”…Sampeyan kabeh jangan kesusu marah-marah nek listrik byar-pet byar-pet. Pertama, orang sabar itu kekasih Gusti Allah. Kedua, siapa tahu maksud PLN sakbenernya bagus. Misal, nguji kedisiplinan dan toleransi kita. Nek lampu merah di perempatan ndak main margo listrik matek, kiro-kiro lalu-lintas bakal semrawut apa nggak? Bot-serobotan nggak?
PLN yang zaman tahun 80-an itu dipanjangkan jadi Perusahaan Listrik Nih-yeeeee, juga pengin nunjukno bahwa inilah abad kebudayaan. Perusahaan tersebut bukan cuma instansi yang kering, jauh dari kesenian. Ingin ditunjukkan pula bahwa mereka bisa berkesenian. Bisa ngajak joget. Emang yang mampu byar-pet byar pet cuma lampu disko di lantai dansa? Wah, PLN hari-hari ini jauh lebih jago dari diskotek mana pun.
Perusahaan Gundala Putra Petir itu, karena logonya ada petirnya, jan-jane juga punya tujuan mulia dengan moto barunya yang dikembangkan dari kitab Kartini, ”Habis Gelap Terbitlah Terang, Lalu Gelap Lagi, Terang Lagi, eh, Gelap Lagi…” Tujuan mulianya, semua kita dibikin eling lan waspodo, betapa selama ini sebenarnya kita menduakan Tuhan. Kita sudah entek ngamek sumpah cuma bergantung pada Tuhan. Nyataannya apa? Nyatanya kita bergantung pada listrik dan lain-lain. Begitu listrik mak pet, kabeh bingung kepontal-pontal…”
Mengakhiri pidato panjang-lebarnya yang saya sitir sebagian itu, Gareng beruluk-salam. Banyak keplok-keplok dari sesama warga di RT/RW-nya. Gareng yang pakai kopiah dan sarung itu berpidato mewakili ayahnya, Semar. Semar lagi repot nolongi masyarakat lain mencari Yuliantoro Situgintung, rekan Ari Mus Muladi, yang kabarnya menyerahkan uang Rp 5,1 miliar kepada pemimpin Kelompok Pemulung Karangmenjangan alias KPK.
O iya, menyela sebentar…
Kenapa Semar yang disambati mencari Yuliantoro? Karena Semar baru saja dipinjami minyak Jayeng Katon oleh juragannya, Arjuna. Dengan minyak yang dioleskan ke mata itu, segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada, bisa kelihatan seolah-olah ada. Masyarakat, meniru keyakinan Adnan Buyung Nasional, berwasangka jangan-jangan Yuliantoro Situmeong, eh, Situgintung ini fiktif. Nah, hanya orang-orang yang punya lisah Jayeng Katon-lah yang sanggup menerawang keberadaannya walaupun dia sebenarnya tidak ada.
Di tempat kumpul-kumpul RT/RW lain, Semar yang tidak bisa hadir karena kesibukannya memimpin Tim 9 alias Wali Songo, diwakili oleh anak keduanya, Petruk. Dan inilah sekapur sirih Kyai Lurah Pentung Pecukilan itu:
”Saudara-saudara, juga saudari-saudari, baik yang belum hamil, sedang hamil, maupun akan hamil lagi…Soal banjir ini saya bingung mau melapor kepada siapa. Nek misale banjir ini dari laut, dengan gampang saya bisa wadul pada Sang Hyang Baruna. Umpomo banjir ini lantaran angin…angin bikin air boyongan dari suatu bendungan ke pelataran rumah-rumah penduduk, saya bisa mengadu ke Dewa Bayu. Sekaligus saya protes kenapa kok dewa yang satu ini kerjaannya iseng banget, hobinya melihat punggung kita dikeroki karena mangsuk angin…
Banjir ini bukan karena laut, bukan pula karena angin. Banjir ini karena air di daratan penginnya jalan-jalan sendiri kayak nggak ada kerjaan yang lebih penting selain ngalor-ngidul. Nah, saya bingung, Dewa yang mengurus air hujan di daratan itu siapa? Kalau kebakaran gampang, kita tinggal lapor ke Dewa Brahma, mertuanya juraganku, Ndoro Arjuno.
Bumi gonjang ganjing langit kelap kelap….
Syahdan di kahyangan Salendro Bawono, Sekjen PKS yakni Partai Kahyangan Sesungguhnya, Batara Narada, sedang pusing mengikuti sidang para dewa. Seluruh dewa yang hadir rebutan peran dalam pemberantarasan korupsi manusia. Dewa Brahma yang menguasai api misalnya, ngamuk-ngamuk. Dia sudah menangkap seorang koruptor. Koruptor tingkat tinggi. Dibakarnya koruptor tersebut. Tapi sang koruptor tetap nggak mati-mati, sampai Brahma bosen main api.
Kenapa sang koruptor kakap itu nggak mati-mati? Karena wewenang mencabut nyawa itu hanya ada pada Dewa Yamadipati. Padahal Yamadipati males memberantas korupsi di kalangan manusia. Bukan karena anak Semar itu, saudara Wisnu yang sama-sama anak Semar, setuju pada korupsi. Tapi dia sudah merasa frustrasi. Memberantas korupsi di kalangan manusia ibarat patah tumbuh hilang berganti…mati satu tumbuh seribu….Esa hilang dua terbilang, kalau kata orang-orang Jawa Barat.
