Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 35 Jajak Pendapat Para Dewa

7,640 Views

Episode035SEKJEN para dewa, Batara Narada, kaget melihat asap rokok mengepul-ngepul dari bumi sundul kahyangan. ”Ini pasti banyak orang NU klepas-klepus. Mereka pasti kumpul-kumpul atau rapat menyambut 100 hari wafatnya Gus Dur,” pikir dewa yang murah senyum itu.

Perasaan Batara Guru membenarkan dugaan Narada. Dewa yang merajai Kahyangan Junggring Saloka itu membatin, ”Tidak mungkin asap rokok ini berasal dari pertemuan orang-orang Muhammadiyah. Mereka kan cenderung mengharamkan ngudut.

Dewa Bayu yang menguasai angin berfirasat lain. Ayah angkat Bima dan Hanuman ini punya feeling, pasti ini gara-gara lakon Hanuman Obong berulang di muka bumi.

Itulah lakon ketika Hanuman menyusup ke Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Hulubalang Alengka kemudian membakar Hanuman. Ngamuklah putra Dewi Anjani ini. Dengan api yang berkobar di sekujur tubuhnya ia melompat-lompat di atap-atap rumah penduduk hingga nyaris seluruh rumah di Alengka dilanda raja merah. Dahana menjalar, merata di seluruh negeri. Asapnya membubung sampai kahyangan.

Ah, tapi, ternyata, itu bukan himpunan asap tembakau. Para dewa juga bisa keliru. Dewa juga manusia. Itu asap yang bergelora dari pembakaran ban dan pembakaran mobil-mobil juru gusur. Barang-barang itu dibakar di kawasan makam Mbah Priuk sampai merantak rata ke seantero negeri.

Narada antara percaya dan tidak. Ia masih mendongak seperti kebiasaannya dan selalu ngomong sambil cekakakan. Katanya kepada Batara Guru, ”Wahai Batara Pengalaman…”

”Kok dingaren kamu, Kakang Narada, manggil saya Batara Pengalaman…”

”Karena pengalaman adalah guru yang terbaik…Maka boleh dong Batara Guru saya panggil Batara Pengalaman…”

”Ya sudah, terserah situ…”

”Wahai Batara Pengalaman, atas dasar pengalaman Adinda, segera kasih perintah kepada kami jajaran dewa, tindakan apa yang sebaiknya kami ambil dalam keadaan gawat darurat seperti saat ini…?”

Batara Pengalaman di atas singgasana berupa punggung Lembu Andini segera memerintahkan stafnya agar meralat ucapan menteri pendidikan suatu negeri bahwa sekolah bertaraf internasional yang mahal-mahal sangatlah wajar adanya.

Kata Sang Menteri, ”Kalau sudah tahu biaya di sekolah tersebut mahal, ya cari alternatif sekolah yang murah. Semua ada kastanya. Ada yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif…”

”Hahaha…” Batara Narada cekakakan, ”Bukan perkara pendidikan itu keadaan gawat darurat yang kami maksud, wahai Batara Pengalaman. Tapi api yang berasal dari kawasan pesarean Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad RA alias Mbah Priuk.”

Batara Pengalaman tersentak. Menurutnya perkara pendidikan juga tak kalah penting dan mendesak. Pendidikan itu bagian paling penting dari kebudayaan. Ingat kata almarhum Kadaruslan alias Cak Kadar, kita bukan saja perlu sembako, yaitu sembilan bahan kebutuhan pokok. Kita perlu sepuluh. Di dalamnya, kata Cak Kadar, adalah kebutuhan akan kebudayaan.

Kompromi tercapai. Batara Pengalaman alias Manikmaya atau Jagad Girinata memerintahkan jajaran dewata meralat ucapan seorang menteri, sekaligus memerintahkan segera bikin rapat tentang perlu atau tidaknya membubarkan organisasi juru gusur.

Demikian hasil sidang di Kahyangan Junggring Saloka alias Jong Giri Kelasa atau Ondar-andir Bawono.

***

Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan para dewa untuk membantu pengambilan keputusan tentang perlu tidaknya persatuan juru gusur dibubarkan, Petruk abstain.

Menurut Petruk, dunia ini, di samping panggung sandiwara seperti kata Ahmad Albar, juga panggung yang isinya tergantung pada kita sendiri. Ndak cuma soal penggusuran. Nek Sampeyan bacaannya koran politik dan hukum, ya dunia ini isinya orang full berantem seperti kasus Priuk. Begitu juga kalau tontonan Sampeyan itu televisi-televisi non-infotainment… pasti isinya soal penggusuran, kerusuhan, dan lain-lain.

”Jadi, saya tidak akan mengisi formulir jajak pendapat ini ya Mas Dewa,” kata Petruk, ”Wong formulir SPT pajak juga belum saya isi gara-gara kasus Gayus…”

”Boikot pajak?” tanya petugas jajak pendapat dari kalangan dewa.

”Hmmm… belum tahu ya, Mas Dewa. Tapi kalau Mas Dewa tanya tentang hal-hal lain di luar Sjahril Djohan, penggusuran, dan lain-lain, saya akan jawab. Soalnya bacaan dan tontonan saya bukan koran atau teve yang jenis-jenis gitu. Kalau Mas Dewa tanya, apa pernyataan penyanyi dangdut Maria Eva yang kabarnya bakal memimpin Kabupaten Lumpur Lapindo, saya akan jawab di luar kepala…Maria Eva kan bilang, dia bisa seperti itu berkat perjuangan Kartini…”

”Eh, salah, Mas Petruk, itu pernyataan Julia Perez…”

”Lho, kok Sampeyan lebih ngerti...?”

”Wadoh, Mas Petruk ini bagaimana, pekerjaan saya memang bidang politik, hukum, dan perkara-perkara yang berat-berat begini. Ya, bagaimana lagi, anak-istri saya harus makan. Tapi bahwa sesungguhnya hati saya itu ada di infotainment dan sinetron. Raja saya, Batara Guru, kelihatannya saja ngomongnya politik, hukum, tapi tontonannya itu ya soal Anang-Krisdayanti, soal Mark Sungkar…dan judul-judul sinetron, beliau itu hafal, lho. Kalau pas lagi tayangan sinetron Batara Guru memimpin sidang, biasanya beliau SMS saya minta rekamannya…”

Berbeda dengan Petruk, Bagong langsung setuju pembubaran gerombolan juru gusur.

***

Bukan Gareng kalau langsung main labrak seperti Bagong. Bukan Gareng pula kalau cuek-cuekan seperti Petruk. Gareng berpikir, juru gusur tidak salah kalau berkelahi. Juru gusur yang helm-nya sekilas kayak tentara Romawi itu memang dididik untuk berkelahi. Lihat saja mereka pakai pentungan, gas air mata, mobilnya kayak kendaraan perang, pakai tameng kayak serdadu-serdadu Sparta.

Badan mereka juga tegap-tegap. Kalau di Srimulat itu ya mirip Tarsan dan Paul. Tidak ada juru gusur yang badannya kayak Mas Bambang Gentolet atau Gogon. Apalagi kayak Amink. Jadi, juru gusur itu memang dipersiapkan untuk gelut.

Mestinya, kata Gareng, orang-orang kerempeng juga boleh jadi juru gusur. Mereka dididik untuk bisa berembuk. ”Senjata”-nya ya tikar, makanan, asbak, rokok, dan lain-lain. Dengan alat-alat itu mereka duduk bersila, musyawarah dengan warga…kan nggak semua warga Muhammadiyah, banyak juga warga NU. Mereka masih banyak yang jadi ”ahli hisab” alias perokok.

Tukang jajak pendapat menyela, ”Jadi, kementerian pendidikan harus dibubarkan karena tidak bisa mendidik juru gusur?”

”Ya, nalarnya, ya, yang bertanggung jawab. Di atasnya lagi.”

”Yang harus dibubarkan Lembaga Kepresidenan, Mas Gareng?”

”Di atasnya lagi, kahyangan…”

”Batara Guru?”

Pendapat Gareng ini langsung sampai ke kahyangan Ondar-andir Bawono. Batara Guru diantar Lembu Andini langsung bablas turun ke dunia, tepatnya di Padepokan Klampis Ireng tempat Gareng bercokol.

Kata Batara Guru, ”Reng, Gareng, kamu ngomong jangan asal njeplak ya…Cangkemmu ta’ tapu’i tenan lho..!!!

Setelah hanya satu kalimat itu Batara Guru kembali mengangkasa lagi. Lembu Andini dalam hati misuh-misuh. ”Jauh-jauh dari kahyangan menukik dan kini mengangkasa lagi, capek, hanya untuk omong gitu saja? Alamak!!! Lagian Gareng saja lho kok diladeni….Ta’ pikir tadi akan ketemu raja sekelas Puntadewa atau Sri Kresna…Hmmm…”

”Sudah nggak usah ngomel,” ternyata Batara Guru mampu mendengar bisikan hati Lembu Andini, ”Cepetan. Nanti keburu ketinggalan sinetron Cinta Fitri...” (*)

Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo