Sindo

Hutang Budi

4,414 Views

Ini pekan yang sangat luar biasa buat saya. Dalam sepekan, saya berjumpa dua orang yang saya pernah berhutang budi dan dua-duanya sudah terlanjur saya lupakan.

Pertama adalah Anwar Fuadi, pemain sinetron senior kita. Tentu saya tak lupa pada jasa-jasanya yang lain. Misalnya setiap saya menyanyikan lagu tema film “Godfather”, yaitu “Speak Softly Love”, saya pasti ingat orang Palembang ini.

Suatu siang, kalau nggak salah, dan entah di tahun berapa, dia mencatatkan saya lagu romantis itu, di atas kertas sisa-sisa yang kami temukan di bangku ruang tunggu di bandara.

Baru ketika ketemu pekan ini, saya teringat jasanya yang lain yang kayaknya lebih penting ketimbang “speak softly love”.

***

Ceritanya, kami pernah ke pekan film Asia Pasifik di Iran bersama produser Chan Parwez dari Starvision. Pulangnya mas Parwez turun di Dubai, karena akan melanjutkan umroh.

Saya akan ada acara pentas seni di Tanjung Pinang. Pesawat dari Teheran ini tujuan Jakarta. Jadi dari Jakarta saya akan terus ke Tanjung Pinang.

Tapi melihat Chan Parwez bisa turun di tengah jalan, yakni bandara canggih macam Dubai, saya punya ide juga untuk turun di tengah jalan yaitu di Changi, Singapura. Dari situ nyambung kapal feri ke Tanjung Pinang.

Koper-koper saya titipkan Anwar Fuadi. Turunlah saya di Singapura. Waktu kemudian di Jakarta saya mengambil koper ke Anwar Fuadi, baru dia cerita bahwa ulah saya di Singapura bermasalah.

Masalahnya, ketika pesawat akan berangkat ke Jakarta, awak kabin menghitung jumlah penumpang tujuan terakhir Jakarta kurang satu. Sementara koper masih ada di pesawat. Mereka panik, keberangkatan tertunda. Pasukan anti – terorisme sampai-sampai naik pesawat memeriksa penumpang dan bagasi, kalau-kalau ada bom.

Entah bagaimana cerita persisnya, tapi Anwar Fuadi yang fasih berbahasa Inggris yang meyakinkan petugas bahwa saya, penumpang yang turun, bukanlah teroris, meskipun kami orang Indonesia yang “4-5” tahunan lalu dikenal sebagai negara teroris.

***

Orang kedua yang saya temui adalah Rabies, ini nama panggilan pelawak dari Jogja.

“Empat – lima tahunan” lalu, jadi sekitar kejadian dengan Anwar Fuadi, saya mendalang di Jogjakarta, tepatnya di tepi jalan utama Malioboro.

Pada tengah malam, tahu-tahu listrik padam. Lampu panggung mati dan sound system-nya juga tidak bekerja.

Untungnya di antara penonton ada Rabies. Saya dapat info itu dari pengrawit atau pemusik (karena dalang tidak bisa menengok ke penonton).

Rabies saya panggil ke dekat posisi duduk dalang. Saya minta dia spontan melawak sampai diesel panitia datang.

Ada sekitar 1-2 jam Rabies melawak dengan “teriak-teriak” karena tidak ada sound system. Penonton senang. Terhibur. Hingga diesel datang.

***

Saya kerjakan tulisan ini, karena yakin bahwa hutang budi bukan cuma perkara saya.

Hutang budi adalah perkara hidup siapapun termasuk sampeyan.

Saya kerjakan tulisan ini untuk sampeyan agar tidak mengulangi kekhilafan saya.

Yaitu baru sadar punya hutang budi pada seseorang setelah berjumpa langsung. Padahal saya sering mendengar dan mendengar Anwar Fuadi serta Rabies di media massa.

Melupakan budi orang, pastilah jelek. Tapi mungkin hanya bagus untuk satu hal, yaitu jika pemimpin melupakan budi cukong-cukong yang dulu membiayai kampanye politiknya.

Soalnya pekan ini, saya juga ketemu pak Sutiyoso yang akan maju sebagai calon presiden.

Terlintas di pikiran saya, seandainya saya jadi pak Sutiyoso, dan betul-betul terpilih jadi presiden, maka jasa Anwar Fuadi dan Rabies akan saya lupakan jika mereka pengusaha dan berjasa menduiti kampanye saya.

Saya akan mengutamakan kepentingan orang banyak…

Ciyeeee…..

(Dimuat di harian Sindo No. 85, tanggal 10 Mei 2008)