Sindo

Dari Rahwana Sampai Gembok Celana Pemijat

3,817 Views

Pekan lalu saya sowan ke Gus Solah, Salahuddin Wahid, di kediaman ekonom Dr Hartojo Wignjowijoto di Jakarta. Adik mantan Presiden Gus Dur ini membahas soal pendidikan di Tanah Air.

Kata pemimpin Pondok Pesantren Tebu Ireng ini, hal pertama yang harus dipecahkan adalah pendidikan. Hal kedua pendidikan! Ketiga pendidikan!! Keempat pendidikan!!! Dan seterusnya tak ada lain kecuali pendidikan!!!!!

Dua hari berikutnya saya bertemu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di Hotel Borobudur di Jakarta. Pesan Gus Solah saya sampaikan. Tentu saya tambahi bumbu-bumbu.

Bumbunya cerita wayang. Bahwa masyarakat perlu dididik, atau tepatnya perlu diberi pertimbangan, bukan saja Rahwana yang gatel pada Dewi Sinta. Sinta Ooo…, isteri Prabu Ramawijaya ini juga ngebet pada Rahwana.

Melalui cerita wayang yang kita reka ulang, masyarakat perlu diberi pertimbangan untuk kembali belajar menerima kebaikan dan keburukan bangsa ini secara apa adanya. Tidak munafik untuk cuma menerima kebaikan-kebaikannya semata.

Alasannya ada. Rahwana alias Dasamuka pernah mau bunuh diri lantaran malu punya fisik jelek. Apalagi ia berkepala sepuluh. Tapi Dewa melarangnya. Dewa memintanya tetap hidup karena alam semesta memerlukan Yin dan Yang, memerlukan sisi gelap dan sisi terang, membutuhkan siang dan malam, memerlukan hal positif dan negatif.

Rahwana akhirnya tak jadi bunuh diri tapi dia ajukan dua syarat: Kesaktian tanpa tanding dan titisan Dewi Widowati sebagai isteri. Dewa mengabulkan keduanya. Dan bintangnya bidadari, Dewi Widowati, kelak menitis ke tubuh Dewi Sinta.

Seingat saya Pak Menteri Bambang Sudibyo kaget reaksinya. “Ini hipotesis yang nekad,” katanya. Tapi secara amat santun dan penuh penghargaan, Pak Bambang mau menyimak penuh-penuh cerita saya.

***

Tak cuma pendidikan. Gus Solah juga bicara soal bentuk negara. Ia tahu bahwa kini kian banyak orang bete dan jenuh dengan bentuk demokrasi. Banyak yang merindukan bentuk kerajaan maupun bentuk totaliter.

“Berpikir ke arah itu tentu boleh-boleh saja,” katanya. “Berpikir kan bebas-bebas saja. Tapi ketika pikiran itu akan kita tuangkan dalam rencana dan perbuatan, kita akan berhadapan dengan hukum negara yang sedang berlaku.”

Kebetulan abis itu datang orang India, adik pengamat ekonomi pertanian HS. Dillon. Orang Sikh ini menyinggung dua jenis dosa yang nanti bisa saya hubungkan dengan topik Gus Solah mengenai bentuk negara, dan cerita tentang Sinta-Rahwana. Bahkan bisa ada hubungannya dengan ide penggembokan celana para pemijat.

Dosa pertama disebut papi. Yaitu pikiran jahat. Ini urusan Tuhan. Jadi, kita bebas berpikir, memang. Tapi pikiran jahat sudah termasuk dosa.

Jenis kedua adalah dosa aperiti (?). Yaitu perbuatan jahat. Ini sudah jadi urusan hukum, urusan negara. Negara tak mengurusi pikiran jahat para warganya. Negara hanya mulai bekerja menegakkan hukum manakala pikiran jahat warganya itu telah diekspresikan dalam perilaku.

***

Bagi saya, ide penggembokan celana perempuan di panti-panti pijat di Batu, Malang, muncul karena manusia tak menerima kebaikan dan keburukan secara apa adanya. Kalau bikin gedung, pasti orang itu tak kasih ruang buat para perokok. Mereka melupakan bahwa Rahwana si simbol keburukan pun dulunya pernah mau bunuh diri tapi ndak boleh ama Tuhan.

Biarkan kaum lelaki yang dipijat berpikir bahwa dia bisa melakukan hubungan seks dengan pemijatnya. Bebas saja kan berpikir? Sama bebasnya, merujuk Gus Solah, dengan berpikir mau mendirikan bentuk negara baru di Nusantara.

Menurut kawan dari Sikh itu, segala pikiran tadi (kalau jahat) toh sudah dicatat sebagai dosa oleh Tuhan.

Nah, ketika pikiran seks itu mau dituangkan di ranjang pijat, dan ditolak oleh tukang pijat sampai terjadi pemaksaan dengan kekerasan, urusannya sudah memasuki wilayah hukum, ranah negara. Undang-undang mengenai pelecehan itu juga sudah ada. Maksud saya, apakah masih kita perlukan gembok celana pemijat yang mirip pita venus di Denmark dulu atau Sabuk Florentin abad XV?

***

Saya punya banyak keburukan. Antara lain data dan catatan saya selalu acak-acakan dan berantakan. Termasuk catatan nomor telepon seluler Mas Edy Rumpoko, Walikota Batu. Tadinya saya mau minta konfirmasi pecinta lukisan itu tentang “gembokisasi” celana para pemijat di Batu.

Saya sudah mau kesel, menyalahkan diri sendiri. Untung ingat soal Rahwana, untuk menerima kebaikan dan keburukan apa adanya. Toh saya sudah berusaha keras merapikan catatan dan telah beberapa kali berhasil. Apa salahnya sekali-sekali gagal.

Saya minta saja komentar Dominique Agisca Diyose. Hubungan Domi dengan topik “gembokisasi” apa? Dia kan bukan walikota Batu? Ya tetep bisa dihubung-hubungkanlah. Yaitu, dalam tulisan soal gembokisasi ini ada Gus Solah. Padahal Gus Solah suka film Berbagi Suami. Nah, Dominique ini salah satu pemainnya.

Komentar Domi via SMS dini hari, “Haduoh sorry ya baru reply. Aku baru pulang dari latihan performing arts di antah berantah (Depok). Jadi comment’ku soal gembok celana? Well, menurutku itu agak konyol ya, ada aturan seperti itu. Yang digembok celananya. Lah, terus kalo mereka pada mau kencing berarti nambahin kerjaan dong habisin waktu buat buka gembok dan tutup lagi. Lagipula, itu kan malah bikin orang-orang lain pada penasaran dan semakin datang ke sana untuk cari tahu hehehe…”

Komentar saya sendiri…Ah persis komen Pak Fauzi Bowo aja deh ketika beberapa orang Jakarta pengin juga ada “gembokisasi” celana pemijat. Komen kami sama, yaitu, mesam-mesem saja.

(Dimuat di harian Sindo No. 81, tanggal 11 April 2008)