AREA 2011 - 2012

AREA 98 Menunggu Ganti Wisata Lidah

3,796 Views

TejomusikHidup untuk makan atau makan untuk hidup? Usia pertanyaan itu sudah lama, lebih lama ketimbang masa-masa Pak Nurdin Halid di PSSI. Bahkan sebelum Pak Nugraha Besoes jadi sekjen PSSI dilema soal makan itu pasti sudah ada.

Dan aktivitas makan-memakan dianggap lebih penting ketimbang cuaca.

Saya kira baru setahunan terakhir ini ramalan cuaca di media massa mulai dilirik orang di Nusantara. Terjadi perubahan iklim global. Mungkin kaum perempuan takut saltum, salah kostum. Mereka cemas udah nyiapin kostum buat panas-panas tahunya mendung.

Bandingkan dengan acara kuliner yang sudah marak di televisi kita sebelum pergantian milenium.

Masakan-masakan daerah juga mulai bermunculan di daerah-daerah lain setelah masakan Padang memonopoli sebagai satu-satunya menu yang “menjajah” pelosok Tanah Air. Masakan Sunda menyerbu Surabaya. Sebaliknya masakan khas Jawa Timur seperti rawon dan rujak cingur menyerbu tanah Pasundan. Masakan Manado, Makassar dan lain-lain juga ngluruk ke luar daerah.

Ini gejala apa? Apa karena manusia sudah kelamaan makan yang itu-itu saja? Dari bayi sampai umur 30-an makan terus-menerus dengan menu-menu yang sudah dikenalnya, mereka lantas mencari alternatif lain?

Teori Global Paradox bahwa globalisasi akan diimbangi oleh bangkitnya lokalitas, mungkin bisa menjelaskan ini. Di tengah aneka menu Italia, India, Jepang dan lain-lain, muncul kelokalan dari Ayam Taliwang dan berbagai versi ayam goreng sejak versi Jogja, Cianjur dan sebagainya.

Sangat semarak. Namun mungkin lebih menggairahkan jika di masa depan aneka masakan itu tak cuma berlomba enak-enakan rasa. Di masa depan pengunjung tak sekadar datang untuk berwisata lidah. Mereka sebaiknya digerakkan datang oleh janji kesehatan suatu menu khas daerah.

Saya bukan ahli kuliner, bukan pula ahli kesehatan. Jadi saya tidak tahu apakah pecel itu menyehatkan. Saya cuma bisa merasakan sedang minum jamu gendongan ketika menyantap pecel. Badan jadi terasa seger sumyah.

Maksud saya, apakah bumbu pecel tidak bisa diolah dan dikembangkan lagi oleh empu di berbagai daerah Nusantara menjadi masakan khas daerah tersebut.

Masakan Sunda seperti sayur asem, lalapan, sambal dan ikan bakar sangat asyik rasanya ke badan. Efeknya tak sama persis dengan sehabis makan pecel, namun, asal nasinya tidak terlalu banyak, makanan Sunda ini menyegarkan tubuh. Darah seperti mengalir lancar.

Maksud saya, apakah rahasia masakan Sunda itu juga tak bisa diolah dan dikembangkan lagi oleh pakar-pakar masakan dari daerah-daerah lain meski wujudnya tak lagi sayur asem?

Teman-teman yang menggeluti kuliner bilang, usaha mengolah dan mengembangkan makanan tersebut sudah ada. Tapi kok dalam kesan saya, masih lebih banyak makanan yang cuma memanjakan lidah seperti olahan jeroan, minyak, santan, asinan dan manisan.

Kabar baiknya, kita masih punya satu dari empat makanan tersehat di dunia yaitu tempe. Temuan olahan kedelai dari nenek moyang ini dinilai sesehat yoghurt (Yunani), kimchi (Korea) dan minyak zaitun (Spanyol).

Ah, saya ingin melihat lebih banyak lagi masakan-masakan baru hasil pengembangan dari prinsip-prinsip pembuatan tempe selain pecel dan lalapan Sunda.