Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 117 Dursasana “Mak Jleb” ke Limbuk

6,205 Views

Episode117Nggak ada yang lebih menyinggung perempuan ketimbang mengira paha padahal lengan. Itulah yang baru dialami si gembrot ponokawan Limbuk. Anak Cangik itu sudah tiga harian emoh makan emoh minum. Dendam lengannya dibilang paha, Limbuk ingin ngebut cepat kurus sepotongan Paris Hilton yang kini nyambangi Bali.

“Sudah tiga harian dia ndak kena nasi dan air putih. Semaputnya sudah dua kali,” kata Cangik ke Gareng.

Gareng bersama adik-adik ponokawannya, Petruk dan Bagong bertandang ke tempat Cangik sepulang entah dari mana mereka antar sang majikan, Arjuna.
“Tambun itu wajar. Biasa,” Gareng berusaha menghibur Limbuk yang masih terbaring di amben.

Sulung ponokawan yang punya kebiasaan sok inteletual itu melihat mata Limbuk semakin sayu. Bibirnya kering dan pecah-pecah.
Cangik penasaran terhadap omongan sang cendekiawan. “Sik talah….Kang Gareng, gendut kok dibilang lumrah. Sampeyan cuma mau nyeneng-nyenengi saya ya, Mas Gareng?”

“Lho, aku serius, Bu Cangik. Dari zaman Prabu Joyoboyo masih hidup sampai tinggal ramalannya seperti sekarang, jumlah makanan yang diemplok manusia podo wae. Tapi makanan yang malih jadi energi berbeda di zaman dulu dan sekarang.”
Bedanya, menurut Gareng masih dengan sok tahunya, oleh manusia zaman dulu makanan diolah jadi tenaga. Dulu bukan saja nyuci harus keringatan karena belum ada mesin cuci. Bukan saja air sumur harus ditimba berpeluh-peluh lantaran belum ada pompa listrik. Tapi mereka juga harus berlarian-larian memburu hewan sebelum disembelih.

“Sekarang orang kan lebih banyak duduk. Makanan ndak jadi sumber tenaga, tetapi menumpuk jadi lemak,” demikian Gareng.

“Akibatnya banyak orang salah paham, yaitu menyangka paha padahal lengan…”
Mendengar celetukan Petruk itu Limbuk langsung kembali pingsan.
Tapi semua bukannya sibuk menolong Limbuk. Mereka malah eker-ekeran: dalam tiga hari terakhir ini pingsan Limbuk yang keberapa? Cangik ngotot, ini pingsan yang ketiga karena sebelumnya udah dua kali.

Bagong keberatan. “Ini hidup, bukan matematika. Di dalam hidup, dua ditambah satu belum tentu tiga..” alasannya.
Ah…
***
Siapa yang nyebut lengan Limbuk sudah mulai memaha. Siapa?
Usut punya usut: Dursasana. Dialah orangnya. Ksatria Banjarjunut yang selalu riang cekakakan itu dikatain ginuk-ginuk oleh Limbuk. Dursasana cuma ngakak.
“Aku nggak bakal marah kamu katain ginuk-ginuk, meskipun itu tembung untuk perempuan,” Dursasana makin terpingkal-pingkal. “Nggak papa …nggak papa…Ginuk-ginuk hahaha…Toh sekarang laki-laki dan perempuan makin nggak ada bedanya. Banyak laki-laki seperti perempuan…”

“Heh…Dursasana…Kamu sudah bunting berapa bulan?” Limbuk melanjutkan ngenyeknya.
“Aku hamil? Perut Raden Dursasana gendut? Hahaha…Ndak popo ..ndak popo …Lebih baik punya perut gendut daripada punya rekening gendut …Hahahaha…Daripada kamu, Mbuuuuk…Mbuuuk…bikin aku salah paham saja..”

“Kamu salah paham ke aku soal apa? Aku nggak ngomong yang berat-berat. Aku nggak ngomong soal Sea Games. Aku nggak ngomong soal Komodo…”
“Ya, Limbuk. Tapi kamu tetap bikin aku salah paham: Aku sangka paha padahal lengan…hahaha…”
Limbuk cemberut. Sejak itu ia tak mau makan sampai menginjak tiga hari ini ketika ponokawan Gareng dan adik-adiknya datang ngendangi.
***
Kenapa nggak terima kenyataan saja kalau udah garisnya, kalau udah dari sononya memang harus lemu. Kumbokarno adalah contohnya. Adik kandung Rahwana itu kerjanya cuma makan-tidur. Dan sekali makan, jumlahnya banyak sekali. Toh Kumbokarno tidak merasa minder dengan kegembrotannya.

Membandingkan Kumbokarno yang laki-laki dengan Limbuk yang perempuan juga sah-sah saja.  Zaman sekarang, seperti kata Dursasana, pria dan wanita sudah hampir tidak ada bedanya lagi. Banyak pekerjaan wong lanang seperti sopir bus sekarang dilakoni kaum hawa. Tak jarang pula bapak-bapak membawakan tas istrinya.

Kenapa Limbuk terpukul sekali dikatakan lengannya mulai memaha?
Lihatlah Kumbokarno. Ia gemuk tapi tetap tidak minder dan malah dinyatakan sebagai pahlawan dalam pewayangan. Dalam kitab Tripama, Kumbokarno dari Ramayana disejajarkan dengan Raden Sumantri zaman Arjuna Sosrobahu dan Adipati Karna zaman Mahabarata. Ketiganya mati membela negara. Ketiganya dijadikan tauladan untuk para prajurit hingga Hari Pahlawan kemarin dan hari-hari selanjutnya.
***
Usut punya usut, ternyata ada bedanya. Kumbokarno sudah punya pasangan hidup dan omah-omah. Limbuk belum punya pasangan. Dengan kegembrotannya, Limbuk semakin merasa madesu. Saban hari ia ketar-ketir apa akan ada lelaki yang sudi menikahinya.
Gareng kembali menghibur Limbuk. “Halah, gembrot masih mending. Dulu ada perempuan badannya bau amis seperti ikan basi. Saking baunya, orang bisa mengendus dalam jarak kiloan meter. Akhirnya dapat jodoh juga tuh. Malah seorang raja. Raja Astina. Prabu Santanu namanya, ayah Resi Bisma.”

Limbuk tampak tetap tak terhibur. Gareng memberi isyarat ke Petruk dan Bagong untuk mencari cara lain menghibur Limbuk.
“Lagian, yo lapo takut nggak nikah,” hibur Petruk. “Hidup single seperti kamu malah enak, Mbuk. Sekarang banyak rumah tangga yang hubungan suami-istrinya sudah mulai mempapua…”
Ada tanda Limbuk mulai tertarik. Matanya mulai ketap-ketip, seakan-akan bertanya apa arti mempapua.

“Mempapua itu berarti membara,” jelas Petruk. “Hubungan pasutri sudah hampir lepas tapi belum lepas sama sekali …”
“Kalau hubungan suami-isteri sudah putus berarti hubungannya sudah menimorleste…” Cangik nimbrung.

“Tapi pasangan yang tinggal di Timor-leste belum tentu menimorleste. Contohnya KD dan Raul. Ini hidup. Bukan matematika. Malah yang tinggal di Jawa mungkin hubungannya jadi menimorleste..contohnya Yuni Shara dan Raffi,” kata Bagong.
Limbuk tersenyum, “Jadi lebih baik jadi perawan ting ting abadi, lebih baik punya lengan yang memaha, daripada punya suami tapi hubungannya mempapua atau menimorleste?”
Limbuk kembali doyan makan.
*Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / twitter @sudjiwotedjo