adalah usaha untuk mengatasi krisis dengan membalikkan NEED menjadi WANT.

1. Kembali kepada Pancasila

Saya tahu akan banyak yang tertawa pada subjudul ini. Karena Pancasila sekarang memang sudah kita lupakan dan cenderung kita anggap kuno. Padahal, dengan Pancasila, kita bisa bisa menyusun mana NEED dan mana WANT di dalam penyelenggaraan negara. NEED kita adalah keadilan sosial. Bukan Demokrasi.Demokrasi hanyalah alat. Bahkan, jika akhirnya jadi ribet, kenapa demokrasi tidak kita kembalikan menjadi MUSYAWARAH MUFAKAT yang dipimpin oleh mereka yang terbukti menjadi penghayat dan pelaku sila pertama sampai ketiga Pancasila.

Sekadar usulan yang mungkin bisa dipertimbangkan, berikut adalah tafsir saya atas Pancasila berdasar Hasta Brata dari tradisi wayang, tradisi yang oleh Unesco  telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.

“Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti seluruh warga terutama para pemimpinnya lebih-lebih pemimpin puncaknya yakni kepala negara harus suwung. Suwung itu zero tetapi bukan empty. Pemimpin hanya melekat pada Tuhan. Ia tidak melekat pada yang lain termasuk pada harta benda yang dimilikinya. Pemimpin boleh kaya dan berkuasa(lberisi), tetapi tidak boleh mempunyai kemelekatan pada harta-benda dan kekuasaan tersebut (kosong).

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” berarti manakala kemaslahatan bersama dunia membutuhkan harta benda dan kekuasaannya, pemimpin terutama pemimpin  tertinggi vang telah suwung harus merelakannya. Ini bagaikan Prabu Yudistira yang bahkan merelakan darah dagingnya sendiri diiris, bagaikan Nabi Ibrahim yang bahkan merelakan anaknya sendiri buat disembelih.

“Persatuan Indonesia” berarti pembatasan wilayah imajiner kepedulian kita terhadap seluruh makhluk agar keanekaragaman di dunia tetap terpelihara. Tidak bisa seluruh dunia kita jadikan satu negara dan satu bangsa. Ini akan menyalahi kodrat lima unsur sumber daya alam, yaitu materi, waktu, energi, ruang dan keanekaragaman.

Selanjutnya hanya orang-orang yang terbukti mampu menjaga keanekaragaman dunia melalui persatuan Indonesia dalam ranah kemanusian atas dasar ketuhanan, itulah yang berhak memimpin musyawarah mufakat. Itulah seyogyanya nuansa dari sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”

Dan tak boleh ada musyawarah apapun yang agendanya bukan untuk sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

2.     Jangan Jadi Munafik pada Pancasila

Pancasila sudah kita lupakan, atau kita tertawakan, bagi saya tidak ada masalah. Mungkin kita butuh (NEED) untuk mencari dasar negara yang lain. Yang problem bagi saya adalah, ketika kita jadi hipokrit, munafi. Pancasila kita lupakan, kita buang ke tong sampah, tapi begitu orang lain menggunakan simbol Pancasila burung Garuda, kita semua ribut.

Kita ribut simbol fisik garuda dipakai oleh perancang Giorgio Armani. Yang non-fisik, yang esensial dari garuda yaitu spirit sila-sila dalam Pancasila sudah lama dipakai oleh negara-negara lain, kita diam saja tak merasa kecolongan. Setidaknya kita tak merasa dipanas-panasi.

Sudah lama di beberapa negara fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Bukankah ini sebenarnya tertuang dalam undang-undang dasar yang merujuk pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia? Nyatanya yang memelihara anak-anak terlantar di sini justru “Babe” yang kini terjerat kasus hukum.

Hati kita juga tidak merasa dipanas-panasi oleh negara-negara lain yang lebih Pancasilais. Mereka menghukum para orangtua jika tak memberi gizi yang pantas buat bayinya. Kalau perlu negara mengambil alih pemeliharaan anak tersebut. Kita baru ribut kalau orangtua sudah membunuh bayinya atau membuangnya di selokan.

