Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 75 Sakuntala dan Jerome ’’Sangking’’ CIA

5,079 Views

Episode075DI mripat-nya ponokawan Petruk, penjual jamu gendong yang kerap lewat depan rumahnya tampak gonta-ganti rupa. Kadang Mbok Jamu yang masih muda itu seperti artis Alya Rohali. Hidungnya itu lho terutamane. Esoknya Petruk seperti menerawang Maudy Koesnaedi pas si Mbok Jamu menggerai rambut rembyak-rembyak sampai sepunggung. Eh, menenya lagi… hmmm… waktu itu Kamis Pon…persis bintang fi lm Gong Li.

’’Cieeee sing beneeer… Kayak Gong Li apa kayak Luna Maya?’’ kata Dewi Undanawati, istri Petruk. ’’Jangan mencla-mencle. Kemarin Sampeyan bilang kayak Luna… Labil…

Waduh Kaaaaang, Kang… Mbok nyebut. Umur Sampeyan wis piro… Usia Kaaaang, jangkane urip…,’’ ceriwis Undanawati, istri Petruk.

Wah. Ya sudah. Abis itu Petruk ndak berani lagi ngajak rembukan istrinya tentang lebih mirip siapakah si Mbok Jamu. Pas Dewi Undawati pergi, katanya mau menemui Satgas Antimafi a Hukum, nah… datanglah kesempatan itu. Pas si Mbok Jamu lewat, Petruk kasih kode mau beli. Si Mbok Jamu pun mampir.

’’Mbok Jamu…,’’ sapa Petruk dengan sopan seperti orang beres.

’’Ah, saya prihatin, Mas…,’’ kata si Mbok Jamu.

Petruk terkejut, persis ketika Pak SBY terkejut mendengar keterangan Gayus sa’ rampung vonis sapta tahun penjara. ’’Kenapa kok prihatin ya?’’ Petruk pikir-pikir. ’’Kenapa kok ndak terkejut saja? Pak SBY kan bilangnya terkejut mireng pengakuan Gayus… bukan seperti biasanya… bukan prihatin.’’

Atau, dugaan Petruk, Mbok Jamu yang kini ujuk-ujuk mirip Cut Tari itu prihatin karena Petruk cuma tinggal sendirian di dalam rumah. Ndak ada istri. Ndak ada anak. Hah? Lho lho lho. Bagi Petruk dewean justru kebetulan. Biarlah soal prihatin-memprihatinkan itu menjadi urusan Pak SBY melihat Satgas Antimafi a Hukum digugat oleh sebuah partai. Ndak usah prihatin melihat dirinya kayak duda ndak resmi.

’’Kamu nggak usah prihatin ah… Walau sendirian aku ini… Aku… hmmm… Aku hepi kok…,’’ kata Petruk mulai bermanis-manis.

Ganti penjual jamu yang mengernyit. ’’Saya ndak prihatin kok,’’ ujarnya mulai menggenit. Lembeng, kata orang Jawa Timur. ’’Saya ndak prihatin bagaimana wong nama saya memang Prihatin. Lengkapnya Dewi Prihatiningsih…’’

Oooo… Sontoloyo…

Petruk kemerahan wajahnya.

Angin di perumahan Kembang Sore semilir. Matahari pagi membayangkan pohon dan dahan-dahan cemara ke tanah sisa hujan semalaman. Wah, Petruk tak menemukan duit. Biasanya istrinya kalau pergi selalu meninggalkan duit di meja. Tercapai kesepakatan, Mbok Prihatin memberi jamu cabe puyang dan temulawak. Kosok bale-nya Petruk memberi dongeng. ’’Dulu pacar saya suka ndongeng… lalu putus… Dia kawin sama orang pajak,’’ kata Prihatin berkaca-kaca.

***

Inilah penuturan Petruk sambil menenggak jamu.

Tersebutlah seorang resi. Tekun sekali ia bertapa di hutan di kaki Gunung Himawan. Namanya Hutan Himawanpada. Resi atau begawan itu bernama Wismamitra. Bersama rohaniwan- rohaniwan atau pertapa-pertapa dari hutan lain, Wismamitra dibaiat sebagai ketua tokoh-tokoh lintas agama, eh tokoh-tokoh Rohaniwan Lintas Hutan. Suatu hari Resi Wismamitra membuat pernyataan bahwa seorang raja telah melakukan 18 kebohongan.

’’Waduh, Kang Petruk. Raja marah dong. Prihatin aja terkejut mendengarnya.’’

Untung raja ndak ngamuk, Prihatin. Terkejut dengan gaya Tessy Srimulat juga tidak. Ingat kan, mata membelalak, mulut menganga, dan tangannya dihadangkan ke mulut. Raja malah menyadari kekurangannya di samping keberhasilannya.

Lha wong di Ponorogo dan Pacitan saja masih banyak kok penduduk makan gaplek. Penduduk yang miring karena stres pirang- pirang. Sebagian malah dipasung karena keluarganya ndak mampu bayar rumah sakit.

’’Terus… terus… terus…’’

Sik ta. Aku tak ngombe cabe puyangmu dulu.

Aaaaaaaah… Seger sumyah... Nah, nah ternyata Resi Wismamitra tidak mau menghadap ke istana. Dia punya prinsip pandita itu harus bertengger di padepokannya. Ulama dan umaroh harus berjarak supaya bisa saling mengawasi.

Goro-goro itu terjadi jika pandita atau ulama bergabung dengan ratu alias umaroh.

Ya, raja tersinggung to. Tokoh-tokoh Rohaniwan Lintas Hutan juga marah. Marahnya, ya mereka pengin dekat juga dengan raja. Siapa tahu dapat proyek. Dan seterusnya… Cekak aos-nya marah.

Mereka bersama raja lapor ke kahyangan. Ba tara Guru sebagai penguasa kahyangan memerintahkan Batara Indra. ’’Hoooi Indra hajar tuh Resi Wismamitra!’’ kata Batara Guru.

’’Batara Guru itu siapa…?’’

Dulu beliau namanya Oemar Bakrie, guru biasa di Nusantara. Setelah Lumpur Lapindo nyembur, namanya berganti Paloh. Dia mengajar logika. Mengajar …ehmm… apa itu… mengajar cara berpikir. Cuma lama-lama putus asa karena semua yang diajarkan guru

ndak klop karo kenyataan. Murid-muridnya protes kabeh. Misalnya, kata Guru Paloh, kalau mau serius berperkaralah di pengadilan. Ini kok Gayus serius tapi mengecam Satgas cuma lewat koran dan televisi. Sebaliknya, kata Satgas, tuduhan itu serius, harus dibantah, tapi kok gak dibantah lewat jalur hukum? Kok 17 dari 33 gubernur dihukum? Kok orang hukuman boleh memimpin negara?

’’Ya itu pertanda bahwa Indonesia memang negara hukum, pemimpinnya adalah orangorang hukuman hehehe,’’ kata Pak Guru.

Pertama murid-murid percaya jawaban Pak Guru. Lama-lama murid-murid itu lebih pintar dibanding rata-rata juru bicara presiden. Guru tak tahan. Minggat memimpin kahyangan Suralaya.

’’O gitu, Kang Petruk. Mudeng saya sekarang.

Ini sekarang temulawaknya diminum dulu… hihihihi… Jadi ingat pacar saya dulu… kalau bercerita seru kayak Kang Petruk…’’

***

Kocap kacarita…

Batara Indra menugaskan Dewi Menaka menggoda pertapaan Resi Wismamitra. Sang Dewi bersedia asal dikawal oleh Batara Maruta dan Batara Manwata.

Mak Jleg!

