Sindo

Ibu-Ibu Itu Mau Ke Himalaya lho..

3,206 Views

Ketika ibu-ibu menjelaskan kepada anak-anak bahwa Indonesia negara kepulauan, berarti ibu-ibu juga sedang melanjutkan cara berpikir sesat yang kerap diajarkan sekolah kepada anak-anak. Yaitu, Indonesia adalah pulau-pulau yang dikelilingi laut. Bukankah sebaiknya ibu dongengkan bahwa Indonesia negara kelautan yang di dalamnya bertaburan pulau-pulau. Lho, bedanya apa?

Bedanya jauh. Karena cara berpikirnya juga jauh berbeda. Anak-anak sekarang yang, karena jasa ibu, mendapat pencerahan bahwa Indonesia negara kelautan, tidak akan mengulang kesalahan besar generasi sebelumnya.

Anak-anak kelak nggak bakal lagi melulu berkonsentrasi pada, misalnya, pembangunan transportasi darat, termasuk wisata, eksplorasi dan penelitian hal-hal di daratan. Saking berorientasi daratnya, sampai-sampai kini jumlah kapal perang juga amat terbatas. Kapal polisi teknologinya tak sanggup buat kebut-kebutan mengejar kapal-kapal asing pencuri ikan. Tema-tema sinetron maupun film yang salah satu tokohnya pelaut pun hampir nggak ada. Padahal Sriwijaya dan Majapahit besar karena kejayaannya di laut. Sampai sekarang tak ada “sihir” agar para pemuda kembali bangga menjadi orang laut (entah pelaut, peneliti kelautan dan kandungan di dalamnya, tokoh wisata bahari dan lain-lain).

***

Masih soal cara berpikir…

Berpikir bahwa saat membeli kartu handphone prabayar uang kita habis seharga kartu itu, lain dengan berpikir bahwa sebenarnya uang kita baru digerogoti saat kartu itu kita pakai buat SMS atau telepon. Kata teman yang kerja di bisnis SMS, orang Indonesia umumnya mikir uangnya sudah habis saat beli kartu. “Padahal uangnya belum habis. Uangnya cuma diganti dengan nilai kartu. Mestinya baru pas SMS itu mereka mikir uangnya berkurang,” katanya. “Makanya ketika makai kartu buat SMS, emosi yang jalan. Bukan pikiran. Ingat waktu dulu Indra Lesmana sebagai juri mengkritik Delon di Indonesian Idol? Wah, orang-orang emosional kirim SMS ngebela Delon…”

Banyak cara untuk berpikir, meski kita jarang sekali bisa berubah dari cara berpikir tertentu yang sudah terlanjur kita anut walau yang kita terlanjur anut itu keliru dan tak kita sadari.

Sekarang yang paling mudah adalah cara berpikir yang mengantar kita pada pesimisme. Bagaimana tak pesimis, ancaman tidak saja datang dari para pemimpin dan wakil-wakil kita di parlemen yang kelihatannya lebih sibuk ngurus diri sendiri. Dampaknya ya korupsi makin gila-gilaan. Lapangan kerja nggak jelas. Pelayanan umum seperti transportasi kereta api, laut dan udara ya kayak gini. Bukan cuma itu, Bu. Ancaman juga datang dari kita-kita sendiri. Sejak trasi, tahu, ikan dan lain-lain dikasih pengawet beracun, sampai telor ayam negeri disulap jadi telor ayam kampung supaya lebih mahal, kini beras pun dikasih pemutih dan zat-zat lain yang berbahaya.

Tapi orang, termasuk saya sendiri, kadang melupakan cara berpikir lain. Misalnya, seperti judul lagu yang dinyanyikan Berlian Hutahuruk, Badai Pasti Berlalu. Artinya kita masih boleh tetap optimis bahwa badai pasti berlalu. Lantas kita lakukan berbagai langkah persiapan menyongsong saat-saat setelah badai berlalu. Masih ada kok orang-orang yang optimis dan karena itu kreatif. Toko streetwear ”Surfer Girl” di Senayan City dan La Piazza Mall Kepala Gading kini pakai “manekin” manusia beneran.

Pekan lalu saya kaget campur malu bertemu ibu-ibu, namanya Wiwik, usia 49 tahun. Ternyata dalam iklim begini dia masih sanggup optimistis. Dia bersama kelompok Yayasan Putri Himalaya Indonesia Februari ini akan menancapkan bendera Merah Putih di Mount Everest. Sampai sekarang mereka belum mendapat dana yang cukup. Meski dana belum nutup, ibu-ibu itu tetap berlatih seperti 15 kali putaran jogging di Senayan dan meditasi, di sela-sela itu mereka masih harus mencari dana.

“Sebetulnya optimisme adalah sesuatu yang natural saja. Setelah usaha cari dana terus dilakukan, latihan terus digiatkan, doa terus dipanjatkan, maka jadi atau tidak bukan lagi milik kita sepenuhnya,” kata Wiwik.

 ***

“Ibu-ibu yang mau ke Himalaya itu contoh optimisme, gigih, kuat pada pendiriannya… Salut gua ama ibu-ibu itu. Kita harus nyontoh ibu-ibu itu…Gua paling sebel ketemu orang yang kalau ngadepin masalah terus pasrah dan sedikit-sedikit bilang ini sudah cobaan buat kita…Iyah sih, emang cobaan…Tapi kan kita mesti berusaha…”, kata model Aline Tumbuan sepulang jadi MC acara launching sebuah produk otomotif.

Nicolas Saputra punya tips, “Soal optimisme menurut gua ada dua aspek yang berperan: logika dan perasaan. Ketika logika dan perasaan ketemu, keluarnya ya optimisme… Terlalu banyak emang yang harus dibenahi di Indonesia. Gua gak yakin 2-3 tahun ini Indonesia bakal berubah. Tapi gua lihat sekarang banyak orang punya semangat untuk maju…Gua tipe orang yang gak gampang keseret masalah. Kalau dapet tekanan, gua biasanya mengalihkan diri sejenak pada kesibukan lain. Karena gua akan dapat energi baru buat menghadapi masalah tadi. Mungkin tips dari gua ya perbanyak aja kesibukan…”.

Saat omong itu, Nico lagi sibuk nyetir.

(Dimuat di harian Sindo, Tanggal 2 Februari 2007)