Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 12 Ribu tahun di Smidra botol

8,722 Views

Episode012Togog 40 dan Bilung, panakawan kaum hitam, di suatu Jumat Legi kepergok Bagong lagi mancing di Rambipuji, Jember. Bagong dikancani Anggodo yang ngrokoknya nggak mandek-mandek. Ia kera berbulu merah anak Resi Subali dan Dewi Tara. Omong punya omong, Togog bilang baru saja disuruh bosnya mereparasi kopiah ala raja, yaitu mahkota.

Bagong bertanya, sik kurang apik yok opo mahkota bosnya kok sampek diperbaiki lagi. Bulan lalu waktu bos Togog-Bilung itu rawuh di suatu pasemoan, kepalanya kinclong ketutup mahkota. Pendar-pendar mak byar kilaunya ke seluruh ruang­an. Sik kurang jrueeeng ta?

Bungsu Semar yang polos dan lugu ini memang cerdas. Tapi di pemancingan sore itu, di antara ikan-ikan yang berlompat-lompatan membentuk riak-riak kolam, Bagong lupa. Adik Petruk dan Gareng ini khilaf. Lali nek sebagian besar isi kepala pemim­pin atau raja itu kuoootor se­hingga batok kepala mereka perlu dislimurkan dan ditutup mahkota.

Togog alias Tejomantri ini sudah ndak pangling lagi mbarek kelakuan para pemimpin dari dunia hitam. Kabeh itu juragan-juragannya. Semakin hitam dan kelam kelakuan petinggi, semakin bagus topong atau mahkotanya. Topong Dasamuka dari zaman Ramayana lebih kerlap-kerlip ketimbang makuto Duryudana dari era Mahabarata.

Sebetulnya Bilung yang asistennya Togog lebih bisa munthuk cangkeme menjelaskan perkara itu. ”Bagaimana seorang pe­mimpin tidak keceh getih (bersimbah darah) dan gupak pulut (kena kotoran) untuk mewujudkan cita-citanya…,” pikir Bilung. ”Wong ngurus negoro ini gak cukup cuma dengan diskusi dan rembukan seperti kaum cendekiawan. Di pendopo sarasehan, darah dan kotoran telek lencung bisa dihindari.”

Bahkan sejak di bangku taman kanak-kanak, Bu Guru selalu terkesiap mendengar Bilung alias Sarahita ini menjawab per­tanyaan-pertanyaannya. Bagi Sa­rahita, pemimpin berbeda di­bandingkan dengan guru yang cuma mengajarkan teori. Pe­mimpin itu bertindak.

Nah, dalam tindakan itulah kehadiran musuh tak bisa ditolak…dalam tindakan itulah darah dan air mata kaum yang berseberangan tak bisa dihindari…dalam tindakan itulah tangan-tangan kita mesti kotor….Dan, karena yang mengendalikan tubuh adalah otak yang berada di kepala, di dalam endas, maka kalau tindakannya kotor berarti kepalanya kotor dan karena itu endas raja wajib ditutup mahkota.

Awan berarak. Dingin mema­gut. Di area pemancingan di pinggiran Jember itu jan-jane kejadiannya begini. Bagong atas saran Semar, ayahnya, sedang diminta menggalang tanda ta­ngan. Petisi dengan seabreg tanda tangan pendukung itu akan dipakai buat memaksa seorang pemimpin turun tahta karena diduga terlibat suatu persekongkolan korupsi, mbadok duwike awak-awak.

Bilung alias Sengut kalau di wayang Bali, males membubuhkan tanda tangan. Caturoga, nama lain Togog, ikut-ikutan males menorehkan tapak asto-nya.

Sepulang dari pemancingan, pas Bagong nyritakno keengganan dua tokoh penting alam gelap itu dalam mendukung petisi, Semar malah terkekeh-kekeh. Kini sekalian di depan anak-anaknya yang lain, Gareng dan Petruk, Semar mulai mendongeng.

Semar sangat paham, mengapa kakak spiritualnya, Togog, tidak mau ikut-ikutan mendongkel kepemimpinan seorang tokoh. Karena Togog, yang ketika dalam wujud aslinya berupa dewa Sang Hyang Maha Punggung, tahu riwayat Kresna.

Betapa liciknya raja Dwarawati itu. Betapa kotornya isi kepala titisan Wisnu itu. Lihatlah nduk Perang Baratayuda hampir saja Jayajatra bikin Arjuna modar. Tokoh Kurawa jelmaan dari ari-ari Bima ini bersumpah nek ngantek gelap ndak iso mateni wong KPK, eh Arjuna, dia bakal bunuh diri.

Eh, ketika Arjuna hampir mampus tiba-tiba Kresna menghalang-halangi matahari dengan senjatanya, Cakra. Seketika ajang perang Kuru Setra sak nyet gelap. Arjuna masih sekarat, belum sempat terbunuh. Jayajatra bunuh diri.

Dalam perang yang sama, Baratayuda, dari pihak Pandawa, Setyaki, adik ipar Kresna, hampir saja dibunuh oleh Burisrawa. Biarpun Setyaki sakti dengan gada wesi kuning-nya, pahlawan dari pihak Kurawa itu nyaris memenggal kepala Setyaki,

Tiba-tiba Kresna mencabut rambutnya sendiri. Dipegangnya sehelai rambut itu dengan dua tangan. Di kejauhan, ahli panah Arjuna diperintahkan untuk memanah rambut tersebut. Panah melesat membelah rambut Kresna, memang, tapi terus ba­blas ke leher Burisrawa.

”Aaaahhhhhhh…..”

Petruk melenguh, membayangkan teriakan si Burisrawa, raksasa sakti dari Cindekembang.

”Maka,” lanjut Semar, ”dalam lakon Pandawa Moksa Kresna mendapat hukuman. Kresna itu rekoso matine. Setelah yang naik ke sorga itu anjing, lalu Yudistira, lalu Kunti, lalu Drupadi, lalu Nakula Sadewa, lalu Arjuna, lalu Bima…Kresna masih terkatung-katung di alam fana.”

Sebelum naik ke alam langgeng, Bima bersabda kepada Kresna, ”Kakang, terimalah kodrat dewata, jangan kamu menangis karena tidak bisa segera menyu­sul kami ke ranah keabadian… Sebelum kamu bisa bercengke­rama dengan kami di alam moksa, sekarang kamu harus menjalani hukuman lebih dahulu: bertapa 40 ribu tahun di atas samudera pasir.”

Makanya Togog-Bilung males ikut-ikutan tanda tangan meminta pemimpin turun. Tanpa hukuman dari kita, toh mbesuk alam dan kodrat itu sendiri akan menghukumnya berlimpah-limpah.

Bagong pun inget Anggodo bisik-bisik di pemancingan. ”Sssttt…Ini antara kita. Kresna itu juga punya anak yang nggak pernah diakui, namanya Gunadewa. Deweke isin sebabe wujude Gunadewa yo, munyuk, babar pisan bedes koyok aku, Anggoooodoooooo……”

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo