AREA 2007 - 2008

Liburan jangan jadi Obsesi

4,285 Views

Lebih abadian mana sih? Keluarga atau karir? Lebih mengabadikan keluarga, maka selalu mengedepankan kepentingan keluarga di atas karir. Menyertai liburan anak-anak adalah keharusan, bisa mengalahkan urusan kerjaan.

Lebih ngejabanin karir, berarti sudah siap dengan kekecewaan keluarga termasuk anak-anak. Misalnya, tak terlalu ambil pusing apa mereka kecewa atas acara liburan yang tiba-tiba batal karena motor keluarga masih harus suntuk di dunia kerja.

Bagi saya kedua hal itu bukan bener-bener pertentangan. Keluarga toh tidak bisa dibangun tanpa uang, tanpa karir.

Ketika kita sedang bertekun di kantor, dan mungkin salah satu ruang yang tampak menyala di gedung pencakar langit sementara seluruh kota sudah tidur, adalah ruang sampeyan. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak sampeyan dari belakang. Bukan hantu. ”Pulanglah! Keluargamu lebih langgeng ketimbang kantor ini,” mungkin begitu pesannya.

Ya, keluarga memang lebih langgeng ketimbang kantor. Kantor, baik itu negeri maupun swasta, paling bisanya cuma ngasih pesangon ketika pensiun. Itu pun pas-pasan. Pegawai negeri dengan golongan paling tinggi pun paling banter dapat pensiunan sekitar 1,6 juta rupiah per bulan.

Teman saya yang bergerak di bisnis jaminan hari tua bilang: dunia kerja di Indonesia ini memang ”habis manis sepah dibuang”. Karena itu, katanya, keluarga memang penting. Keluargalah yang bakal mengurus dan melindungi kita di masa-masa tua. Bukan kantor. Bukan dunia kerja.

Ya…oke, taruhlah begitu. Tapi sampai menjelang tua, dengan apa kita bakal membangun keluarga, kalau tidak dengan karir?

Saya kok lebih cenderung ingin bilang, karir tetep nomer satu. Nah, untuk ngebangun karir itu, kita perlu refreshing. Keluarga, termasuk acara hiburannya itu, adalah bagian dari refreshing buat pembinaan karir.

Jadi, menemani keluarga liburan, bukan buang waktu. Bukankah orang-orang bijak sering berkata, ”Kalau kamu macet ide dalam pekerjaan, jangan terus paksakan bekerja, tapi jalan-jalanlah. Kerjakan sesuatu yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kembali dari jalan-jalan, seringkali kau kaget mendapatkan dirimu punya ide-ide baru dalam pekerjaan.”

Yang penting, bagi saya, liburan jangan dijadikan obsesi. Saya sering mencurigai siapa pun yang selalu mikir liburan ketika gawe. Lho berarti sebenarnya dia tidak all out dalam pekerjaannya dong

Kalau dia anggota DPR, kalau dia menteri, kalau dia sopir dan lain-lain, berarti dia betul-betul cuma cari duit doang dari pekerjaannya. Dia nggak hepi banget dengan pekerjaannya.

Korbannya banyak. Kalau dia dokter, korbannya adalah pasien. Kalau dia sopir, korbannya adalah penumpang. Kalau dia anggota DPR atau menteri, korbannya adalah publik. Saya sebut korban karena mereka adalah orang-orang yang cuma dapat pelayanan setengah hati.

Salah satu problem bangsa ini, kalau saya sitir almarhum pemikir, Nurcholish Madjid, adalah banyak orang tidak etis pada dirinya sendiri. Artinya banyak orang yang sebenarnya mencintai karir ”A” tetapi berkarir ”B”.

Liburan adalah waktu yang baik buat mikir, kenapa kok kita jadi ngebet banget ama liburan?

Saya juga ingin bertanya, bukankah kalau kita betul-betul mencintai bidang pekerjaan kita, maka 50% dari liburan sudah kita lakukan di dalam kerja itu sendiri? Bukankah seharusnya kita sudah hepi pada saat kerja?

Ada contohnya lho orang yang nggak terobsesi untuk berlibur. Ralph Waldo McBurney, penulis otobiografi My First 100 Years, tetap segar bugar dalam seabad usianya gara-gara cinta kerja dan hampir tak pernah libur. Larry King dari CNN, konon 30 tahun tak pernah libur saking cintanya pada pekerjaan. Di sekitar kita juga saya kira banyak tipe-tipe itu. Tak sedikit senior saya yang 25 tahun kerja tak pernah ambil cuti.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA edisi No. 91, tanggal 11 Juli 2007)