Dewa Baruna juga kesal. Dia diberi tugas memberantas korupsi, tapi tidak diberi wewenang menindak. Semula dia senang. Dia pikir di negara maritim alias kelautan seluruh manusia termasuk koruptor tinggal di laut. Wah nanti tinggal dihantam ombak dan digerus arus saja koruptor-koruptor itu. Ternyata di negara yang mengaku maritim itu, manusianya pada tinggal di daratan. Panglima tentaranya saja dari Angkatan Darat, bukan Angkatan Laut seperti seharusnya secara logis kalau emang negara maritim.
Pernah ada koruptor yang kebetulan suka laut. Jiwanya jiwa maritim. Setiap akhir pekan, ia tidak mengajak keluarganya ke mal-mal atau gunung-gunung. Dia selalu mengajak mereka ke laut. Pokoknya berusaha mengembalikan kecintaan keluarganya pada laut, seperti orang-orang Majapahit dan Sriwijaya dahulu. Nah, pas koruptor itu sudah digulung ombak dan digerus arus laut atas kekuasaan Dewa Baruna, tetap aja koruptor itu tidak mati-mati.
”Hahahaha….Soal kematian itu wewenangku,” Yamadipati ketawa sambil leyeh-leyeh di neraka, alias Kahyangan Yomani.
Untuk mengatasi kisruh segitiga pembagian wewenang pemberantasan korupsi antara Dewa Bayu, Dewa Baruna dan Dewa Yamadipati, Kahyangan Satu alias Bathara Guru membentuk sebuah tim independen. Ketika mau dinamai Tim 8, Sekjen Dewa Bathara Narada protes. “Jangan, Adi Guru, nama itu sudah pernah ada yang pakai.” Bathara Tanpa Tanda Jasa alias Bathara Guru ingin menamainya dengan Tim 9. Lagi-lagi Bathara Narada protes. ”Jangan, Bathara Oemar Bakrie, itu sudah dipakai oleh Adinda Sampeyan, Semar, yang sekarang sedang mencari Yuliantoro.”
Rapat pimpinan Bathara Oemar Bakrie yang tak ada hubungannya dengan Aburizal Bakrie itu akhirnya memutuskan nama tim independen tersebut adalah Tim Sepuluh, Tim 10, ditulis Timlo, nama makanan favorit di Solo. Agar independen, ketua yang diberi mandat diambil bukan dari kalangan dewa, bahkan di luar kalangan pewayangan, yakni Gundala Putra Petir.
Belum sempat peresmian nama tim independen itu dirayakan dengan tepuk tangan, datanglah tergopoh-gopoh Petruk dan Gareng. Seluruh dewa kaget, kok bisa-bisanya ada manusia sanggup naik kahyangan tanpa pemberitahuan. Biasanya manusia, termasuk Arjuna, Kresna, dan lain-lain, kalau mau naik kahyangan ya lewat gunung yang dipercaya sebagai puncak paling puncak dari Gunung Himalaya…di sana ada wot ogal-agil, lalu naik lagi ada alon-alon repat kepanasan, dan masuk gerbang yang dijaga ketat oleh semacam Paspampres, Dewa Kembar Cingkoro Bolo-Boloupoto.
Ternyata Gareng-Petruk masuk kahyangan melalui jalan yang selama ini ditutup-tutupi oleh para dewa, yang konon mengandung harta karun bernilai lebih dari Rp 6,7 triliun…Namanya Gunung Es Century…Tak ada penjagaan sama sekali di situ. Tak ada Cingkorobolo-Boloupoto. Yang ada cuma poster-poster Boediono dan Sri Mulyani yang ditancapkan oleh pendaki-pendaki gunung sebelumnya, yang mungkin belum tahu bahwa justru gunung ini sebetulnya jalan pintas penyelesaian masalah menuju kahyangan Salendro Bawono.
Masih menggigil kedinginan karena baru saja lewat gunung es, bibirnya biru gemetar, Petruk langsung curhat ke para dewa. ”Harus ada dewa banjir. Sekarang saya bingung kalau ada banjir di daratan mengadunya pada siapa. Karena banjir sekarang sudah makin ngawur saja. Mestinya yang klelep kan cuma koruptor-koruptor. Ini koruptornya selamat, yang kintir dan rumahnya terendam banjir malah rakyat biasa yang pah poh ngah ngoh nggak pernah gupak duwit korupsi. Dan Sampeyan kabeh sekarang malah sibuk bikin pangananTimlo…Tolong pikir juga masalah banjir ini…”
Gareng, sama menggigil dan kathuken-nya dengan Petruk, minta selimut ke Narada, juga langsung curhat. ”Saya keberatan total, kalau Gundala Putra Petir diangkat sebagai ketua Timlo. Biarkan si Gundala itu mengurus listrik saja. Saya punya kecurigaan, KPK dilemahkan, polisi dilemahkan, sekarang perusahaan negara yang mengurus listrik ini sengaja dilemahkan juga agar kalau sudah jatuh dan citranya buruk, maka para swasta akan turun tangan mengelola hajat hidup orang banyak itu…Nggih nopo mboten?”
Bathara Guru, kakak Semar, menjawab, ”Janganlah memaksa saya untuk menjawab cepat, Gareng. Jangan pula mendikte saya untuk bertindak cepat. Mungkin kalian akan melihat saya ini lamban….Aaaakaaaan tetapi…”
Akan tetapi Bathara Guru tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Para dewa pada menunggu akhirnya pulas ketiduran semua. Gareng-Petruk pulang. Di perjalanan ketemua ayahnya, Semar, sedang ongkang-ongkang di bawah pohon randu. ”Lho, Sampeyan kok santai-santai saja, Mar,” tanya keduanya.
”Lha iyo Reeek…sopo sing manut buang-buang waktu mencari orang yang tidak ada di muka bumi…mbok kiro aku iki goblok ta?” ***
*) Sujiwo Tejo, tinggal di lagu Lautan Tangis YouTube
Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo