Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 153 Rahwana tak Pernah Ingkar Janji

16,471 Views

STcartoon1Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya.

Di dukuh ponokawan Gareng, Bluluktibo, spanduk “Hormatilah orang yang berpuasa” dibikin dan dipasang dewe oleh kaum yang nglakoni ibadah puasa. Sebenarnya agak aneh. Lha wong ngibadah kok njaluk disanjung-sanjung.

Di dukuh Bagong, Pucang Sewu, spanduk-spanduk kayak gitu malah disemarakkan oleh orang-orang yang justru ndak poso. Namanya toleransi. Mbesuk-mbesuk kaum yang berpuasa Ramadhan gantian majang spanduk selamat Natal, Waisak, Nyepi dan sebagainya.

Gareng yang serbacacat bukannya goblok. “Lha nek nunggu umat ndak puasa masang spanduk “hormatilah orang yang sedang berpuasa” … yang punya kesadaran masang ya cuma siji loro … ” alasan Gareng alias si Cakrawangsa.

Kesadaran orang-orang Pucang Sewu tempat Bagong alias Bawor berada memang agak lain. Secara polos, sepolos Bawor yang kerap lholak-lholok, antarumat beragama di situ memang sudah punya kebiasaan untuk berlomba-lomba saling menghormati umat lain.

Beda lagi dukuh Kembang Sore tempat Petruk sehari-hari cengengesan hidup pamer hidung yang sepanjang Tugu Pahlawan itu. Di ruang-ruang publik spanduk “hormatilah orang yang sedang berpuasa” selalu jejeran mesra dengan spanduk “hormatilah orang yang sedang tidak berpuasa”. Semaraknya tak kalah ramai dengan toko-toko online yang mengumbar diskon selama bulan penuh berkah ini.

Tapi perbedaan-perbedaan tadi seakan sudah lumrah, selumrah warna-warni penetapan awal Ramadhan. Maka ketika ponokawan bertemu di suatu gubuk antara Nganjuk-Saradan, ketiganya sudah ndak nggagas lagi soal itu. Mereka malah ngomongin Rudrasara, panah andalan Rahwana yang mampu bikin Dewa Indra kalang-kabut.

***

Saat itu, ketika Rahwana dari kerajaan Alengka ngobrak-abrik Indraloka, ia bidikkan panah Rudrasara ke sisi kanan kereta andalan Dewa Indra. Sarawati, nama kereka itu, kontan berkeping-keping. Kedelapan kuda penariknya terbakar. Matali, saisnya, terpental. Dewa Indra tungang-langgang.

Begitulah Gareng, Petruk dan Bagong termemori saat-saat dewa tak terkalahkan itu akhirnya pontang-panting juga minta tolong dewa lain.

Ketiganya lantas berpindah ke warung kopi kecil di Wilangan, antara Ngajuk-Madiun sambil melanjutkan pembicaraan tentang polah Rahwana alias Dasamuka.

“Kamu tahu Rudrasara itu anugerah dari siapa?” pancing Gareng ke Petruk.

“Halah,” Petruk sembari mesem. “Pertanyaanmu itu lebih sepele ketimbang pertanyaan apakah buron Djoko Tjandra bisa dipulangkan dari Papua Nugini…”

Petruk ingat, bagaimana Rahwana ditaklukkan oleh Raja Mahespati Prabu Arjuna Sasrabahu. Kereta perang Rahwana, Puspaka, yang terkenal sakti dan ditarik oleh delapan singabarong pun akhirnya hancur lebur oleh panah Rudrasara dari Prabu Arjuna Sasrabahu.

Petruk ingat, ketika itu Rahwana pun hancur lebur meski tak mati-mati berkat aji Rawarontek dari Dewa Brahma dan Pancasonya dari Resi Subali. Tubuhnya berantakan sampai disambung-sambung dan didandani oleh Resi Pulastya. Penasihat Prabu Arjuna Sasrabahu itu tak tega melihat musuhnya berkeping-keping, seperti kaum perempuan tak pernah tega melihat barang-barang berlabel diskon.

***

“Tapi pitakon Kang Gareng tadi belum kamu jawab, Truk,” sela Bawor di tempat lain di Jawa Timur, provinsi yang diperkirakan bakal dimudiki oleh 11 jutaan menungso pada Lebaran tahun ini. “Panah Rudrasara si Rahwana itu dianugerahi siapa?”

“Yang sabar, to,” ujar Petruk masih sareh. “Puasa kan juga menggembleng kesabaran.”

Petruk menyindir Bagong, “Kamu kira cuma kamu Gong yang nglakoni puasa? Orang-orang lain juga menjalani itu dengan cara dan tirakatnya sendiri-sendiri. Waktu itu Rahwana lantas pergi ke Gunung Kailoso. Ia melakukan puasa Pradaksina. Artinya gunung yang gedenya sak hoha itu ia kitari tujuh kali. Tujuh kali, Gong!!!”

Itulah, sambung Gareng memperjelas Petruk, tirakat yang dilakoni Dasamuka. Bahkan dengan itu pun Sang Hyang Rudra tak kunjung menampakkan diri dari pucuk Gunung Kailoso. Lantas Rahwana melakukan puasa Ngebleng seperti biasa dimulai dari Selasa Kliwon. Berhari-hari ia tak kena sinar termasuk cahaya dari api di malam hari.

“Terus muncullah si Rudra?” tukas Bagong.

“Belum,” Petruk dan Gareng kompak menjawab. “Rahwana melanjutkannya dengan puasa Nglowong, thenguk-thenguk di atas kain mori putih di lubang kuburan yang digalinya sendiri…Tetap juga Sang Hyang Rudra tak kunjung mak pecungul.”

“Waduh kuat banget dan macem-macem puasanya si Rahwana ya Kang Petruk?”

“Ho’o, Gong. Makanya kamu ndak usah sombong lantaran sudah berpuasa. Puasa sudah dilakukan orang dari dulu dan dengan berbagai cara…Nah akhirnya di ujung puasa Nglowongnya Dasamuka memenggal-menggal kepalanya yang jumlahnya dasa alias sepuluh itu…Ketika kepalanya tinggal satu…muncullah Sang Hyang Rudra dari singgasananya di Widyanata. Beliau anugerahkan panah Rudrasara seperti milik Arjuna Sasrabahu, yang kalau dihargai lebih mahal dari Rp 72 trilyun, angka minimal untuk bikin pabrik iPad di Indonesia!”

***

Tapi Bagong merasa lebih baik ketimbang Rahwana. Puasanya tidak diniatkan untuk memperoleh kekuasaan.

Petruk dan Gareng setuju. Namun keduanya menyarankan Bagong agar tidak hitam-putih menilai manusia. “Sejahat-jahatnya Rahwana, beliau itu pemegang janji yang teguh,” kata mereka.

Betul sekali. Ketika dibebaskan oleh Prabu Arjuna Sasrahabu dan Resi Pulastya, Rahwana berinisiatif berjanji sendiri tak akan membuat onar dunia selama Arjuna Sasrabahu masih hidup. Panah Rudrasara-nya jauh lebih sakti ketimbang milik Arjuna Sasrabahu. Tapi lihatlah Rahwana tak gampang ingkar janji, tak sebagaimana para pemimpin terhadap janji-janji kampanenya.

Kok akhirnya Rahwana menyerbu Indraloka setelah ia bikin lumpuh kerajaan-kerajaan di bawah Indraloka seperti Kimpurusawarsa, Ayodya dan Badrawaswawarsa?

Rahwana tepat janji. Ingat! Penyerbuan itu dilakukannya setelah Arjuna Sasrabahu tewas di tangan Rama Bargawa.

“Bisakah puasamu itu juga puasa untuk menahan diri dari nafsu mengingkari janji, Gong?” tanya Petruk.