Sesungguhnya, kasus penggunaan garuda dalam rancangan Armani nyaris serupa kasus pengakuan Malaysia atas Reog Ponorogo. Sudah lama happening art dari Jawa Timur itu tak kita akui dan tak kita pelihara. Baru ketika diaku oleh Malaysia, wah kita ribut. Sampai-sampai akhir tahun lalu di Ponorogo diselenggarakanlah festival reog dengan peserta dari seluruh Indonesia.

Akan halnya Pancasia. Sudah lama dasar negara ini kita lupakan bahkan diam-diam kita tertawakan. Sila keadilan sosialnya kita lecehkan dengan membiarkan pasar-pasar tradisional nyaris mati karena modal-modal besar diperkenankan masuk sampai ke tingkat eceran. Sila kemanusiaannya kita acak-acak dengan membolehkan media massa menayangkan darah dan mayat dalam berita-berita kriminal. Beberapa negara bebas pun bahkan tak mengizinkan itu. Sila ketuhanan kita cuekin dengan membiarkan munculnya perda-perda syariah di banyak daerah. Dan lain-lain.

Dengan semua pelecehan itu, masihkah kita merasa bahwa Pancasila adalah milik kita? Lalu kita merasa berhak ribut ketika “sekadar” simbolnya, garuda dipakai oleh Armani?

2.1 Simbol

Kasus “Garuda Armani” menyentak kita bahwa sebagai bangsa masih saja kita terlalu mengagungkan simbol dan mengesampingkan esensi. Sama halnya umat marah luar biasa dan cenderung memuncak jadi amuk massa kalau mereka lihat orang membakar dan menginjak fisik kertas kitab suci bikinan manusia sebagai simbol ayat-ayat Tuhan. Tindakan menginjak-injak simbol itu dianggap sebagai penghinaan terhadap agama.

Akan tetapi, lebih dalam daripada itu, menginjak-injak esensi kitab suci tak dianggap sebagai pelecehan agama. Amuk umat tidak seluar biasa dan semati-matian itu kalau menyaksikan orang seimannya melakukan korupsi. Sang koruptor tidak dianggap sebagai penghina agama. Mereka tidak diburu dengan gegap gempita seperti dahulu perburuan terhadap Salman Rusdhie. Jika nanti terbukti siapa penggarong Rp 6,7 trilyun duit Century, tak bakal tokoh itu diburu sebagai penghina kitab suci. Dia “cuma” menghina esensi kitab suci. Dia tidak menginjak-injak simbol kertas kitab suci.

Orang juga lebih sibuk mencari-cari akar simbol. Misalnya, apakah simbol burung garuda itu merujuk pada burung elang? Elang di mana? Elang Jawa? Atau burung gaib seperti yang dikenal di masyarakat Daya. Di kalangan pedalangan sendiri orang sibuk mereka-reka apakah garuda itu dibikin atas dasar simbol burung Jatayu, atau Sempati dalam Ramayana atau burung Wilmuna dalam Mahabharata.

Kesibukan mengurus simbol itu jauh lebih keras daripada kesibukan untuk mempertanyakan sejauh mana esensi garuda, yakni sila-sila dalam Pancasila benar-benar kita terapkan sebagai dasar, sebagai pandangan hidup dan —maaf— bukan sekadar kita manfaatkan menjadi sekadar tunggangan ketika garuda sekadar dijadikan nama perusahaan penerbangan. (Dalam hal ini Armani masih lebih etis. Garuda ditaruh di bagian dada. Bukan dijadikan tunggangan).

2.2 “Polisi tidur”

Sesungguhnya kita masih punya potensi untuk tidak terlalu memperkarakan simbol dalam kasus “Garuda Armani”. Memang dalam banyak hal kita sok simbolis sehingga sok sensitif ketika simbol-simbol kita dipermainkan atau dipakai oleh orang lain. Seolah-olah kita ingin mematuhi kategorisasi dunia ilmiah bahwa selain homo sapiens manusia adalah makhluk simbolis.

Akan tetapi, dalam beberapa hal sebenarnya kita sudah tidak jadi makhluk simbolis lagi. Contohnya garis tidak putus-putus di aspal jalan raya sebagai simbol tak boleh dilintasi, sudah tidak memadai lagi sebagai larangan. Perlu dibangun penghalang yang konkret, beton. Simbol batas kecepatan lalu lintas di lingkungan perumahan sudah tidak cukup lagi. Perlu dibangun “polisi tidur”. Di beberapa ruas jalan dan perempatan rambu-rambu lalu-lintas sebagai simbol juga kurang  bermanfaat lagi. Perlu dibangun sosok fisik patung-patung polisi untuk menakut-nakuti.

Mengapa semangat dari potensi tersebut yakni semangat untuk tak terlalu mempedulikan simbol, tak kita terapkan dalam menghadapi simbol garuda Armani?

2.3 Reog

Belajar dari festival reog Ponorogo di penghujung tahun lalu dalam menanggapi klaim Malaysia, yang antara lain menumbuhkan banyak seniman reog di berbagai daerah, sebaiknya energi tak kita buang sia-sia untuk meladeni Armani. Para seniman reog menjadikan Malaysia sebagai penggugah. Mengapa tak kita jadikan Armani sebagai penyentak kesadaran kita untuk kembali memiliki Pancasila. Artinya, kembali menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kita.

Festival reog itu antara lain menumbuhkan penata musik, koreografer, penari, pemain musik dan lain-lain di berbagai kota. Mereka tak perlu ribut dengan Malaysia. Nah, daripada ribut dengan Armani, mending kita bikin “Festival Pancasila” sepanjang waktu tanpa jeda hari. Festival sehari-hari ini akan memarakkan kembali pasar-pasar tradisional, petani garam, nelayan. Sejumlah 12.000-an anak jalanan atas dasar  catatan dua tahun lalu dan mungkin kini bertambah, makin lama makin berkurang dengan adanya “Festival Pancasila”, yakni diterapkannya esensi garuda dalam kehidupan konkret sehari-hari.

Dengan “Festival Pancasila”, universitas-universitas ternama juga makin terjangkau oleh biaya kaum yang tak berpunya. Sebagian dari mereka juga tak lagi menerapkan rasialisme dalam penerimaan mahasiswanya sehingga makin ke sini isinya cuma ras tertentu, karena ini melanggar sila persatuan dan kebangsaan dalam esensi garuda.

Biarkan soal garuda Armani cuma dapat simbolnya. Kita dapat esensinya. Ibarat klaim para pecinta ketika bertengkar dengan istri atau suami orang: Saudara dapat kertasnya (surat nikah sebagai simbol cinta), saya dapat cintanya.

 

3. Yakin Pancasila sebagai Akar Budaya

Salah satu cara yang saya usulkan agar kita bisa kembali pada Pancasila, sehingga kita lebih banyak digerakkan oleh NEED ketimbang WANT, adalah dengan keyakinan bahwa akar budaya negeri inilah, termasuk Pancasila, yang mampu membawa kita pada kebangkitan dan kejayaan babak baru Nusantara paska tahun 2012. Jalur ilmiah dan non-ilmiah seakan mencapai titik jumpa dalam menjelaskan kebangkitan Nusantara itu. Buku Prof Arysio Nunes dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found diterbikan oleh Atlantis Publications Inc., 2005, menunjukkan bahwa kerajaan Atantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang masih misterius bisa jadi tempatnya tidak di mana-mana melainkan ya Nusantara ini.

Temuan pakar dari Amerika Latin itu seakan memperkukuh studi selama kurang lebih 30 tahunan Denys Lombard melalui bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya (PT Gramedia Pustaka Utama, 1996). Antropolog Perancis itu menggaris-bawahi secara lebih detil dan meyakinkan suatu hal yang sebenarnya sama-sama kita sudah ketahui sejak di bangku sekolah. Yaitu, tentang betapa istimewanya kedudukan Nusantara dahulu maupun, seharusnya, di masa yang akan datang.

Lalu para sejarawan banyak yang menyebutkan bahwa setiap tempat memiliki periode atau siklus sejarahnya sendiri-sendiri. Nusantara menurut mereka, memiliki periode 700 tahunan. Seputar tahun 2012 adalah 700 tahun waktu dari kejayaan Majapahit, dan dua kali 700 tahun dari kejayaan Sriwijaya.