Sang Dewi Menaka sudah turun ke mayapada tepat di depan pertapaan Resi Wismamitra di hutan Himawanpada. Dewa angin, Batara Maruta, meniupkan angin. Wuiiih kain-kain Dewi Menaka terlepas-lepas nyaris telanjang. Dewi Menaka menjerit-jerit meminta pertolongan. Namun Resi Wismamitra masih tak terpengaruh. Dewa harum-haruman, Batara Manwata, menebarkan parfum alami yang menimbulkan gairah asmara. Nah… nah… nah… Saat itulah pertahanan Resi Wismamitra rontok. Terjadilah pergumulan itu hingga terlahir anak perempuan. Si upik lalu dibuang di tepi Sungai Malini.

Ketika ditemukan oleh pandita lain yang bukan anggota Tokoh-tokoh Rohaniawan Lintas Hutan, bayi itu sedang bermain. Temannya bercanda hewan-hewan dari macan, ular, gajah, dan lain-lain, dan terutama sejenis elang yang bernama burung Sakunta. Maka, sang resi, yaitu Mpu Kanwa, menamainya Sakuntala.

Si cantik Sakuntala inilah yang kelak diperistri oleh Raja Duswanta melahirkan anak lelaki bernama Bharata. Dan inilah cikal-bakal dari keturunan Bharata yakni Pandawa dan Kurawa dalam lakon Mahabharata.

***

Hari menjelang surup.

Istri Petruk, Dewi Undanawati, baru tiba. Ia kaget kok di teras rumahnya tergeletak selendang perempuan. Ada juga jepit rambut satu dua. Kipas angin di dalam kamar kok sekarang juga teronggok di teras. Belum lagi parfum- parfum hadiah dari Raden Arjuna setiap ke mancanegara. Wah… wah… wah… kok semuanya morat-marit di teras. Mau bertanya ke Petruk, eh suaminya juga pergi entah ke mana.

’’Kenalkan, nama saya Jerome. Saya agen CIA,’’ ujuk-ujuk datang lelaki kulit hitam nyalami Dewi Undanawati. Bahasa Indonesia-nya terbata-bata.

’’Di teras ini, dari jauh, tadi saya melihat suami Anda duduk begini (Jerome memperagakan bersila seperti orang samadi). Dia sambil terus bercerita ke seorang penjual gendong jamuan…’’

’’Jamu gendongan…?!’’

’’Oh sorry, yup jamu gendongan…’’

’’Wajahnya seperti Luna Maya?’’

’’Wah, saya tidak kenal Luna. Saya bukan orang sini. Saya agen CIA. Kerjaan saya bikin paspor. Hmmm… Tadi sepertinya perempuan itu memperagakan apa-apa yang diinstruksikan suami Anda. Dia berdiri di depan kipas angin. Matanya merem. Rambutnya berkibarkibar.

Selendangnya terbang. Lalu dia menyemprotkan parfum-parfum. Akhirnya suami menghirup nafas dalam-dalam dan melek…’’

Jadi Petruk kabur bersama ’’Alya Rohali’’? Meledaklah tangis Dewi Undanawati. Katanya sambil sesenggukan ke agen CIA, ’’Oalaaaah… Baru saja saya disakiti Satgas Antimafi a Hukum.

Gustiii… Sekarang suami saya sendiri yang teganya-teganya menyayat-nyayat hati sanubariku, hiks hiks hiks…’’

’’Maaf Madame, memang Satgas menyakiti apa?’’ tanya mas-mas CIA.

’’Huh, mereka tidak menganggap akyuuuu

Mereka cuma seringnya BBM-an ama istri Mas Gayus… Akyuuu nggak direken… Kurang cantik apa sih akyuuuu…’’

’’Terus, ketika Anda mendatangi Satgas, mereka apa tanggapannya…’’

’’Huh, mereka malah nylimur…. ngomong lain… mereka bilang… Mbak jangan gampang dikadalin orang. Yang namanya agen CIA betulan tuh nggak bakal ngaku-ngaku kalau dia agen CIA!’’ (*)

Disadur selengkapnya dari JawaPos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo