PERGELARAN wayang orang itu makin dekat.
Persiapan juga sudah matang. Tokoh-tokoh yang mau nyumbang pengungsi melalui pergelaran amal itu juga sudah oke hadir. Akan dapat tambahan danalah pengungsi Merapi, Mentawai, Wasior dan lumpur Lapindo. Masalah? Tentu saja masih ada. Namanya hidup. Sayangnya ini soal remeh, tapi besar: belum tersedia rambut gimbal buat pemeran Burisrawa.
Padahal Burisrawa tokoh sentral dalam lakon nanti. Burisrawa adalah putra raja Mandraka, Salya, yang berwujud raksasa dan sakti mandraguna. Ksatria yang mendapat bantuan ratu jin Batari Durga ini kesengsem Subadra, adik Kresna. Padahal Subadra alias Dewi Rara Ireng dari Mandura itu hendak dinikahkan dengan Arjuna.
Kedananlah sang Burisrawa. Ngamuklah an derpati suro tan toho sang Burisrawa. Dengan ram butnya yang panjang dan gimbal, yang reggae-wan Bob Marley aja kalah gimbal, Burisrawa ngobrak-ngabrik semuanya. Musuh bebuyutan Setyaki sang asisten Raja Kresna di Dwarawati ini memorakporandakan orang-orang Pandawa dan Dwarawati.
Pokoknya ancor pessena telor…kata orang Madura…
Adegan ancur-ancuran itulah yang biasanya paling ditunggu penonton wayang orang berlakon Subadra Larung, alias Subadra dihanyutkan dengan sampan kecil di kali. Tak heran para pengusaha yang masih gemar wayang sudah tak sabar menunggunya. Sambil beramal, ngiras pantes mengenang kembali memori-memori ketika kanak-kanak dahulu mereka kerap menyaksikan wayang wong.
O, Subadra, perempuan asal Banoncinawi itumati di atas ombang-ambingan sampan…ditemukan oleh Antareja, anak Bima dari Dewi Nagagini.
O Gatutkaca, anak Bima dari Dewi Arimbi salah tampa. Dari angkasa Gatutkaca menyangka, ada laki-laki yang mempermainkan calon tantenya.
Keduanya berperang. Baru kemudian Gatutkaca tahu, lelaki itu bernama Antareja, kakak tirinya, yang juga sama-sama ingin menyelamatkan Subadra.
Biang kerok kematian Subadra ditemukan. Tak lain adalah Burisrawa. Gatutkaca dan Antareja bahu-membahu menggempur sang rambut gimbal namun sakti..Burisrawa!
***
Ciloko. Ciloko…
Sampai sore menjelang pergelaran, ternyata rambut panjang bagi pemeran Burisrawa belum ada. Selidik punya selidik, ternyata semua perajin wig di seluruh kota lebih sibuk membuat rambut palsu buat narapidana yang akan kabur dari bui.
”Maap…Maap..Maap,” kata seorang perajin rambut pada juragan wayang orang. Tangannya membentuk tanda sembah di dada. ”Sejak orang mirip Gayus sukses keluar penjara pake wig, kami tidak kober lagi bikin wig untuk wayang orang.”
Perajin yang lain sampai kota-kota kecil macam Probolinggo dan Pasuruan beralasan sama.
”Wadoh, Dik, sori, Dik. Tadinya saya sudah mau buat rambut..ehmm…rambut siapa itu…?”
”Burisrawa, Kang.”
”Ya, rambut Bob Marley itu. Kami sudah mau bikin. Eh, tapi tadi pagi, wuah banyak sipir-sipir penjara datang pesan wig yang seabreg..lebih mahal juga ongkosnya hehehe…Jadi, ya, saya ladeni mereka…”
Juragan wayang orang mengeluarkan jurus lain, ”Tapi ini bukan pertunjukan wayang biasa, Kang. Tolonglah. Ini pertunjukan amal buat pengungsi Merapi, Mentawai, Lapindo…Kalau rambut Burisrawa tidak gimbal, tidak panjang, pentas ini ndak bagus. Kalau pentas ini ndak menarik, orang-orang males nyumbang Merapi…
Pemeran Burisrawa ini orangnya gundul..”
”Hahaha…Maaf, seporana..Tapi sebenarnya kalau mereka memang niat nyumbang, ya nyumbang saja kan…gak tergantung wayang orangnya rambutnya gundul atau gondrong..”
Istri perajin wig nyeletuk, ”Iya, Pak. Sekali-sekali Burisrawanya gundul. Gantian. Biar Gayus saja yang punya rambut…”
Juragan wayang akhirnya dengan lunglai pulang ke tempat pergelaran. Ada rencana mau call perajin bulu mata palsu di kawasan Gombong,
Kebumen dan sekitarnya. Toh bulu-bulu pendek itu bisa ditempelkan di kain kerudung sebagai dalaman. Dari luar, tempelan ribuan bulu mata palsu akan tampak seperti rambut panjang.
Ternyata sudah keduluan. Para perajin bulu mata palsu menyambung-nyambung dan melem bulu mata di atas kain menjadi wig.
”Permintaan wig untuk orang-orang penjara begitu banyak,” alasan mereka, ”Coba ke tetangga sebelah…”
Tetangga sebelahnya memang tidak menerima pesanan wig orang penjara. Tapi tetangga sesama perajin wig itu kini banting stir jadi pembikin kaca mata. ”Bapak mau pesan kaca mata kayak penyanyi Afgan? Yang dipakai orang mirip Gayus?
Gak papalah, wayang kontemporer…Burisrawanya pakai kacamata Afgan hehe…” tanyanya.
Tambah lunglailah juragan wayang orang itu.
***
Malam amal peduli pengungsi sudah akan berlangsung dalam hitungan menit. Undangan sudah mulai berdatangan. Petugas prasmanan sebelum pentas sudah mulai sibuk.
Ternyata masalah sudah berhasil dipecahkan. Yaitu pecah dari satu masalah menjadi dua masalah.
Masalah pertama adalah wig Raden Burisrawa.
Masalah berikutnya adalah surat kaleng dari aktivis LSM ke Pak Dalang: ”Pak Dalang awas kalau nanti njantur Raden Gatutkaca, jangan lagi Ksatria yang berotot kawat tulang baja…Karena PT Krakatau Steel sudah diobral ke asing…Kita sedang kacau soal baja…Awas ya Pak Dalang…Pokoknya awas…”
Wah, Pak Dalang bingung. Karena dalam pakem pedalangan sudah baku, kalau Gatutkaca mau terbang, selain nggendruk bumi tiga kali, mesti ada janturan atau narasi bahwa Gatutkaca ini ksatria yang ber-otot kawat balung wesi…
Dalam penuangan sebelum pentas di belakang panggung, di tengah lingkaran para pemain yang sebagian masih sambil berdandan, Pak Dalang wanti-wanti begini:
Sedulur-sedulur…Ini nanti pentas kita agak berbeda dari padatan. Burisrawa tidak pakai rambut. Tapi pakai kacamata penyanyi Afgan saja. Dan pemeran Gatutkaca, setelah menjejak bumi tiga kali, ndak usah tunggu pocapan otot kawat balung wesi…Langsung…berrr… mabur…Pengendang siap? Semua siap?
Nggiiiiih…nggiiih siap Pak Dalang, siyogo ing diri sawego ing gati…
***
Pentas akhirnya berlangsung seperti dugaan Pak Dalang dan juragan wayang orang. Penonton kecewa. Dari awal hingga menjelang adegan ponokawan, nyaris tak terdengar tepuk tangan.
Malah tak sedikit yang tertidur persis seperti ke tika anggota parlemen sedang bersidang.
Tampilnya Petruk, Gareng dan Bagong agak sedikit menolong. Mereka menghibur penonton dengan lagu-lagu campur sari seperti Caping Gunung, Ali-ali, Rondo Kempling, Bojo Loro dan lain-lain. Di sela-sela menyanyi sambil berjoget di tengah talu gamelan mereka juga mengajak penonton guyon. Sebagian besar cekakakan.
Hanya satu dua yang protes. Mungkin aktivis LSM. Katanya, layakkah di tengah keprihatinan kita pada para pengungsi kita malah ketawaketawa seperti ini.
Gareng menjawab, ”Terus kapan kita boleh cengengesan lagi? Apa Mas kira kalau nggak ada pengungsi Merapi, terus nggak ada kelaparan di Nuswantoro?
Ndak Mas. Tiap hari ada jutaan orang nganggur dan lapar…Soal pengungsi Merapi, Mentawai dan lain-lain itu kan karena ada di berita saja…Yang nggak ada di berita banyak Mas…? Tiap hari. Apa terus kita nggak boleh ketawa-ketawa? Ketawa biar sehat, Mas.
Kalau sehat, kita semua bisa membantu mereka…”
Aktivis LSM masih nggrundel. Mereka sedikit toleran, toh yang penting Pak Dalang benar-benar nggak jantur Gatutkaca otot kawat tulang baja.
Setelah itu omongan ponokawan nyaris tak diperhatikan penonton. Pengumuman pembawa acara tentang duit yang terkumpul malam itu juga tak begitu dihiraukan penonton.
Perhatian seluruh yang hadir kini tertuju pada seorang penonton yang duduk agak di belakang.
Konon dari dialah seluruh duit yang disumbangkan untuk para pengungsi malam itu, meski melalui tangan-tangan orang lain.
Tangan si pusat perhatian itu sendiri bersedekap.
Rambutnya gimbal panjang seperti Burisrawa.
Kacamatanya mirip kacamata Afgan.
Wajahnya Gayus sekali.
Disadur Selengkapnya dari JawaPos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo 14/11/2010