Rekan-rekan dari dunia paranormal sudah banyak yang berkasak-kusuk bahwa rentang antara 2012 sampai 2016 adalah tahun-tahun yang patut diramalkan untuk muncul kembalinya Sabdo Palon Noyo Genggong. Dalam ramalan Jayabaya, disebutkan bahwa sirnanya Sabdo Palon Noyo Genggong akan menandai keruntuhan Majapahit dan kelak Nusantara akan meraih kejayaannya kembali sekembali pasangan misterius Sabdo Palon dan Noyo Genggong tersebut.

Titik temu antara jalur ilmiah dan non-ilmiah itu bisa dipadukan juga dengan dasar pikiran ramalan Ronggowarsito. Pujangga keraton Surakarta ini membuat siklus tiga zaman. Urutan ketiganya adalah zaman kekacauan pribadi, Kalatida, zaman kekacauan pribadi yang memuncak menjadi kekacauan kolektif, Kalabendu, lalu ketenteraman, Kalasuba. Algoritmanya ternyata cocok dengan prinsip chaos dalam fisika modern temuan satu setengah abad berikutnva.

Bahwa chaos akan terdorong ke arah chaos lebih lanjut sampai pada akhirnya ke puncak chaos, Kalabendu. Karena hanya di dalam Kalabendu-lah terkandung energi internal untuk mendorong keadaan kembali normal. Ekstremnya, bisa dikatakan bahwa tak perlu campur tangan ekternal buat mengembalikan Kalabendu pada Kalasuba.

Berbagai bubble di bidang hukum, ekonomi, politik dan budaya tanda-tandanya akan mendorong keadaan Kalatida ke Kalabendu. Pada Kalabendu itu nantinya akan muncul energi internal untuk membalik sejarah pada seputar tahun 2012. Kalau dipaspaskan dengan ramalan suku Maya yang pernah hidup di selatan Meksiko dan prediksi mereka mengguncang dunia ilmiah tahun lalu, bahwa akan terjadi kebangkitan besar di dunia pada 21 Desember 2012, berarti ya saat itulah akan tampil pemimpin agung yang mengusung babak baru Nusantara babak Kalasuba.

 

4. Pancasila dan kearifan lokal

Dalam konteks antara NEED dan WANT, penerimaan kita terhadap Pancasila mesti dibarengi juga dengan penerimaan kita pada kearifan lokal, suatu norma-norma yang agraris yang mewarnai munculnya Pancasila.

4.1 Andai kita Dikerbaukan…

Andai para demonstran menyamakan kita dengan kerbau, pertama kita akan berterima kasih. Kerbau memiliki sifat-sifat baik dan bermanfaat. Kedua kita akan bersedih. Sedih, karena hal itu menunjukkan betapa para demonstran sejatinya bukanlah warga negara Indonesia. Bagaimana mereka bisa merasa sebagai orang Indonesia kalau mereka tidak mengenal dan mencintai pertanian? Bagaimana mereka bisa-bisanya mengaku mencintai pertanian kalau tak mereka pahami betapa kerbau, meski gemuk dan mungkin bodoh, sesungguhnya amat sangat berguna?

Kerbau paling lurus hasilnya kalau membajak sawah. Hasil garis bajakan sapi masih sedikit bengkok-bengkok. Ini karena kerbau mirip manusia autis, yang punya keterbatasan melakukan berbagai jenis aktivitas, dan kerap dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang di Tanah Air. Padahal orang autis kalau dipupuk bisa melakukan gerak yang sama ratusan kali dengan ritme dan ketelitian yang ajek dan luar biasa. David Beckham adalah saiah satu contohnya.

Kerbau yang tenaganya lebih besar ketimbang sapi juga jauh lebih disiplin. Kelihatannya saja kerbau tidak tebar pesona dan tidak jaim alias jaga image karena badannya sering berlumpur dari hobinya berkubang. Akan tetapi, bahwa sesungguhnya, kerbau sangat rapi hidupnya. Yaitu, pulang kandang selalu melewati jalur yang rutin mereka lalui saban hari. Buang kotorannya juga tidak di sembarang tempat. Kerbau praktis lebih sering buang kotoran di tempat biasanya dia buang  hajat.

4.1.1 Kyai Slamet

Ya, kita berterima kasih diibaratkan kerbau tapi jadinya juga sedih sekali. Mereka, para demonstran itu, seyogyanya kan memiliki ke-lndonesia-an yang lebih tinggi daripada rata-rata masyarakat yang cuek terhadap persoalan sosial? Akan tetapi, kenapa mereka jushu kehilangan jati diri sebagai masyarakat agraris? Terbukti soal kerbau saja mereka sedikit kurang paham.

Bahwa makhluk yang dikeramatkan di Keraton Kasunanan Surakarta sejak abad ke-17 adalah kerbau. Bukan kuda. Bukan sapi. Kerbaulah yang paling terbukti bisa menjaga kehormatan pusaka Kyai Slamet sampai-sampai kerbau itu sendiri secara turun-temurun dinamai Kyai Slamet dan diarak-arak setiap peringatan tahun baru 1 Suro.

Kerbau pula yang mampu menghantar Nusantara memperoleh penghargaan dari UNESCO belum lama ini. Wayang mereka hormati dan dudukkan sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan. Apakah para demonstran itu berpikir bahwa Nusantara tetap bisa memiliki wayang tanpa adanya kulit kerbau? Kulit sapi dan hewan-hewan lain tidak bagus sebagai bahan wayang kulit. Jati diri kebudayaan Nusantara yang suku-sukunya saling bekerja sama juga mengolah tanduk kerbau, terutama kerbau Toraja sebagai gapit dan cempurit (tulangan dan pegangan) wayang.

Dan betapa orang-orang hebat dahulu kala juga menggunakan kerbau alias kebo atau mahesa sebagai namanya. Misalnya Mahesa Wong Ateleng. Ada juga Kebo Marcuet di alas Purwo. Saking saktinya sampai Raja Blambangan itu meresahkan Majapahit.

Apakah nama pemimpin Ekspedisi Pamalayu itu lebah? Tidak. Tapi Kerbau. Yaitu Kebo Anabrang. Kalau tidak digdaya, mustahil panglima Kerajaan Singasari itu berhasil menaklukkan seluruh wilayah Melayu termasuk kerajaan Melayu Jambi dan Sriwijaya. Di Singasari itu banyak tokoh bagus-bagus namanya pakai kebo. Jangan cuma terpaku Kebo Ijo yang pandir dan dimanfaatkan oleh Ken Arok. Lihat juga Kebo-Kebo yang lain. Kebo Giro, nama gending gamelan yang sering ditalu pas mantenan, itu juga enak.

4.1.2 Saidjah dan Adinda

Ah, andai kita dikiaskan sebagai kerbau, meski sedih kepada para demonstran, saya akan tetap menyimpan rasa senang. Senang, karena salah satu buku yang inspiratif untuk kembali bangga sebagai orang Indonesia, Menjadi Indonesia oleh Parakitri Tahi Simbolon (1995), sampulnya juga bergambar kerbau. Pada buku terbitan Kompas dalam rangka 50 tahun Indonesia itu sang kerbau tampak akrab dengan si Kuncung yang tampak merenung dan sedang bermain seruling di sawah.

Mungkin kerbau muncul di sampul tersebut karena cerita Saidjah dan Adinda karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker, 1820-1887). Ini lakon tentang betapa besarnya seharusnya Nusantara. Saidjah, pemuda sederhana, selain jatuh cinta pada seorang gadis, Adinda, jatuh cinta pada sawah, juga cinta luar biasa terhadap kerbau. Ia bahkan rela menjual keris warisan leluhurnya demi mendapatkan kerbau tersebut.

Ada lagi. Monyet-monyet vang hampir punah di suatu hutan di Parapat, Sumatera Utara kini mulai beranak-pinak berkat Umar Manik. Lelaki eksentrik ini menggunakan tanduk kerbau untuk tiap hari mengumpulkan monyet-monyet dan memberinya makan pisang. Tanduk kerbau itu dia bikin menjadi semacam terompet. Monyet bisa mendengar tiupan “sangkala” kerbau sampai radius 3 kilo meter. “Kalau pakai tanduk hewan lain, aneh monyet-monyet tidak mau berkumpul,” alasan Umar Manik saat saya temui di Jakarta.

Maka, andai kita dipadan-padankan dengan kerbau, kita takut sekali kalau kita jadi tersinggung. Kalau sampai kita tersinggung, berarti kita kurang mempunyai pemahaman yang paling mendasar untuk memimpin negeri ini: pemahaman akan pertanian beserta seluruh Iingkup kebudayaannya.

4.2 Metabolisme kreatif

Lebih penting daripada memperdebatkan kapan kebangkitan Nusantara tiba, lebih baik dalam konteks budaya munculnya Pancasila kita mengolah metabolisme kreatif di bidang masing-masing untuk mempercepat tibanya masa yang menjanjikan itu.

Metabolisme kreatif yang saya maksud adalah menyerap segala unsur yang masuk dari “Barat” dengan pencernaan yang telah digembleng oleh pengalaman, pengetahuan maupun kearifan lokal. Jika kelak dunia kedokteran kita bisa “mandiri” seperti dunia kedokteran Cina, misalnya karena kearifan lokal dunia herbal dan medis kita begitu kaya, maka tanda-tanda bakal datangnya kebangkitan Nusantara sudah terlihat.

Apalagi jika “kemandirian” serupa juga menjangkiti bidang-bidang lain seperti teknik, hukum, ekonomi dan sebagainya. Ini pertanda bahwa kebangkitan Nusantara akan makin lekas lagi kita jelang.

Misalnya, pengalaman, pengetahuan dan kearifan lokal dunia arsitektur kita yang tropikal ini kembali digalakkan untuk memperkaya prinsip-prinsip arsitektur yang kita serap dari dunia “Barat”. Hukum-hukum adat diserap ke dalam hukum dan perundangan kita yang selama ini masih berwajah “Barat” dan masih berupa warisan kolonial. Dalam perekonomian, ilmu ekonomi dari “Barat” perlu kita cerna bersama pengetahuan akan pentingnya desa, bukan kota, sebagai satuan dan pusat-pusat kegiatan perekonomian seperti pada masa Sriwijaya dan Majapahit.

Ringkasnya, seluruh disiplin ilmu pengetahuan (Science) yang kita pelajari dari “Barat”, yang belakangan ini nyaris kita telan bulat-bulat. Seyogyanya sudah mulai lagi kita ramu dengan pengetahuan (knowledge) tanpa terlalu peduli hasilnya bakal diterima dalam kode dan standar science internasional. Toh lama-lama. seperti dunia kedokteran Cina yang khas, akhirnya mulai diakui dan diterima juga oleh dunia kedokteran internasional.

Saya membayangkan metabolisme kreatif yang terjadi dalam dunia kesenian di Nusantara mengilhami metabolisme serupa di bidang-bidang lain seperti teknik, hukum, ekonomi dan sebagainya.

Ketika trompet dan trombon masuk melalui kolonialis, orang-orang Betawi tak menelannya bulat-bulat. Mereka mengolah trompet dan trombon menjadi musik Tanjidor dan Gambang Kromo. Tatkala musik Portugis masuk ke Nusantara,  orang-orang di sini terutama Jawa Tengah mengolahnya menjadi musik Kroncong.

Begitu dan seterusnya. Jas kita olah menjadi beskap sehingga ada tempat buat menyengkelit pusaka Keris di bagian punggung. Sepatu kita olah menjadi selop agar mudah dilepas ketika memasuki pendapa. Violin yang dari “sono”-nya dimainkan di pundak akhirnya dimainkan di lengan oleh masyarakat Banyuwangi. Alat gesek ini juga dimainkan tegak seperti cello, tapi pemainnya bersila, seperti lazim digunakan sebagai pengiring sastra tutur Kaba di Sumatera Barat.

Borobudur yang kini menjadi salah satu keajaiban dunia juga tak sepenuhnya menyerupai bentuk-bentuk asli tempat Buddha berasal. Arsitektur religius ini telah dipadukan dengan arsitektur dan pandangan hidup Nusantara sebelum Buddha  masuk.

Apakah metabolisme kreatif yang berlaku dalam dunia kesenian tak dapat kita berlakukan buat bidang teknologi dan ilmu pengetahuan? Menurut saya metabolisme kreatif di lapangan kesenian itu dapat juga kita terapkan dalam dunia teknologi dan ilmu pengetahuan. Ini karena, sama dengan kesenian, teknologi dan ilmu pengetahuan toh juga bersandar pada filsafat dan pandangan hidup. Jika filsafat dan pandangan hidup lokal yang melahirkan kesenian lokal dapat kita padukan dengan filsafat dan pandangan hidup yang melahirkan kesenian “Barat”, berarti filsafat dan pandangan hidup lokal yang melahirkan teknologi dan (ilmu) pengetahuan lokal dapat pula kita padukan dengan filsafat dan pandangan hidup yang melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan “Barat”.

Seorang rekan, Doktor dan bekerja di Biro Pusat Statistik, kini sedang meneliti bagaimana filsafat dan pandangan hidup lokal masyarakat Majapahit dulunya ketika menerapkan ilmu “statistik”. Dia yakin bahwa Nusantara kelak akan mendapatkan “kemandirian” dalam ilmu Statistik jika filsafat dan pandangan hidup dari masyarakat Majapahit itu digunakan untuk menenfukan angka-angka penting dalam statistik seperti “angka rata-rata” (mean), median, modus, simpangan rata-rata dan   sebagainya.

Sedikit kembali ke teori chaos, tenaga internal yang menyelesaikan disorder menjadi order itu dalam pandangan saya adalah kerendah-hatian kita untuk mulai bersedia mempertimbangkan pengalaman, pengetahuan dan kearifan lokal dalam menggulati ilmu pengetahuan dari “Barat” Bahkan, kalau perlu, kita meneliti hal-hal yang semula berbau klenik. Asumsinya, tak ada yang klenik di dunia ini. Semuanya ilmiah. Yang membedakan dunia klenik Nusantara dan dunia ilmiah “Barat”, dunia klenik Nusantara belum bisa dijelaskan secara rasional karena belum kita teliti sementara dunia ilmiah “Barat” bisa dijelaskan dengan gamblang.

Contoh, di Jawa ada larangan naik pohon kelapa lebih dari sekali dalam sehari. Ini kedengarannya klenik. Padahal, kalau kita rasionalkan, juga bisa. Pohon kelapa yang kita panjat lebih dari sekali akan jadi licin karena pengaruh keringat pemanjat sebelumnya. Kedua, naik pohon kelapa lebih dari sekali dalam sehari akan memungkinkan terlalu banyaknya konsumsi buah kelapa melebihi kebutuhan. Mungkin ini akan berbahaya buat kesehatan manusia dan kelestarian pohon kelapa itu sendiri.

Di salah satu masyarakat Dayak ada kepercayaan yang sekilas tampak klenik, yaitu larangan menebang bambu di segala waktu kecuali hari Selasa di atas jam 13.00. Mungkin ini ada hubungannya dengan perputaran bumi yang mengakibatkan gaya sentrifugal dan selanjutnya berhubungan pula dengan naik-turunnya permukaan air tanah. Juga mungkin itu ada hubungannya dengan gaya tarik bumi-bulan. Dari pengalaman turun-temurun yang lantas menjadi dogma adat mereka tahu bahwa pada periode hari Selasa di atas jam 13.00, permukaan air tanah setempat rendah, dengan demikian kadar air pada bambu yang ditebang tak terlalu banyak. Air tanah tak terlalu terkuras dan bambu relatif lebih awet, tak mudah rapuh.

Di sekitar masyarakat Karanganyar, Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa kalau ayam betina sudah bertarung dengan ayam betina (bukan seperti biasanya ayam jantan versus ayam jantan), itu suatu pertanda bahwa di sekitar tempat itu bakal terjadi tanah longsor. Pasti ini hanya selesai sebagai klenik kalau dunia ilmiah Nusantara tidak bersedia menelitinya. Siapa tahu di dalam tubuh ayam betina ada sensor yang berkaitan dengan stabilitas tanah. Jika bahan-bahan dan sistem pada organ ayam betina itu bisa kita bikin imitasinya yang bekerja atas dasar prinsip dan mekanisme yang sama, bukankah kita kelak bisa membuat detektor khas untuk mendeteksi tanah Iongsor?