Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 15 Suatu Abad “Century”

9,662 Views

Episode015YUK Sampeyan tak kenalno mbarek Ramabargawa. Tokoh ini persis Bima. Tapi rambute gondrong. Tur gimbal. Kalau perusahaan sampo Sampeyan mau bangkrut, gampang. Jadikan saja Ramabargawa alias Ramaparasu ini bintang iklannya. Gantine Sandra Dewi. Ditanggung perusahaan Sampeyan remuk koyok Bank Century.

Ndak cuma gimbal gedibal kaping pitulikur, orang ini juga lebih nyentrik dibanding Bob Sadino. Itu lho pengusaha kaya raya tetapi nggak kuat beli celana panjang mulakno ke mana-mana pakai celana pendek. Ramabargawa lebih minim dari kathok. Sudah badannya tinggi besar dan gempal, ke mana-mana dia cuma cawetan.

Sudah cuma cawetan, ke mana pun pergi senengane mesti bawa busur plus panahnya. Ke mana saja dia pergi. Ke Benowo bawa itu. Ke Menur nyengkiwing itu. Ke Sukolilo, ke Taman Surya. Wis pokoke ke mana-mana. Siapa ya yang dicari-cari dan mau dipateni? Kok plaur-plaur temen ngalor-ngidul nyangking senjata busur dan panahnya yang terkenal itu, Bargawastra?

”Jan-jane wong gendeng ini hanya ingin membunuh golongan ksatria, Siapa pun ksatria yang dipergoki akan dicekel cek, diudet-udet, dipateni,” kata Gareng. ”Ramabargawa terikat sumpah. Dia sumpah-sumpah akan melibas siapa saja dari golongan ksatria, karena ibunya, Dewi Renuka, selingkuh dengan Raden Citrarata. Citrarata itu kelas ksatria. Ramabargawa main gebyah uyah, pukul rata. Dalam sumpahnya Ramabargawa akan menghabisi seluruh golongan ksatria yang dijumpai.”

”Ck ck ck…Serem, Rek. Sumpahe sampek koyok ngono yo, Cak,” tanya para juru warta yang merubung Gareng. Kebeneran waktu malam Kamis Kliwon itu para wartawan berbondong-bondong ke tempat Gareng, sehabis pulang liputan dari Mahkamah Konstitusi.

Ganti Gareng bertanya, ”Kalian tadi pasti bertanya ke Pak Mahfud MD, ketua aMKd…”

”Ketua MK, Cak Gareng, bukan aMKd…”

”Lho, Pak Mahfud itu orang Madura tulen…Yang bener aMKd…aboooh Mahkamah Konstitusi diiiik…Ya, kalian tadi pasti bertanya pada ketua aMKd kenapa kok sibuk mikir Bibit-Chandra. Sampai-sampai ia revisi undang-undang. Sekarang tersangka dan terdakwa masih boleh memimpin KPK, sampai yang bersangkutan terbukti bersalah di pengadilan. Iya kan? Kenapa kalian nggak sekalian takon, kok aMKd tidak memikirkan undang-undang untuk melindungi kerapan sapi di Madura sebelum diakui Malaysia, hayo?”

”Ah, jangan mengubah pembicaraan, Cak Gareng. Jawab dulu pertanyaan kami. Kok sumpahe Ramabargawa sampek dipegang teguh seperti itu? Padahal undang-undang saja bisa direvisi. Sumpah jabatan saja juga tidak mengikat. Semua pejabat itu sumpahnya akan mendahulukan kepentingan umum, tapi kenyataannya?”

Gareng mulai berdiri. Gareng bilang, sumpah jabatan bisa dilanggar, karena itu sumpahnya wong waras. Tapi Ramabargawa itu wong gendeng. Wajar kalau Ramabargawa konsisten terhadap apa yang sudah diucapkannya, dengan apa yang sudah menjadi prasetyanya. Hanya orang sinting sekarang yang memegang teguh satunya kata dan perbuatan.

Begini skenarionya. Ramabargawa alias Ramawadung itu diperintah oleh ayahnya, Resi Yamagdani, untuk memenggal kepala ibunya pakai wadung atau kapak. Ini setelah terbukti ibunya berselingkuh dengan Citrarata, golongan ksatria dari Kerajaan Martikawata. Kakak-kakak Ramawadung yang tidak mau melaksanakan titah ayahnya dikutuk oleh sang ayah sakti mandraguna itu jadi binatang. Ada yang jadi celeng, anjing, ular, dan lain-lain.

Setelah terperangah dan termangu, Ramawadung akhirnya bersedia memenggal kepala Dewi Renuka, ibu kandungnya sendiri. Pakai syarat, tapi. Uba rampenya, setelah pemenggalan maka seluruh kakaknya yang telah menjadi binatang dikembalikan ke asalnya sebagai manusia, dan ibunya dihidupkan kembali. Resi Yamadagni, sang ayah, oke. Seketika mak thel…Kepala Dewi Renuka gumlundung, berdarah-darah di tanah atas kapak sang putra. Tapi malang tak dapat ditolak, Yamadagni meski pandita ketularan watak pejabat. Ia ingkar janji. Kakak-kakak Ramawadung tetap menjadi binatang dan sang ibu tak kunjung hidup. Nah, Sedulur-sedulur, di situlah sumpah Ramawadung terkumandang membahana sambil mengacung-acungkan kapak dan busur panahnya.

Malam Kamis Kliwon itu Gareng sedang menjadi dalang wayang orang. Dan skenario itu pula yang dituangkan kepada seluruh pemain di belakang panggung sebelum pentas, termasuk kepada Pak Sri Mulyono, pemeran Ramabargawa. Penonton tumpah ruah ke tobong wayang orang itu. Termasuk wartawan. Beda jauh nek dibandingno jumlah rata-rata penonton wayang orang Bharata di Jakarta atau Sriwedari di Solo yang cuma sepersepuluh jumlah pemain.

Ternyata mereka itu dibawa oleh biro perjalanan yang dipimpin Mbak Budiana. Iming-imingnya, pertunjukan wayang orang yang didalangi Gareng ini lain dari biasa. Selalu aktual. Keluar dari pakem. Wajib tonton.

Nah, pas Pak Sri Mulyono pemeran Ramabargawa itu keluar merokok sebentar di halaman belakang sebelum pentas, sudah pakai kostum lengkap, tapi kelihatannya masih banyak pikiran, dihampirilah dia oleh Mbak Budiana. Dari perkenalan singkat itu Pak Sri Mulyono sempat curhat biaya hidup. Katanya sekarang sudah mending. Kebutuhan anaknya untuk belajar dan beli buku tidak sebesar sebelumnya, karena harus termehek-mehek bisa lulus ujian nasional (unas). Sekarang unas bakal ditiadakan. Tapi kebutuhan lain bukannya tidak berseliweran seperti nyamuk di Wonocolo.

Saat itu ngasihlah Mbak Budiana duit ke Pak Sri Mulyono, sambil bisik-bisik. Mbak Budiana pesen ke Pak Sri Mulyono agar tidak mengecewakan ribuan penonton yang sudah setengah mati dibawanya termasuk para wartawan. ”Kalau Pak Sri Mulyono pakai lakon wayang orang pakem, penonton pasti pulang. Biro perjalanan saya nanti remek. Jadi, Rama­bargawa jangan mencari-cari golongan ksatria…Itu sudah kuno…nggih Mas, ngaten nggih Mas Sri Mulyono, sayangku?” kata Mbak Budiana sambil sun pipi kiri-kanan Pak Sri Mulyono dan pergi.

Tak heran pas di panggung Ramabargawa bermonolog di luar pakem:

”Aaaakuuu nang Benowoooo…Nang Sukoliloooo…Nang Menuuuur…Taman Suryoooo…Sopo ngerti mereka ada di situ. Aku mencari dan akan menghukum siapa saja yang sedang atau pernah menjadi menteri keuangan dan gubernur bank sentral….”

Wah, penonton bertepuk tangan. Bersorak-sorai. Tidak sedikit yang merangsek, menjabat tangan Mbak Budiana di bangku depan. “Terima kasih, Mbak. Matur nuwun. Kami semua puas menonton wayang orang ini. Asyik. Lain kali saya akan tetep pakai biro perjalanan Mbak Budiana. Berapa pun biayanya.”

Karena wayangnya menyimpang dari pakem, sehabis pentas wartawan langsung menyerbu belakang panggung, merubung Pak Dalang Gareng. Setelah berbasa-basi tanya soal ketua aMKd Mahfud MD tadi, para juru warta menyatakan kebingungannya. Kalau betul yang dicari orang sakti tanpa tanding ini adalah menteri keuangan dan para mantannya, juga gubernur bank sentral dan para mantannya, mana ada menteri keuangan atau gubernur bank sentral sampe mau-maunya kleleran nduk Taman Surya? Apalagi kalau, misalnya saja, misalnya lho, bekas gubernur bank sentral itu sudah menjadi wakil presiden.

Tahu kakaknya pucat-pasi plegak-pleguk nggak bisa njawab seperti masih menahan marah pada pemeran Ramaparasu, Sri Mulyono, Petruk yang easy going ambil bagian. ”Ehm, begini rekan-rekan pers…Kenapa kok akhirnya yang dicari-cari Ramawadung adalah menteri keuangan dan gubernur bank sentral beserta seluruh bekas-bekasnya…Karena yang membuat Dewi Renuka mau berselingkuh itu bukan ksatrianya, bukan Raden Citrarata-nya, tapi karena ksatria ini sering memberi uang kepada sang bunda. Maklum, Dewi Renuka, Resi Yamagdani itu pertapa miskin di pucuk gunung. Kesimpulan Ramabargawa, sumber masalahnya adalah uang. Padahal uang tidak bisa dihukum, yang bisa dihukum adalah para pembuat uang.”

Wartawan masih belum puas, karena bukan itu inti pertanyaan mereka. Mereka bertanya apa mungkin para pejabat tinggi dan mantannya keluyuran sampai Taman Surya. Gareng menyeret Petruk yang masih cengegesan segera berlari menghindari pers. Mereka mencari Bagong yang kemarin ditugasi mengaudisi seluruh calon pemain termasuk pemeran Ramawadung. ”Orangnya jujur, kok,” Bagong seperti biasa, ngotot. ”Lemah lembut dan sopan. Tidak mungkin Pak Sri Mulyono dapat disuap untuk membelokkan skenario…”

Ndilalah pas Bagong mendelik-ndelik dan ngotot itu lewat Pak Siswo Duanyi, yang di pementasan tadi melakonkan kera Anggodo, anak Resi Subali dan Dewi Tara dari Kerajaan Guakiskenda. ”Betul, setuju Bagong, Pak Sri Mulyono itu orangnya jujur,” kata Pak Siswo Duanyi, ”Tidak mungkin dia bisa disogok. Saya sudah kenal lama kok. Cuma tadi itu dia bisik-bisik ke saya, kenapa kok dia spontan ngenggokno skenario. Lantaran dia mangkel, kakak-kakak Ramabargawa ketika dikutuk sang ayah Resi Yamadagni, kok nggak jadi babi, anjing, ular seperti di pakem…Tapi kok mereka –Rumawan, Susena, Wasu, Wiswawasu– terbagi dua kubu jadi cicak dan buaya… Lhaaa itu kuncinya dia marah terus ngombro-ombro tekan Taman Surya…”

Bagong dan Petruk melirik Gareng, seolah-olah meminta pertanggungjawaban si sulung kenapa bisa muncul cicak dan buaya di panggung.

Gareng kasih penjelasan, terbata-bata, dan sering menelan ludah. ”Gini lho, Romo Semar sekarang kan makin tua. Sering sakit-sakitan. Perlu biaya. Negara tidak mau menanggung warganya yang sakit. Saya sebagai anak tertua harus bertanggung jawab. Bojoku, yo mbakyumu Dewi Sariwati, wis tahunan bikin kostum cicak dan buaya… ndak payu-payu, ndak ada yang mau beli. Siapa tahu kalau dipakai di panggung, banyak yang nonton, terus ada yang tertarik membelinya…” ***

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo