’’PADA zaman dahulu ada pandita Resi Kasyapa,’’ celomet Gareng mbarek sempoyongan menenggak ciu. Yo mesti ae kata-katanya ndak segamblang itu, Rek. Saya bisa mencatat jelas atas bantuan pendengaran Bagong, adik Gareng.
’’Sang pandita berdua istri, Dewi Kadru dan Dewi Winata. Dua-duanya putri dewanya api, Dewa Brahma. Dari Dewi Kadru lahir anak berupa kabeh ular. Tapi ular yang ndak berbisa. Sedangkan dari Dewi Winata, lahirlah dua telur yang tak kunjung menetas…’’
Ponokawan Gareng kembali nyaris kayang sambil menenggak ciunya lalu badannya kembali condong ke depan dan kembali hoeeek-hoeeek…
’’Tak sabar menunggu telur ndak netas- netas, Dewi Winata memecahkan telur tersebut. Dari dalam telur mak pecungul seekor piyik, burung yang belum saatnya lahir. Hiiii… merah… Maka sang anak mengutuk ibunya…’’
’’Dikutuk, Reng? Oleh anaknya, Reng? Bukan ibunya yang kasih kutuk pasti?’’ orang-orang bertanyaan di suatu bar. Gareng tak langsung menjawab. Hoeeeeek…Hoeeeeek….Gareng kembali mau muntah-muntah. Mulutnya cemong busa-busa minuman keras.
’’Emang-nya cuma ibu yang bisa mengutuk anak. Cuma ibu yang bisa mengutuk Malin Kundang…. Howeeeeek…. Howiiiiik… Tidak. Piyik burung itu malah mengutuk ibunya. Heh, perempuan, damprat burung, aku lahir belum waktunya nih… Ndak enak tahu? Maka aku kutuk kamu kelak jadi budak belian!!!! Jreng jreeeeeeng….’’
Gareng berlagak memainkan gitar gaya Jimi Hendrix sambil menyanyi, ’’Dewi Winata kapoooook menetaskan telur… Dibiarkanlah telur satunya lagi tetaaaaas sendiri kelak secaraaaaa alamiiiiiiii…..’’
’’Hooiiii… Nama burung itu siapa?’’ potong teman-teman Gareng di bar ramai pengunjung itu.
’’Naaaamanyaaa… Namanyaaaaa… Hmmm… Huuuweeeeek… Huuweeeek…. Namanya Kwee Ceng!!!’’
’’Lho, gimana sih awak peno ini Reng, Gareng. Itu kan nama tokoh Legenda Pendekar Pemanah Rajawali?’’
’’Oooo… Sori. Salah ya? Namanya…. burung anak Dewi Winata itu Sasuke!!!!’’
’’Walah-walah, tambah ngawur,’’ ujar orang-orang lain di bar. ’’Sasuke itu tokoh komik, tokoh manga Jepang… pasangannya Naruto…’’
’’Lha terus siapa dong nama burung si cucu Dewa Brahma ini?’’ Gareng balik bertanya dengan mata yang kian mbleret tinggal 5 Watt. Dia ngelesot di lantai. Tengkuknya menyandar dinding hingga kepala dan badannya tertekuk lunglai.
’’Namanya Aruna, Reng. Itu di Mahabharata. Kalau di pewayangan Jawa disebut Ngruna.’’
’’Okeeee deh… Kita pakai yang Ngruna saja…. Howeeeeeek… Setelah dewasa Ngruna terbang meninggalkan ibunya, sebelum telur lainnya tetas… hooweeeek…’’
***
Iri hati wajar tumbuh dalam persaudaraan. Dewi Kadru yang beranak ular merasa tidak lebih baik dibanding Dewi Winata yang beranak burung.
