Suatu hari saya pernah BBM Pak Ishadi SK semasih memimpin Trans TV. Saya sedikit curhat, kok end credit film-film yang ditayangkan di stasiun televisinya sering terpotong. Nama-nama pekerja balik layar itu malah kerap kali tak nongol.
Trans TV tentu bukan satu-satunya. Teve-teve lain juga berlaku sami mawon.
Saya curhat ke Pak Is ya karena kebetulan kami temenan. Dengan eksekutif televisi lainnya saya tak begitu karib. Lagian, Pak Is selain praktisi televisi juga intelektual dedikatif di bidangnya. Saya hadir waktu promosi Doktornya di Universitas Indonesia.
“Ilmu komunikasi hati saya. Televisi darah saya,” kira-kira begitu pidato pengukuhannya. Sori berat kalau tak persis sama. Maklum, pagi di Depok itu sudah dulu sekali. Tahun 2002. Tapi lihatlah. Seseorang yang dedikatif seperti Pak Is saja akhirnya termehek-mehek menghadapi hukum-hukum industri. Hukum itu antara lain bilang bahwa waktu sangatlah uang. Bahwa tayangan end credit harus direlakan demi iklan.
Pak Ishadi saja seperti itu. Apalagi cuma orang sekelas saya kalau misalnya kapan-kapan, walau mustahil, memimpin televisi.
Mau tahu saya itu manusia sekelas apa? Ini: Saya misalnya sudah lupa siapa nama asli Bunga, seorang lelaki asal Purwokerto, penata rias saya di film Tendangan dari Langit. Padahal, salah satu hiburan saya pas syuting di Bromo itu adalah mendengarkan Bunga menyanyi dangdut dengan kemayu sembari merias saya.
Pada film Detik Terakhir, di situ tampil antara lain Cornelia Agatha, saya kerap ngobrol dengan Ibu Negara, panggilan untuk lelaki kemayu yang memimpin tata rias. Ketika itu saya tahu nama aslinya. Tapi sekarang saya sudah lupa.
Masih banyak lelaki kemayu dalam berbagai produksi film yang saya terlibat lalu saya tak ingat. Padahal mereka banyak berjasa kepada saya di luar tugas pokoknya. Selain menyanyi dan mengajak ngobrol, mereka tak segan melakukan ini-itu untuk saya yang mestinya menjadi tugas orang konsumsi.
FYI: Setiap syuting, saya memang jarang ngumpul bareng artis di ruang artis. Saya lebih hepi ngobrol dengan tukang disel, sopir, bagian konsumsi dan lain-lain. Di Bali, dalam produksi film yang disutradarai Cassandra Massardi, 100 Persen Sari, saya ingat akrab sekali dengan sopir Hardtop yang membawa disel dari Jakarta.
Tapi sekarang saya sudah tak ingat nama bahkan wajah pemuda polos itu.
Maka ketika pekan lalu di Thamrin City saya berpapasan dengan seseorang dan ternyata langsung bisa ingat dan menyeru namanya, wah hati saya jingrak-jingrak. “Bejo ya?” tegur saya. Agak gemukan dia sekarang. Tahun 90an, dia soundman dalam film pertama yang saya ikuti, Telegram, arahan Mas Slamet Rahardjo.
Jingkrak-jingkrak, karena andai nama itu tak saya ingat wah sangat menyedihkan.
Tapi, sebetulnya, lebih menyedihkan mana dengan penonton yang langsung meninggalkan bioskop ketika end credit dengan musiknya masih enak-enaknya nongol di layar?
Mungkin yang dihadapi Pak Ishadi bukan para pengiklan yang menggusur end credit, tapi penonton televisi yang juga tak tertarik melihat nama siapa pun para pekerja bekerja di balik layar.