AREA 2009 - 2010

Cukup dan Cantik, dan Cukup Cantik

4,446 Views

Cantik tak ada ukuran pastinya. Cukup cantik juga kayak gitu. Tapi umumnya kita langsung sepakat apa seseorang memenuhi kaidah cantik, cukup cantik, atau belum masuk kriteria itu.

Sampeyan lihat ada sekelompok manusia tampak berdebat kusir entah di kafe entah di mana? Pasti gara-garanya bukan soal apakah seseorang cantik atau tidak.

Mungkin soal jumlah partai politik. Ada yang bilang cukup. Terlalu sedikit. Atau justru kurang banyak. Nanggung cuma di bawah angka 50.

Mungkin juga soal batas usia pensiun Hakim Agung. Cukup 65 tahun aja? Atau 67? Kenapa gak dibikin seumur hidup sekalian, meski belum lama ini ada Hakim Agung pingsan di forum resmi karena usia lanjut.

Yang jelas, mereka pasti tak sedang otot-ototan soal cantik -tidaknya seseorang.

Celakanya, sama-sama tak ada ukuran pastinya, kata “cukup” berbeda dibanding “cantik”. “Cukup” itu debatable.

Apa Sampeyan cukup punya satu pasang sepatu persis kuda? Tapi kuda pun punya dua pasang….lho karena kakinya empat. Atau ribuan pasang sepatu bagai Imelda Marcos?

Apa Sampeyan cukup punya satu kulkas satu pintu, atau banyak kulkas banyak pintu? Cukup sudahkah handphone terakhir Sampeyan selama ini, atau harus ikutan termehek-mehek beli Blackberry?

Susah lho ngejawab itu. Seseorang punya Blackberry agar diterima di pergaulannya. Yang lain punya itu karena kepentingan kerjaan. Dia misalnya harus selalu kirim tulisan panjang ke kantornya dari mana pun tubuhnya berada.

Gue berlebihan?” protes si gaul tadi. “Ya nggak lah ya. Kalau gue diterima di pergaulan, gue akan lebih mudah dapat gawe.”

Mungkin karena untuk memahami “cukup”, manusia musti dapat membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Kebutuhan bisa dicukupi. Keinginan ndak pernah ada cukup-cukupnya. Dan ini sukar dipilah-pilah.

Konsumerisme dan konsumtivisme malah lebih gampang dibedakan. Kita aja yang suka mencampuradukkan kedua kata yang nyaris kembar siam itu.

Gampangnya, konsumtivisme gerakan mengumbar nafsu membeli. Konsumerisme gerakan perlindungan konsumen. Misalnya menuntut government ngasih tahu kelebihan dan kekurangan suatu produk.

Jika manusia bisa membedakan kebutuhan dan keinginan, seperti dapat mereka bedakan konsumtivisme-konsumersime, mungkin kata “cukup” dalam kepemilikan harta tak perlu diperdebatkan lagi.

Kadang saya mikir, kenapa manusia mudah sepakat akan kecantikan Audrey Hepburn pada zamannya, Sharon Stone, Jodie Foster, Kim Bassinger, Gong Lie, Julia Roberts, Michelle Pfeiffer, Cameron Diaz, Natalie Portman, Angelina Jolie, Chaterine Zeta-Jones dll…?

Mungkin karena pada saat menilai, seluruh manusia langsung sanggup menerka apa itu memang kebutuhannya (untuk harus sampai memperisteri atau memacari mereka) dan apa itu cuma keinginannya (untuk sekadar melongo nonton di film).

Terhadap harta kita tak bisa seperti itu. Apalagi dalam perkara harta, kita tak kenal kata jodoh. Kita semua langsung menakar bukan jodoh Nicole Kidman segimana cantiknya perempuan ini. Tapi tak gampang menakar dan mengaku bahwa jodoh kita memang “cuma” kulkas dua pintu atau rumah tipe 36.

Tapi, temen-temen saya yang hepi dengan seberapapun “kecilnya” pendapatan mereka, rata-rata karena tahu dikit-dikit beda antara kebutuhan dan keinginan.

Mereka tahu artinya “cukup”. Dan cukup sekian tulisan ini.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 46, 13 Januari 2009 )