Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 146 Bambang Hambalang Ambles Bumi

5,549 Views

STcartoon1Nduk lakon-lakon Mahabharata ada ksatria yang sanggup ambles bumi. Namanya Raden Antareja. Rupane mirip-mirip Gatutkaca. Sangar pakai kumis. Ia memang anak Bima juga, tapi Bima dengan Dewi Nagagini, bukan dengan Dewi Arimbi.

Nduk lakon-lakon Ramayana biasanya ndak ada ksatria yang bisa slonang-slonong keluar masuk bumi. Tapi zaman wis berubah. Sekarang sudah ada yang bisa koyok ngono. Namanya Bambang Hambalang. Hambalang konon dilahirkan oleh seorang pekerja seksual yang punya langganan para Hamba Alang.

“Hah, apa itu Hamba Alang…?” tanya ponokawan Gareng.

“Itu menurut Bagong adalah orang-orang yang berhalanya duit,” jawab Petruk santai.

Makanya, menurut Petruk, lain kali hati-hati kalau mau terima sumbangan termasuk sumbangan buat rumah-rumah ibadah. Tentu sangat baik kalau sedekah itu bermuasal dari Hamba Allah. Asalkan jangan dari Hamba Alang.

“Kok gitu, Truk?” Gareng pura-pura heran.

“Halah, kayak Kang Gareng ndak ngeh saja. Adatnya para warga itu kan diam-diam sudah memaafkan para koruptor kalau mereka sudah nyumbang kegiatan ngibadah,” suara Petruk lantang sekali.

“Sante ae Truk…gak usah mbleyer…” ujar seseorang di Ndukuh Kupang Surabaya sambil ngili-ngili kupingnya. Maklum, ia pekak mendengar kerasnya celotehan Petruk.

Kita tinggalkan ponokawan dan warga Ndukuh Kupang yang sedang meng-ambal warso kota Surabaya yang ke-719.

Ringkas cerita, Bambang Hambalang yang sanggup ambles bumi itu menggondol Dewi Sinta dalam unggun pembakaran di alun-alun Ayodya. Sinta diobong untuk kasih bukti betulkah dirinya masih suci setelah 12 tahun dibekap Rahwana nduk Taman Arga Soka. Masyarakat negeri Ayodya bersorak-sorai. Mereka menyangka di dalam kobaran api itu Sinta sudah gosong. Tidak. Jebul Sinta dibawa kabur ambles bumi oleh Bambang Hambalang. Muncul-muncul sudah tenguk-tenguk di hutan Dandaka.

Sakti sih sakti si Hambalang itu. Sayangnya, setiap orang ternyata memang ada apesnya. Di hutan Dandaka, di depan Resi Walmiki, Bambang Hambalang apes. Tiba-tiba badannya yang tegap dan semapta mak pyur terurai kembali ke asal. Tulang dan dagingnya berserpih-serpih menjadi uang-uang kertas lengkap dengan dokumen-dokumen kertas. Isinya nama-nama koruptor yang turut andil membenihkan Bambang Hambalang.

Sinta terpana. Tak percaya akan adanya nama-nama yang telah mbadog duit negara melalui proyek kehaliran Bambang Hambalang.     Puk puk puk …

Resi Walmiki menyabarkan Sinta. Di pertapaan Wismaloka Dirumat dan dilindunginya Sang Dewi yang telah hamil dari keng garwo, Prabu Ramawijaya. Di suatu hari sorean, menjelang hutan gelap gulita, lahirlah anak kembar bernama Lawa dan Kusya.

***

Lawa dan Kusya dua anak kembar yang setelah dewasa menjadi pemuda luar biasa. Mereka tak hanya ngedap-edapi dalam menggunakan berbagai persenjataan sejak lembing, gada, keris, tombak dan panah. Dalam olah sastra seperti mendongeng dan membawakan tembang-tembang, si kembar juga tergladi menjadi elok dan mengagumkan.

Suatu hari ketika Prabu Ramawijaya mengadakan upacara Aswamedha Yadnya, Lawa dan Kusya termasuk manusia yang menunjukkan perlawanan. Aswamedha Yadnya itu upacara melepas aswa yaitu kuda. Manusia yang yang membiarkan daerahnya dilewati oleh kuda tersebut berarti menyatakan takluk kepada Kerajaan Ayodya pimpinan Rama.

Lawa dan Kusya tidak terima kawasannya dilewati sang kuda sakti. Para hulu balang Ayodya menggeret kedua kesatria ke alun-alun istana untuk diinterogasi. “Karepmu opo kok nggak mau takluk pada Paduka Yang Mulia Ramawijaya?” kata seorang yang berkumis dan bertombak.

“Kami hanya mau takluk pada siapapun yang tahu tembang yang akan kami bawakan nanti siapa pengarangnya atau pelantun aslinya,” Lawa dan Kusya menjawab tegas.

Mereka lalu bergantian menembang macapat dalam melodi pangkur:

Jinejer neng Wedhatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa
Yekti sepi asepa lir sepah samun
Samangsanase pasamuwan
Gonyak ganyuk ngelingsemi

Para sentono kerajaan Ayodya itu tahu artinya. Yakni, telah digamblangkan dalam Wedhatama, agar jangan sampai kita kurang pemahaman. Walau telah tua bangka, kalau tahu diri, sejatinya telah hidup tanpa guna bagai sepah, yang memalukan di berbagai pertemuan.

Tapi para sentono tidak ada yang tahu bahwa larik-larik tersebut ditulis oleh Sri Mangkunegara IV.

Hmmm… Baiklah. Lawa dan Kusya lalu mencoba menyanyikan syair lain yang lebih populer. Saking populernya maka menurutnya petinggi kraton pasti langsung dapat menebaknya:

Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu
sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu
Dulu segenggam emas kau pinang aku
dulu bersumpah janjio dulu di depan saksi  huwo huwoooo….
Pulangkan saja aku pada ibuku…

Wah…sip sip…Para hulu balang kerajaan Ayodya ternyata banyak yang kenal lagu melankolis tersebut. Bahkan banyak yang sambil merem melek ikut bersenandung huwo huwooooo … tapi tak satupun yang tahu bahwa itulah Hati yang Luka. Pelantun aslinya Betharia Sonata.

“Kami sudah mencoba syair kuno. Kalian tidak bisa menebak  pengarangnya,” kata Lawa dan Kusya. “Kami pun sudah mencoba syair yang lebih baru. Seharusnya kalian semua tahu judul dan siapa pelantunnya…tetapi kalian tetap saja tidak tahu. Karena itu kami menolak tunduk kepada kalian.”

***

Meski sudah kalah tebakan, pihak kerajaan Ayodya tak mau terima. Hampir saja terjadi peperangan kalau pandita mirip Resi Walmiki tak segera muncul.

Kata si mirip Walmiki, “Janganlah Lawa dan Kusya ini kalian perangi. Keduanya adalah putra raja kalian sendiri, Prabu Rama. Tugas kalian sekarang justru melacak asal usul Bambang Hambalang. Dia bukan Raden Antareja, tapi kok bisa ambles bumi…? Ini kan merusak pakem pedalangan..”