LIMBUK ujuk-ujuk ngalamun. Di bawah pohon cempaka di taman keputren Astina. Baru saja tuan putri, Dewi Banuwati, ke tempat yang lebih luas dibanding taman Agrowisata Batu itu. Sang permaisuri Raja Diraja Duryudana minum teh di taman ini, lahan yang asri, mbarek mendengarkan ayam bekisar di bawah pohon sawo manila.
”Apa kamu tadi baru dimarahi Ndoro Putri?” tanya Cangik dengan kinang dan sirih di mulut.
Limbuk ndak nggabres pertanyaan mboknya itu. Mungkin perawan gembrot ini sedang memikirkan hak angket DPR tentang Bank Century. Ah, tapi tidak mungkin Limbuk mau-maunya nggagas perkara-perkara yang ngglambyar dan tokoh-tokohnya cuma pating pecotot itu.
”Aku kangen swargi Mas Lesus, Mak. Ndahneyo senengnya kalau di hari-hari kayak begini Ndoro Putri nanggap Mas Topan dan Mas Lesus. Kita bisa ikut nonton gratis,” Limbuk akhirnya mau juga menanggapi Cangik.
O, Cangik ngelus dodo. Lega. Tidak mungkin putri satu-satunya ini goblok banget sampai sudah merasa puas karena DPR sudah menggunakan hak angket kasus Century. Limbuk itu pinter kok, meski tidak tamat SD. Daya ingatnya juga lumayan.
Makanya, Limbuk juga ndak pernah lali, sudah berapa kali hak angket DPR dikandaskan di tengah jalan, termasuk angket soal BBM naik. Sampeyan pasti sudah lupa semua to? Hehe… Jadi pas semua orang lupa sejarah, semua orang bahagia dan dikecoh oleh munculnya angket Century, Limbuk malah menjeb sinis. Panakawan Astina ini totoan, o alah ini kan cuma buat nyenang-nyenangkan sedulur-sedulur. Nanti pas kabeh awake dewe yang pelupa ini sudah ndak ngrewes Century lagi, ya angketnya dikandaskan.
Tahu nggak? Kenongopo Limbuk sampai sekarang nggak kawin-kawin sampai karaten? Ya, karena daya inget-nya yang dimasukkan kulkas itu…awet banget.
Jadi, dia itu pernah ditolak cintanya mbarek Raden Arjuna. Raden Arjuna hampir saja kepincut Limbuk, malah mau menceraikan istrinya, Dewi Subadra. Raden Arjuna bosen menjadi laki-laki yang nggak punya pendirian, yang gandrungnya cuma pada perempuan langsing. Apa salahnya jatuh cinta pada wong wedok moleg ginuk-ginuk.
***
SUATU purnama mulailah mereka jalan-jalan berdua di pesisir Banyuwangi, yang lautnya kinclong-kinclong bagai kaca. Angin semilir dari selat Bali. Pas Arjuna mau ngambung, eh Limbuk dengan YellowBerry-nya facebook-an embuh sama siapa.
Limbuk berseru, ”Wah, aduuuh, enak lho Mas Juno facebook itu, bisa membuat kita dekaaaaat dengan banyak orang…”
Arjuna kesal sambil meninggalkan Limbuk. ”Betul…Mendekatkan yang jauh. Tapi facebook menjauhkan yang jelas-jelas sudah dekat…byeee..”
Sejak itu dendam Limbuk pada Arjuna tak pernah raib
Suatu Rabu Pon datanglah seekor burung Garuda di Taman Kadilengeng, ya tempat Limbuk menjadi pegawai.
”Mak Cangik, malam Pon seperti ini kok tiba-tiba ada wujud begini di depan kita. Apa ini iklan kacang…?”
”Hush, bukan iklan kacang. Itu burung Garuda…”
”Lho aku nggak minta burung Garuda, Mak. Untuk ngusir pikiranku sing lagi judeg, aku penginnya burung perkutut…Bukankah mendengar bekisar dan burung perkutut itu bagus timbang nonton wong-wong partai nggedebus nang televisi…”
”Iya bagus, Mbuuuk. Tapi perkututnya lagi nggak ada. Makmu ini sudah pesen ke juragan perkutut nduk Jakarta, Cak Nurbuat…tapi belum dapat-dapat juga.”
”Bojone Rohana?”
”Iyo, bojone koncomu naliko Taman Kanak-kanak dulu. Cak Nurbuat kan memang ahlinya perkutut…”
”Apa Pak Lik Nurbuat juga judeg mikir bongso iki, kok pelariannya seneng perkutut…?”
”Wah soal itu Makmu gak ngerti Nduk. Mungkin dia juga kangen Lesus…daripada tiap hari nonton orang eyel-eyelan perkoro Bank Century…Gak onok Lesus, ya perkutut saja.”
Merasa gak direken, Burung Garuda yang menclok di kenanga mulai ngomong. Bilang, bahwa dia tasih bersaudara dengan burung Jatayu dan Sempati. Dia adalah kendaraan Wisnu, anak Semar…
Begitu mendengar Semar, Limbuk ingat juragan Semar, Arjuna. Limbuk langsung menuduh kedatangan maskapai penerbangan Garuda ini untuk menjemput Limbuk, membawa ke Arjuna. Padahal dendam Limbuk belum pupus pada Penengah Pandawa itu.
Tandasnya campur-campur logat Trenggalek, ”Bilang pada Arjuna. Ora ritek saya mamek ketemu dia lagi…Ora ritek….”
Garuda menenangkan suasana. Maksud dia bukan menjemput. Garuda justru ingin melamar menjadi salah satu satwa pengisi taman. Udaranya lebih segar dan cocok untuk merentang sayap terus-menerus. Kodratnya adalah merentangkan sayap. Dia kedinginan kalau siang malam harus merentangkan sayap di ruang ber-AC seperti di istana dan kantor-kantor di Jakarta.
”Makanya,” kata Garuda, ”Jadi orang itu jangan terlalu mengingat-ingat yang sudah-sudah. Belum selesai saya ngomong, kamu sudah menyangka saya memboyong kamu ke Tuan Arjuna.”
Kita beruntung banget bisa hepi mendengar angket DPR soal Bank Century karena lupa bahwa angket-angket sebelumnya, kayak angket BBM, ternyata cuma nggedebus saja.
Bayangkan kalau ingatan kita kuat, kita akan nggak percaya pada angket Century, karena kita selalu ingat gombalnya angket-angket masa lalu. Dan kita akan susah makan bagai Limbuk karena selalu ingat tinjanya wong kecirit. (*)
*) Sujiwo Tejo, tinggal di www.sujiwotejo.com
Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo