WIS meh sebulanan iki rumah tangga Gareng kacau balau. Dapurnya ndak terlalu ngebul lagi. Gara-garanya, penonton dagelan sepi. Pendapatan pelawak turun drastis persis jalanan di Klakah nek Sampeyan dari Lumajang ke Probolinggo. Masyarakat lebih tertarik nonton kasus KPK, kejaksaan, dan polisi. Masyarakat lebih kepingkel-pingkel sampai mbrebes mili matanya seperti orang nangis saking nggak kuatnya menahan geli.
Petruk dan istrinya pernah tukaran habis-habisan entek ngamek. Petruk mbanting pintu. Istrinya, Dewi Undanawati, mbanting piring. Adik Gareng itu nendang meja. Dewi Undanawati ndugang panci. Tapi ribut-ribut suami-istri itu mak jleg rampung begitu televisi menyiarkan kasus KPK-Polri. Petruk segera ngakak. Istrinya terbahak-bahak juga malah lebih keras. Keduanya kemudian rangkulan sambil cekikikan. Baru tiba-tiba keduanya menangis ketika dapat telepon dari Gareng, ”Ojok seneng disik talah, nek pejabat lebih lucu daripada awake dewe…terus sing nonton awake dewe nanti siapa…Kalau kita gak kuat beli makanan, mbadog opo…?”
Petruk melepas rangkulannya. Istrinya juga melepas rangkulan. Keduanya termenung di sudut ruang. Menangis. Ujuk-ujuk datanglah bungsu panakawan, Bagong. Dia menanyakan apakah ada job bulan ini. Soalnya dapurnya sudah tiga minggu ini tidak nyala. Istrinya, Dewi Bagnowati di Pucangsewu sudah bete terus. Petruk melihat kalender yang ditempel di dinding gedheg rumahnya. Dia kaget ternyata dari tiga minggu lalu sampai sebulan ke depan belum ada tanggal yang dibunderi, tanda tak adanya job pementasan. Tambah membik-membiklah Petruk.
Belum pernah dalam sejarah Petruk yang easy going sesuai namanya, Kantong Bolong, itu menangis. Bagong sing adate lugu walaupun cerdas mak blas lari ke tempat Gareng di Bluluktibo. Kembali lagi ke tempat Petruk di Kembangsore dia sudah nyangking Gareng. Bagong minta diadakan rapat dadakan. Tibalah rapat pada keputusan. Diputusno nek tiga-tiga-ne akan demo turun ke jalan. Mereka nuntut agar seluruh penyelenggara negara tidak cuma dites kesehatannya dan track record-nya seperti pada fit and proper test. Mereka meminta calon-calon pejabat itu dites juga oleh para psikolog apakah punya bakat nglawak. Kalau punya bakat melawak, jangan jadi pejabat, suruh saja jadi pelawak.
Persoalan muncul. Siapa pendukung demo. Mosok demo mek wong telu. Nek misale Semar tahu-menahu materi rapat ini, si mbah bisa disambati mencari dukungan sana-sini. Si mbah bisa telepon temen-temene yang sudah tua dan nganggur baik di kota pensiunan seperti Temanggung maupun Rogojampi. Pasti mereka segera datang tumplek turun ke jalan. Demo panakawan akan terlihat banyak pendukungnya. Tapi, persoalannya, Semar belum tahu masalah ini dan anak-anaknya tidak berani memberi tahu rencana mereka.
***
Jer basuki mowo beo. Tidak ada yang gratis di dunia ini bahkan untuk nonton lumpur Lapindo. Para pemuda dan masyarakat Porong dan sekitarnya telah ”mengkapling-kapling”-nya seperti daerah wisata, dan para pengunjung mesti bayar. Dan itu bagus buat kesejahteraan bersama. Begitu juga dengan demo. Petruk punya ide bagaimana kalau sisa celengan patung Batara Narada dipecah. Duitnya dipakai untuk membayar demonstran.
Alasan Petruk, setiap orang yang kecewa di negeri ini bisa membayar kaum demonstran. Demonstran saat ini sudah nyaris jadi profesi seperti modin alias penghulu, tukang sunat, dan juru dakwah. Kabeh pakai bayaran. Orang-orang yang kecewa itu tinggal mbayar siapa yang mau bengak-bengok keleleran nduk jalanan sambil mengepal-ngepalkan tangan.
Gareng mengungkap, ”Karena kita tidak punya kata sportif. Kita cuma punya kata legowo. Sportif itu mengaku kalah dan mengakui kemenangan pihak lain. Legowo itu mengaku kalah, tetapi tidak mengakui kemenangan pihak lain…”
Petruk jengkel pada teori Gareng, ”Ya sudahlah…Yang penting kita sudah dikasih tauladan bahwa orang yang kalah biasanya mbayar demonstran. Jadi, apa salahnya kita-kita kaum panakawan ini juga ngamplopi para demonstran.”
Celengan hampir dipecah, tapi Gareng buru-buru menyela, ”Tunggu dulu. Nggak sayang kamu mecah patung Narada? Nggak kuwalat? Dia kan Sekjen para Dewata?”
Wah, sayang bagaimana. Justru bagi Petruk dan Bagong, Sekjen yang merangkap sekretaris kabinet Dewata Bersatu itu terlalu banyak melawak. Lihat saja setiap kali ngomong selalu diawali dengan ”blegenjong blegenjong pak pak pong pak pak pong waru doyong ditegor nguwong…” Terus mulutnya selalu cengengesan seperti Sengkuni. Ini yang, menurut Petruk, kemudian ditiru oleh para pejabat. Jadilah para pejabat sekarang podo dadi badut. Jadi, menurut Petruk, pemecahan celengan patung Narada ini sekaligus simbol awal demonstrasi mengakhiri guyonan para petinggi. Tanpa ba bi bu, ndak srantan Bagong mecah celengan dimulai dari cangkeme Narada.
Plethak…pyur…pyur…pyur….!!!
Duit berantakan di ruang tamu Kembangsore. Kebanyakan lembar dua ribuan baru. Maklum sejak Bank Pandawa mengeluarkan lembar uang 2000-an yang mirip Dua Puluh Ribu Panakawan sering dapat tips 2000 itu, ya dari Kresna, dari Bima, dari Yudistira, dari Arjuna. Biasanya, sebelum lembar baru itu keluar, para petinggi ngasih 20.000. ”Buat beli rawon,” biasanya begitu kata Arjuna. Sekarang mereka mbeseli 2000, tapi tetap pesannya sama, ”buat beli rawon.” Mana ada rawon harga 2000? Kecuali rawon kampus untuk mahasiswa kelas (maaf) kere di Universitas Negeri Jember.
”Ini Ndoro Arjuna pura-pura salah ngasih 20.000 padahal cuma 2000, atau sengaja nglawak supaya kita cuma bisa beli sego kucing?” gerutu panakawan yang lalu-lalu, kemudian sambil kesel memasukkan semua itu ke dalam celengan saja, dan mereka memutuskan berpuasa.
Nah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Dua ribu demi dua ribu lama-lama banyak juga. Kini duit itu berantakan dan munjung di lantai tanah dari celengan Narada yang pecah. Persoalan muncul lagi. Ternyata, tidak ada satu pun warga pengangguran yang mau dibayar untuk mendukung demonstrasi.
”Emoh,” begitu rata-rata kaum penganggur yang ditawari amplopan demo. ”Nanti saya ketinggalan siaran langsung televisi. Pejabat kita lucu-lucu. Kami ini haus hiburan. Maklum kami ini kan para pengangguran. Kami perlu tontonan segar.”
Yang lain bilang, ”Sampeyan ini mbok nglawak saja di depan kami. Jangan nawari demo. Ayo nglawak! Tak tonton. Saya itu kalau ketawa lupa bahwa saya itu nganggur.”
