Ya ampun, Ibu-ibu, saya mimpi basah. Maksud saya, saya berkeringat seperti orang mandi. Nafas ngos-ngosan. Degup jantung sangatlah kencang. “Sampeyan tadi teriak-teriak kayak orang kesurupan,” kata istri saya usai membangunkan suaminya, “Sampeyan ngimpi apa se?”
Saya ngimpi melihat begitu banyak ibu-ibu bunuh diri. Ada yang bunuh diri karena tak mampu lagi membayar biaya sekolah anaknya. Ada yang bunuh diri karena tak mampu lagi membeli minyak goreng. Sebagian lagi bunuh diri, sebagai ungkapan solidaritas karena suaminya baru saja bunuh diri lantaran kian sukarnya hidup.
Maka selepas dari dibangunin itu, takut mimpi akan benar-benar jadi kenyataan, bergegaslah saya ke istana. Saya temui teman lama, Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan.
Setelah kangen-kangenan bentar, saya dipertemukan oleh Bung Andi kepada Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
***
Wah, Pak SBY waktu itu cuma pakai kaus oblong dan sarung. Ketika saya temui dan saya perkenalkan diri, ia waktu itu masih memandu sendiri ibu-ibu petani dari Ciamis. Maklum, hasil panen melimpah ruah. Mereka banyak duit sehingga mampu pergi Jakarta melakukan wisata keliling istana.
Baju, sepatu dan tas ibu-ibu petani itu semuanya bermerk. Kabarnya usai wisata istana itu mereka bakal lanjut ke Singapura, Hongkong dan New York. Belanja.
O ya, kenapa kok Pak SBY sendiri yang turun tangan memandu ibu-ibu dari Ciamis, karena, harap maklum, para pemandu wisata istana ketika itu sedang berlibur ke Hawaii dan keliling dunia selama 7 bulan. Bonus dari Menteri Sri Mulyani dan Purnomo Yusgiantoro.
Usai Pak SBY memandu ibu-ibu, saya diajaknya ke ruang rahasia istana. Di situlah, dengan ramah dan santunnya, Pak SBY bilang, saya bermimpi buruk oleh karena terlalu percaya kepada kabar burung. ”Harga BBM dalam negeri tidak naik kok. Swear!” katanya.
“Sekolah-sekolah gratis. Jangan terlalu percaya kepada desas-desus. Nanti sampeyan ndak tenang tidurnya. Mimpi buruk. Beberapa perguruan tinggi kini malah mulai cuma-cuma. Benih padi juga mudah didapat. Pupuk apalagi. Saya sudah perintahkan agar pupuk dijual di dalam negeri dulu, kalau sudah cukup, baru jual ke luar. Lihat, gampang kan dapat pupuk sekarang ini?”
***
Lalu saya diajak pindah lagi oleh Pak SBY ke ruang rahasia lain di dalam istana. Di lorong menuju ke sana, penasaran saya bertanya, “Lho kok mahasiswa kemarin ngerobohin pagar DPR dan bakar mobil plat merah di Jakarta, minta harga BBM diturunkan?”
Pak SBY tertawa,”Wah, itu mimpi sampeyan. Wah, bener-bener, sampeyan sudah tidak bisa lagi membedakan mana fakta dan mana mimpi…Itu mimpi. Halusinasi…”
“Tidak ada itu aksi mahasiswa. Lihat, mereka pada tenang belajar di kampus. Kehidupan masyarakat juga semakin membaik. Bapak-bapak sudah mulai senang ngobrolin perempuan, tidak ngomong ekonomi dan politiiiiiik melulu. Ibu-ibu sudah mulai mau ngomong soal laki-laki, nggak cuma soal pusingnya belanja. Ini asyik kan?”
“Makanya jangan cuma percaya pada gosip. Nanti ya, itu tadi, mimpi buruk. Lalu mimpi buruk itu sampeyan anggap sebagai kenyataan. Ini bahaya. Wah, jangan.”
“Kita cuma menikmati tak lebih dari 15 persen keuntungan BBM, 85 persennya ke pihak asing? Itu gosip. Hasil dari keuntungan BBM itu mampir dulu ke rekening lain, tidak langsung masuk ke Kas Negara, ke pos APBN? Itu cuma gosip.”
“Peran dari duit bantuan asing itu cuma 5 persen sehingga seharusnya asing tak terlalu mengatur Indonesia termasuk dalam kebijakan energi? Ya itu memang betul. Makanya yang kami manfaatkan adalah yang 95 persen itu. Yaitu tabungan dalam negeri.”
“Makanya, karena, ternyata, sebenarnya, peran bantuan asing cuma 5 persen, mereka ndak bisa ngatur kita. Kita justru dapat 85 persen dari keuntungan minyak. Kalau dibilang sebaliknya, ah itu gosip….!”
Silaturahmi terpotong. Ada rombongan lain para pelaku wisata istana. Mereka rombongan mahasiswa dari seluruh Indonesia yang disponsori menteri Aburizal Bakrie. Pak SBY pamit untuk memandu mereka.
***
Ibu-ibu, dua pekan lalu saya bertemu dengan teman-teman dari Jakarta Art Festival (JakArt) yang antara lain dimotori oleh dramawati Sari Madjid dan pianis Ary Suteja. Mereka menggagas suatu festival di Jakarta pada Agustus mendatang, tapi kegiatannya sudah dimulai sejak sekarang.
Salah satu kegiatan mereka adalah memberi wadah pada kegiatan imajiner. Misalnya bikin poster bahwa pemain cello dunia Yoyo Ma main di Glodok (meski Yoyo Ma tidak main di Glodok). Lantas para pengamat pertunjukan boleh menulis di media massa tentang komentar mereka terhadap pertunjukan Yoyo Ma di Glodok. Tentu hasil pengamatan secara imajiner pula.
Latar belakang kegiatan, menurut Sari Madjid, keprihatinan bahwa Jakarta sebagai Ibu Kota negara makin ke sini makin tak mempedulikan kesenian sehingga mustahil bisa mendatangkan seniman-seniman berkualitas dari berbagai belahan dunia.
Tulisan saya tentang pertemuan dengan Pak SBY tadi hanya imajiner belaka, bukan kenyataan, dan mudah-mudahan bisa dimasukkan oleh temen-temen JakArt dalam kategori festival peristiwa imajiner.
(Dimuat di harian Sindo No. 92, tanggal 28 Juni 2008)