Ini Baratayuda babak ke-delapan. Sering pula dinamai babak Suluhan. Lelakon tentang gugurnya Prabu Gatutkaca, anak Bima dari Dewi Arimbi. Raja Pringgandani itu tewas oleh pusaka pamungkas milik Adipati Karna, pakde Gatutkaca sendiri.
Lihatlah…Dari antariksa tubuh Gatutkaca yang telah jadi jenazah menukik seperti burung dara jantan ke pasangan betinanya. Bahkan lebih laju ketimbang pembalap Valentino Rossi. Berdebum jazadnya jatuh ke tanah. Bumi terguncang kala itu, sebelum tangis melanda Pandawa dan sebaliknya tawa membahana di kalangan Kurawa.
“Kesayangan dewa itu mampus kena senjata kunta, Mak?” tanya ponokawan Limbuk kepada emaknya.
Cangik, emaknya, perempuan tua dan kurus kerempeng, mengangguk-angguk di Bunderan Waru Suroboyo.
“Lho, senjata kunta walau hebat, ngedap-edapi, kan cuma mustajab sekali pakai, Mak?”
“Memang, Mbuk. Habis sekali pakai koyo yak yako kae, kunta loyo. Lemas, mas…mas…mas..”
“Lunglai…lai…lai…lai…Mak?”
“Ho’o Mbuk…Makanya kunta nggak pernah dipakai untuk merk obat kuat,” si emak sambil membaca unek-unek anak perempuannya yang gembrot itu. Limbuk seakan mikir-mikir: dengan pusaka apa nantinya Adipati Karna bakal menghadapi Arjuna?
Ya, entahlah.
Kalau saat itu Karna lupa bahwa ia masih harus menghadapi Arjuna di hari lain dengan senjata pamungkas, ya mungkin karena khilaf. Saking Adipati di Awangga itu menggebu-gebu ingin membuktikan bahwa dia bukan musuh dalam selimut Kurawa. Bahwa Karna, meski saudara kandung Pandawa sesama putra kandung Dewi Kunti, lahir trusing batin memang berpihak pada Kurawa.
Kok ndilalah di babak Suluhan Baratayuda Jayabinangun kala itu seluruh Kurawa keteteran menyambut Gatutkaca. Tokoh yang saat bayinya saja sudah menjadi jago para dewa dalam menggempur raksasa Ditya Kala Sekipu itu memang sakti. Apalagi setelah dewasa ia tambah digdaya. Kedua tangannya kepanjingan aji brajamusti dan brajalamatan yang sanggup meremukkan gunung mengoyak samudra. MURI-nya Jaya Suprana tak pernah mencatatnya sebagai rekor. Tapi semua penonton wayang sudah mahfum akan hal itu.
Kocap kacarita…
Hidup memang soal pilihan. Namun tatkala itu pilihan tak ada. Maka suami Dewi Surtikanti, sedikit diantara tokoh wayang yang tak berpoligami, Adipati Karna alias Suryaatmaja, harus ambil keputusan. Ia harus mengakhiri Gatutkaca dengan pusaka yang sesungguhnya seumur hidup ia persiapkan hanya untuk menghadapi Arjuna: Senjata Kuntawijaya.
***
Yang bikin Cangik agak heran adalah perkembangan otak Limbuk. Dulu buta huruf lho dia, lalu ikut program pemberantasan buta huruf di kawasan Bojonegoro. Ia lalu jadi pekerja industri alat-alat pertanian dan dapur di Desa Kuniran, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
Sekarang perkembangannya luar biasa. Cangik nggak nyangka Limbuk akan bertanya begini: Laopo kok Adipati Karna harus ngoyo banget membuktikan diri bahwa dia bukan musuh dalam selimut negeri Astina. Padahal saat itu belum ada Demokrat. Belum ada Golkar. Belum ada PPP. Belum ada PKB. Belum ada partai-partai. Yang harus dibuktikan kan cuma dalil Pythagoras karena sudah ada sebelum Masehi, jauh sebelum ada wayang.
Cangik tolah-toleh. Pertanyaan Limbuk itu tidak ada hubungannya dengan lakon Suluhan. Tapi kalau dirasa-rasa, kok omongan Limbuk yang ngalor-ngidul ngetan bali ngulon itu terasa ada nyantol-nyantolnya juga ya.
“Maksudmu apakah ada orang Golkar atau partai-partai yang menyusup ke Demokrat, Mbuk?”
Limbuk seakan tahu bahwa emaknya sedang berbicara pada diri sendiri. Coro Londo-nya soliloquy. Coro Jowo-nya nggremeng. Maka Limbuk tak menyahut. Limbuk lebih asyik mengingat-ingat dongeng Cangik sebelum Adipati Karna panas hatinya lalu membuktikan diri bukan musuh dalam selimut.
Waktu itu di depan sang pemimpin Astina Raja Duryudana, penasihat negeri Resi Krepa terang-terangan menuding Adipati Karna sebagai musuh dalam selimut. “Raganya ada di Tanah Air kita, namun jiwanya ada di Tanah Air para Pandawa di negeri Amarta,” tandas Resi Krepa.
“Sinuwun, Prabu, Duryudana, mohon maaf kalau saya matur blak-blakan…Tapi musuh dalam selimut seperti orang di samping saya ini dinobatkan jadi menteri saja tidak patut. Orang seperti ini bisa saja menjadi agen kelompok lain dalam negeri, malah agen asing sekalian. Apalagi kalau dijadikan panglima perang…”
***
Prabu Duryudana cuma berdehem-dehem sambil tetap duduk di singgasana. Tapi bokongnya agak esrek pertanda gelisah. Sudah beberapa kali ia ingin menghentikan peperangan darah Barata. Ia akan kembalkan saja negeri Astina yang memang hak Pandawa. Tapi Adipati Karna selalu membuat gelagat …Baratayuda lanjutkan … lanjukan …
“Artinya kan Adipati Karna memang mati-matian jiwa raga membela Duryudana?” tanya Limbuk dan Cangik pada ponokawan Gareng, di bawah pohon, di tepian Tegal Kurusetra.
“Belum tentu. Adipati Karna itu tahu kok dirinya sudah dikutuk oleh gurunya, Resi Druwasa. Isi kutukan, Karna bakal lupa mantera jika akan melepaskan senjata kunta kepada Arjuna…”
“Artinya Adipati Karna sudah tahu bahwa ia dan Kurawa bakal kalah? Tapi kenapa dia juga yang terus ngompor-ngompori Duryudana agar Baratayuda …lanjutkan …lanjutkan?”
Ah…
Bersamaan perbincangan ponokawan itu senapati Pandawa Gatutkaca telah menggegana di langit Tegal Kurusetra. Bersiap ia menghadapi senapati Kurawa Adipati Karna. Prabu Duryudana beserta seluruh hulu balang dan prajurit mendongak ke dirgantara, menerawang Gatutkaca terbang. Seolah mereka lupa pesan leluhur: Jangan selalu memandang ke atas.
Pada saat itulah seluruh pagar betis kecolongan: Seorang tukang rumput naik sepeda Oemar Bakrie melintas tepat di depan sang raja.
“Saya tahu alasan sebenarnya kenapa Adipati Karna maju. Kalau raja mau mendengarkan, saya akan bercerita,” ujar Pak “Bakrie” saat diringkus regu pengawal.