Suatu hari di taman, dalam kelanjutan cerita Gareng, ketika Dewi Kadru dan Dewi Winata sedang main-main di taman itu, muncul seekor kuda bernama Ucesrawas. Ya, Ucesrawas. Dijamin meski bunyinya aneh gitu, ini bukan bahasa walikan khas arek-arek Malang misalnya jadi Sawarsecu. Ndak. Memang aslinya ya Ucesrawas.
Menurut Dewi Kadru, kuda itu hitam. Sedangkan menurut Dewi Winata si kuda putih warnanya.
’’Ini kesempatan,’’ batin Dewi Kadru. ’’Aku akan mengajaknya bertaruh bahwa kuda itu warna hitam. Kalau Winata kalah, dia harus jadi budakku.’’
Apakah Sawarsecu, eh, Ucesrawas itu kuda putih atau kuda hitam?
Hehehe… Hidup memang tergantung pada siapa yang memandang. Umpama kata, seorang wakil menteri menampar sipir penjara itu baik buat sebagian orang, tapi tidak baik bagi sebagian yang lain… Ternyata… Ternyata… Setelah disaksikan dan dibuktikan oleh pihak ketiga: Kuda itu putih adanya.
Wah, ular-ular anak Dewi Kadru ndak trimo kalau ibunya kalah taruhan dan akibatnya jadi budak. Secara rahasia binatang melata alias hewan gegremetan berwarna hitam itu pada membelit kuda putih sehingga simsalabim menjelma kuda hitam. Dewi Winata pingsan dan sejak itu berlakulah kutukan Ngruna, anaknya, ia benar-benar menjadi budak Dewi Kadru.
***
Penolong saya dalam mencatat omongan Gareng yang ndak jelas, kini sudah tertidur. Ya, Bagong sudah ngorok. Untung ponokawan Petruk bersedia menggantikannya. Tapi soal duitnya yok opo Rek? ’’Ah moso’ semua hal harus ada biayanya, Mas Jiwo. Saya kan bukan umumnya pengacara,’’ alasan Petruk.
Dan setelah diperjelas oleh Petruk, inilah kelanjutan cerita Gareng yang lidahnya semakin kelu karena mabuk.
Telur yang dibiarkan tetas alami oleh Dewi Winata itu kini tetas sudah secara alamiah. Mak pecungul muncul burung diberi nama Aruni yang kalau dalam bahasa pedalangan disebut Ngruni. Sedewasanya kelak Ngruni tak tahan melihat penderitaan ibunya. ’’Tebuslah penderitaan ibumu dengan kau bawakan aku Air Amreta,’’ kata Dewi Kadru yang mulai trenyuh.
Bablaslah Ngruni terbang mencari Air Amreta. Di gumpalan mega-mega ia kepergok Ngruna yang juga sedang mencari Air Amreta. Tak tahu bahwa mereka sejatinya bersaudara, keduanya lalu berperang.
Nun di bumi, Pendekar Pemanah Rajawali, si Kwee Ceng, memanah kedua burung di angkasa yang sedang bergelut saling mengepak sayap itu. Yang kena cuma Ngruna.
Para pengunjung di bar protes pada cerita Gareng, ’’Lho kan Kwee Ceng itu meski dungu dan gagap, pandai memanah. Srikandi kalah. Dia bisa memanah dua elang sekaligus cuma dengan satu anak panah! Kok sekarang meleset.’’
’’Karena grogi disaksikan Sasuke dan Naruto…’’ bantah Gareng.
’’Lho, bukannya China sudah tidak grogi lagi nang Jepang. Kita aja yang masih grogi pada siapa pun, pada Amerika, Perancis, Inggris…’’
Akhirnya semua celotehan itu tak digubris Gareng. Ia langsung bercerita tentang Ngruni yang selamat dari panah Kwee Ceng bertempur melawan Batara Wisnu.
Akhirnya Ngruni kalah. Akhirnya ia menjadi burung garuda tunggangan Wisnu, tetapi membebaskan ibu dan bangsanya dari perbudakan dan mental budak. Dan akhirnya… hoooweeeeek…. (*)