Ada yang sama sekali malah tidak menengok ke arah panakawan yang mendatangi mereka. Mata mereka terus ke televisi. ”Lihat…lihat…” Tangan dan wajah mereka menuding ke televisi, mengajak agar para panakawan juga menonton televisi dan menghentikan tawaran demonya, “Lucu kan…orang-orang pasar sekarang sombong-sombong. Kadang-kadang kambil dan teri ndak bisa ditawar…Padahal perkara pengadilan saja bisa ditawar-tawar…”
”Dengar, kan?” yang lain nyeletuk. ”Lucu….Memang setiap perkara di pengadilan ada harganya. Dan, setiap perkara bisa ditawar…dan nek iso…ojok larang-larang, Rek….Jangan mahal-mahal. Nah nek harganya wis ketemu…ayo makan-makan. Opo maneh nek wis suwi gak tau mangan enak…”
Ibarat kesabaran istri pada suami, semua kesabaran ada batasnya. Seminggu nggak dapat dukungan demo, panakawan putus asa. Sampai suatu pagi datanglah satu per satu dukungan. Mereka adalah warga penganggur yang semula menolak demo.
Seseorang bilang dengan serius, mengaku sebagai pengagum Markuat, Markeso, Durasim. ”Tadi malam saya bermimpi bertemu dengan almarhum pelawak Cak Markuat, Cak Markeso, dan Cak Durasim. Mereka setuju demo yang Sampeyan gagas. Kalau pejabat ikut-ikutan melawak, nanti pelawak ndak laku. Kasihan keluarganya…Sekarang saya bersedia untuk ikut demo bahkan kalau misalnya tanpa dibayar…”
Datang lagi yang lain. Dia pengagum Warkop DKI. Dia bilang, sambil sesenggukan, ”Kemarin siang, saya berdiri di puncak Argopuro, tiba-tiba seperti saya lihat ada Mas Dono Warkop dan Mas Kasino Warkop di depan saya. Mereka seperti melotot ke saya dan bilang eh elo ngapain kagak mau ikutan demo pelawak? Ini penting buat masa depan pelawak. Bagaimana pelawak bisa hidup, kalau para pejabatnya jauh lebih bodor daripada badut…”
Datang satu tumbuh seribu. Tanpa nyana jumlah pendukung demo panakawan kini sudah mencapai ribuan. Mereka terdiri atas beragam bekas pekerja. Ada yang mantan pekerja petani garam yang kini nganggur. Ada yang bekas tukang ukir yang kini kerjanya thengak-thenguk. Ada bekas penambak udang yang sudah setahun ini ndlongop saja kerjanya. Wah macem-macem. Ada juga bekas penyanyi campur sari yang kini tergeser organ tunggal dan kerjanya cuma ”Menghitung Hari” seperti Kris Dayanti. Belum lagi bekas dalang, karena sudah makin jarang sekarang orang punya hajat yang kuat nanggap wayang.
Berbagai foto pelawak melengkapi poster-poster demonstran. Di sudut sana kita lihat poster Asmuni. Nun di sana lagi kita lihat poster Basuki. Wah, ada juga poster Benyamin S. dan Bing Slamet. Poster Bagio dan Basiyo diumbul-umbulkan di tempat lain lagi. Fantastis!
Negara gonjang-ganjing. Panawakan menuntut para pejabat keluar dari kantor masing-masing dan bersatu menyambut demonstran. Para pejabat akhirnya berkumpul dan menyambut para demonstran.
Jutaan demonstran akhirnya menyerbu para pejabat. Panakawan senang menyaksikan adegan itu. Sayangnya, kemudian mereka menangis.
Ternyata….ternyata….
Begitu melihat wajah pejabat secara langsung, kaum demonstran berubah pikiran. Jutaan orang yang merangsek ke depan menemui pejabat itu bukan hendak mendamprat dan menyampaikan unek-unek. Mereka justru pengin salaman dan mengucapkan terima kasih selama ini sudah sangat menghibur rakyat. ”Ternyata aslinya lebih lucu dari yang di televisi,” teriak mereka. Banyak yang minta foto bersama.
Gareng, Petruk, Bagong pulang satu per satu.
Tertunduk.
Gerimis.
*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo