Sindo

Jangan Sakiti Hatiku, Eh, Badanku

3,443 Views

Kabar baik sekarang, masih banyak perempuan tersenyum. Tak ada yang lebih membahagiakan kehidupan ketimbang membuka mata lalu tak ada pemandangan lain kecuali perempuan yang sedang tersenyum. Aduuuh…

Kabar buruknya, kok makin banyak orang sakit ya? Temen-temen saya sendiri demam berdarah giliran kayak arisan. Ada yang kena TBC. Mungkin udara Jakarta yang kotor. Seingat saya dulu Jakarta berudara terkotor kedua setelah Denpasar. Ada juga temen saya, dalang, kena lever.

Padahal, berhadapan dengan perkara sakit, saran-saran konsultan keuangan keluarga jadi susah berlaku. Rata-rata para tokoh dari profesi baru yang kini banyak dapat kapling di media massa itu bikin saran, bedakan kebutuhan dan keinginan. Keluarkan duit seiring kebutuhan, jangan menuruti keinginan. Gampang. Tapi, maksud saya, kalau untuk tujuan kesehatan, susah kita bedakan “mana di mana” yang kebutuhan dan yang keinginan untuk sembuh.

***

Dua hari lalu saya ketemu pedagang kacamata yang punya outlet di ITC Mangga Dua, Senayan Trade Center dan Cibubur Junction. Dia kelihatan capek banget. Ternyata baru nyetel kacamata gaya dari isteri seorang perwira. Masak sih nyetel kacamata sampai pegel-pegel? “Aduh, belinya bukan cuma satu-dua. Ibu itu ngeborong banyak banget. Gak bisa direm ya ibu-ibu itu kalau udah belanja..?” katanya.

Sidang Ibu-ibu yang budiman…

Kacamata gaya itu antara lain jenis tujuan yang bisa kita bedakan mana yang kita butuh dan mana yang kita pengin. Baju, rumah, mobil, termasuk di dalamnya. Tapi berhadapan dengan perkara sakit, rasanya yang ada kok cuma kebutuhan. Dan kebutuhan itu langsung bertabrakan dengan sedikitnya pilihan. Umpamanya pilihan antara rumah sakit yang buruk dan yang bagus (yang sebetulnya bukan benar-benar pilihan kalau didasarkan pada kebutuhan sembuh). Begitu juga pilihan antara membeli obat generik atau yang bukan.

Temen penulis skenario sinetron yang belum lama kena TBC itu, Alim Sudio, akhirnya tak pakai obat generik. “Kata dokter tidak terlalu bagus walaupun murah,” alasannya. Akhirnya dia pakalilah obat yang lebih disarankan dokter. Per tablet Rp 6.000 dan tiap hari mesti ia telan 4 tablet. Sudah lebih dari sebula dia minum obat itu.

Dari dokter lain saya baru tahu, obat generik jadi murah karena kualitasnya pas-pasan. Di dalam harganya juga tidak ada unsur biaya pemasaran obat yang dibebankan ke konsumen. Dokter sudah dikenalkan dan diajari hal-ikhwal obat generik di bangku kuliah. Obat paten kualitasnya lebih paten. Namanya aja udah paten. Tapi pabriknya perlu marketing cost termasuk biaya ngenalin ke dokter-dokter, yang semuanya ditanggungkan pada konsumen.

Demi itu Ira Duaty masuk asuransi kesehatan. Mantan model yang kini jadi pengajar dan MC ini sangat sadar betapa ongkos kesehatan kini makin tak bisa diajak guyon. Sastrawan Yanusa Nugroho memilih “bersikap tenang”. Jangan panik buru-buru bawa anak ke dokter yang mahal. Kompres dulu anak, bukan dengan air es, tapi air segar kamar mandi. Lap terus keringatnya. Tungguin dan temenin di rumah. Kalau tak sembuh, bawa ke dokter yang biasa-biasa aja. “Rp 20.000 udah pake obat,” kata Yan.

Tapi tidak semua orang bisa ikut asuransi kesehatan seperti Ira. Tapi tidak semua orang bisa tidak panik bagai Yanusa.

***

Mari kita tidak terlalu menyalahkan pihak lain termasuk dokter. Mereka gak gratisan jadi dokter. Dua mahasiswi Universitas Katolik Atma Jaya bilang, kalau ditotal biayanya minimal Rp 150 juta. Seorang mahasiswi universitas negeri di Depok, UI, akur dengan angka sekitar itu, padahal saya kira bisa lebih murah.

Jangan juga terlalu menyalahkan rumah sakit yang bisa bikin harga obat berbeda dari rumah sakit lain untuk obat yang persis sama, tergantung kebijakan manajemen. Juga jangan salahkan biaya rawat inapnya yang bisa mencapai Rp 150.000 untuk Kelas 3 di RSPAD Gatot Subroto atau sampai Rp 660.000 untuk Kelas 1 di RS Metropolitan Medical Centre (MMC). Investasi membangun rumah sakit pasti mahal. Wajar kalau mereka meminta pengembalian itu dari pasien.

Yang paling mendesak kita lakukan adalah mempertanyakan seluruh perkara kesehatan ini pada diri sendiri, mengolahnya. Lantas menjadikan hasil olahan jawaban itu buat menentukan sikap dalam berhadapan dengan sakit-menyakit. Kalau orangtua atau mertua sakit, pada saat yang sama anak perlu ongkos-ongkos buat sekolah, mana yang kita dahulukan?

Ah, ibu-ibu, soal sakit orangtua ini saya kira pilihan yang lebih berat ketimbang dulu kita memilih: cukup menikah di mesjid, vihara atau gereja dan gak usah pesta-pestaan. Seringkali pesta diselenggarakan cuma karena ndak enak ama pihak keluarga besan, atau karena orangtua gak tega pada anak. Mempelai akhirnya mengikuti kehendak orangtua-orangtua: Pakai pesta yang biayanya tak sedikit.

Berhadapan dengan orangtua atau mertua sakit, halnya lebih rumit, karena masyarakat luas menilai kita biadab kalau “membunuh” orangtua. Kita tak punya tradisi bikin upacara membunuh orangtua seperti di Eskimo, demi anak-anak bisa makan ikan yang terbatas di kutub.

(Dimuat di harian Sindo, Tanggal 16 Maret 2007)