Sindo

Soal FPI, “Yes”, Dibuat Lupa Soal BBM, “No”

4,475 Views

Ini menggembirakan. Orang-orang makin dewasa. Kita tak mudah dibikin lupa. Kurang gaduh gimana pemberitaan tuntutan pembubaran Front Pembela Islam (FPI) dan kemelut pemilihan gubernur di Maluku Utara. Namun sebagian besar dari kita masih ingat, bahwa persoalan inti bangsa ini tetaplah kenaikan BBM.

Demo-demo soal kenaikan BBM masih marak meski juru kabar tampak lebih meriuhkan soal FPI. Masyarakat tetap pengin tahu ikhwal Surat Keputusan Bersama para menteri menyangkut status Ahmadiyah, kelompok yang konon memicu amarah FPI. Tapi sebagian besar dari kita, termasuk mahasiswa, tetap memperkarakan kenaikan BBM.

Sebagian menuntut agar kenaikan BBM ditinjau kembali. Sebagian lagi menuntut agar muncul peraturan dan kebijakan lain seperti kenaikan upah untuk mengimbangi dampak kenaikan BBM.

Ya, kita memang bertanya di manakah gerangan keberadaan Munarman, panglima laskar dalam kasus FPI. Namun kita tak lena oleh pemberitaan tentang mantan pengacara itu. Kita masih bertanya soal BBM. Kita tak mudah dibikin lupa seperti anak kecil. Kita makin dewasa. Dan sungguh ini menggembirakan.

Padahal, mustahil ada proses pendewasaan di mana pun tanpa peran perempuan terutama Ibu-ibu. Ibu-ibu pasti turut andil langsung maupun tidak sehingga kita beranjak matang, sehingga kita tak mudah melupakan yang inti meski telah menyusul riuh-rendahnya peristiwa lain. Tak peduli kejadian itu asli maupun direkayasa. Tak peduli insiden itu memang besar atau sekadar dibesar-besarkan.

Beda jauh dari kebiasaan selama ini. Lumrahnya, kenaikan BBM memarakkan demo. Semingguan setelah itu surut lantaran gelora peristiwa lain yang entah murni entah telah dirancang jauh-jauh hari secara canggih dan tak kasat mata. Ya, berulang kali akan saya katakan dengan gembira, kini kita telah dewasa. Hidup kedewasaan!

***

Namun, mohon maaf, tugas Ibu-ibu belum rampung. Terima kasih sebab saya dan banyak orang telah dapat didewasakan oleh kaum perempuan termasuk Ibu-ibu. Tapi alangkah lebih baik jika selain bikin kita dewasa sehingga tak mudah bikin kita lupa soal BBM, sehingga kita tak mudah diselimurkan pada kasus FPI-Ahmadiyah, Ibu-ibu juga masih akan membuat kita senantiasa kritis.

Kritisnya begini: Indonesia kan kaya akan sumber alam termasuk energi? Artinya, kita seharusnya akan sorak-sorak bergembira setiap ada kenaikan harga minyak di pasar dunia. Pengetahuan ini tidak harus dipahami secara njelimet melalui pikiran profesor maupun doktor. Akal sehat sajalah! Tapi kenapa setiap kali ada gejala harga minyak dunia bakal naik kok para pemimpin seperti koor menteror serta menakut-nakuti rakyatnya?

Salah satu kemungkinannya, sumber energi di alam Indonesia ini sudah tidak kita kelola sendiri. Yang mengeruk adalah pihak lain. Dan bisa jadi kontrak-kontrak eksplorasi dan eksploitasi energi sumber alam kita keuntungannya lebih banyak lari ke pihak asing. Berarti kontrak-kontrak itu perlu kita tinjau kembali seperti tulisan saya pekan lalu. Kalau perlu kita batalkan dengan modal tekad dan keberanian.

Kaum ayah memang bisa bikin anak-anaknya berani. Tapi sejarah membuktikan dorongan keberanian dari kaum Ibu jauh lebih jitu. Wayang pun mengajarkan itu. Pandawa, cuma lima orang, tidak akan menjadi kaum pemberani yang sanggup melawan Kurawa, 100 orang, jika tak memiliki ibu yang senantiasa meniup-niupkan jiwa ksatria, Dewi Kunti.

Kera putih Hanuman tak akan nekad dan sanggup seorang diri menghadapi ribuan bala tentara Rahwana yang sakti-sakti jika tak memiliki ibu yang senantiasa menghayatkan jiwa berani, Dewi Anjani.

***

Saya tidak tahu, meninjau kembali kontrak-kontrak pertambangan atau bahkan membatalkannya, dengan risiko perang mungkin, termasuk skenario yang pernah terlintas di benak para pemimpin atau tidak. Tapi ketika kami wawancara pas break syuting, Aditya Putri, artis, bilang ia pernah mendengar ada 39 skenario selain menaikkan harga BBM. “Tapi kok sepertinya skenario-skenario itu gak kepake ya?,” katanya seraya bertanya pada kemana duit yang diperoleh dari penjualan aset-aset negara.

Tapi nasi telah menjadi bubur. BBM telah naik. Yang bisa Aditya Putri lakukan adalah penghematan dan harapan agar para pemimpin memberi teladan kesederhanaan pula. “Ya…jangan minta laptop dibayarin negara. Transportasi harus yang kelas satu dari negara. Jangan kayak-kayak gitu,” paparnya.

Melanie Putria, presenter, juga sependapat dengan Aditya Putri. “Sekarang kalo ada acara atau syuting di luar kota, pokoknya yang (kode area teleponnya) udah gak 021…aku milih naik mobil dari stasiun tv atau ph itu aja deh…biar hemat,” ujarnya selepas menghadiri pernikahan saudaranya.

Ia menyebut kepemimpinan SBY-Kalla ini apes aja. Pas lagi menjabat, harga minyak dunia naik. Katanya, “Sebagai anak bangsa yang baik.., ciehh.., menurutku nggak ada gunanya kita jadi antipati SBY – Kalla. Itu malah bikin masalah tambah rumit. Bikin rusuh..Ya aku sebisanya mendukung SBY -Kalla. Mereka lagi apes aja. ”

Ah, Melanie, mungkin bukan apes kalau harga minyak dunia naik. Kita kan kaya sumber energi. Mestinya malah berkah. Asal Pak SBY-Kalla berani. Asal kaum Ibu termasuk Melanie dan Aditya kelak sanggup membuat Pak SBY-Kalla berani, sebagaimana kaum ibu telah mampu membuat kita dewasa, sehingga tak gampang kita lupakan kasus BBM di tengah kasus FPI atau apa pun jua.

(Dimuat di harian Sindo No. 89, tanggal 06 Juni 2008)