Sindo

Syukur

4,070 Views

Dalam perjalanan ke Surabaya saya bersebelahan dengan perempuan. Dia berjilbab. Warnanya antara coklat dan hitam. Perempuan ini punya wajah yang mengingatkan saya pada seorang artis pada tahun 80-an… Ita Mustafa (di manakah dia sekarang?).

Tapi sebetulnya bukan kecantikan itu yang penting. Bagian paling penting dari cerita saya justru ekspresi kepanikannya. Saya lirik, dia sangat ketakutan campur-campur hampir menangis sambil mencet-mencet handphone-nya, ketika menjelang lepas landas pramugari meminta segenap penumpang mematikan telepon seluler.

Sebelumnya perempuan ini sangat ceria. Dan seperti zaman keemasan Ita Mustafa, jarak antara matanya yang lebar serta warna alami bibirnya yang khas, menambah sempurna keceriaan itu. Makanya saya kaget ketika keriaannya mendadak berbalik jadi kepanikan yang luar biasa.

Ternyata, itu karena untuk mencet tombol off di HP saja dia tak punya tenaga. Saya memang sempat melihat jempol kanannya dibantu oleh jempol kirinya memencet-mencet HP-nya, sebelum pada akhirnya dengan panik dan hampir menangis dia meminta pertolongan kepada teman perjalanan di sebelahnya. Yaitu saya.

Setelah take off, mulai berceritalah perempuan ini betapa dia mengidap suatu penyakit. Saya tak dapat mengingat penyakit itu. Tapi, kalau tak salah, intinya, seluruh sel-sel tubuhnya cenderung mengeras. Seminggu sekali sekitar pusarnya mesti disuntik dengan obat khusus yang sekali suntik sekitar satu setengah juta.

Jika penyakit ini kambuh, seluruh badannya lemah. Saya baru sadar dari peristiwa itu bahwa untuk sekadar mencet HP pun sebenarnya diperlukan suatu energi. Saya jadi teringat seorang kawan pekerja pers, seorang doktor ilmu sosial, yang ketika sakit dilarang berbicara oleh dokternya. Ternyata, sama halnya memencet tombol handphone, untuk berbicara kita juga memerlukan energi yang tidak sedikit.

Ketika saya membesuknya di sebuah rumah sakit di Kuningan Jakarta, kawan ini bikin demo buat saya. Ia tunjukkan setiap dia ngomong, waduh saya lihat memang gelombang di layar komputer naik turun, terjal dan runcing-runcing.

Mengingat perjalanan pekan lalu itu, juga peristiwa di rumah sakit di Kuningan, saya dipaksa untuk bersyukur. Karena betapa pun semakin beratnya hidup kita, semakin mahalnya harga-harga, semakin tak bisa dipercayanya para politisi, setidaknya kita masih bisa bersyukur karena masih diberi energi untuk berbicara, masih diberi energi untuk mencet telepon seluler.

Saya berharap kisah itu juga dapat memaksa Ibu-ibu untuk bersyukur. SPP anak-anak kian mahal. Harga daging dan sayur-mayur makin meningkat. Namun setidaknya Ibu-ibu masih sanggup menggerakkan otot perut untuk berbicara, otot-otot jejari untuk menekan HP.

***

Di Surabaya saya pameran lukisan tentang Semar, Super Semar Mesem di Balai Pemuda sampai 16 Maret. Selama acara saya kerap ada di ruang pamer. Dari situ saya punya banyak kenalan baru di antara para pengunjung. Salah satunya Mega, baru lulus SMA 19 kota ini. Sosoknya tinggi, hitam manis, dan tubuhnya selalu banyak gerak setiap kali bicara. Bahkan sambil mondar-mandir. Pokoknya sangat energik. Ini kebalikan dari “Ita Mustafa” tadi.

Tapi marilah kita juga bersyukur tak dikasih energi berlebihan bagai Mega. Saya dan Ibu-ibu kalau bicara tak perlu banyak gerak, apalagi sambil mondar-mandir. Dan kita tak jatuh sakit karena lebih banyak diam. Mau tahu rahasia Mega banyak gerak?

“Aku itu kalau diem kenak typhus, Oom,” katanya. “Pernah aku beberapa kali opname karena aku nyoba anteng …Ya sud(ah). Akhirnya aku banyak gerak gini…Pusing ya Oom ngliat aku gerak-gerak terus…hahaha…”

Kenalan baru lainnya di antara pengunjung pameran adalah Mbak Sandra Saraswita. Dia ini pelukis dan pintar masak. Saya diundang makan ke rumahnya. Masakannya enak. Masakan jengkolnya bahkan tak bau jengkol.

Tapi yang bikin saya kaget adalah wajah anak perempuan Mbak Sandra. Usianya saya tebak 30-an. Sungguh wajah dan sosoknya mirip aktris Michelle Pfeiffer. Kebetulan saya suka Pfeiffer terutama pada aktingnya dalam Franky and Jhonny, ketika ia bepasangan dengan Al Pacino. Nanti film itu akan ada hubungannya dengan kenalan baru berikutnya.

Pulang dari rumah Mbak Sandra ke tempat pameran di Balai Pemuda Surabaya, saya berkenalan dengan pengunjung berinisial N. Ia berjilbab. Manis dan mungil. Sedang kuliah S-2 di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Kota Pahlawan.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, ujung-ujungnya dia curhat. Kenapa setelah pacaran beberapa kali ia masih tak bisa melupakan kekasih lamanya. Seorang lelaki pekerja cleaning service sebuah mall, yang dipacarinya waktu perempuan ini masih S-1.

Ia heran kenapa tak bisa melupakan cowok itu. Dan ia tak habis pikir kenapa bisa jatuh cinta pada “hanya” pekerja cleaning service, “cuma” tamatan SMA. Ia heran kenapa bulan depan ia mau-maunya harus menjadi panitia pernikahan cowok cleaning service itu, mantan pacarnya, yang akan menikah dengan sahabat kuliahnya dan juga sahabat satu kost waktu S-1.

Saya bilang, ya itulah cinta. Tak bisa ditebak. Tak bisa pakai itung-itungan akal. Saya bersyukur bahwa, ternyata, di antara milyaran cinta palsu di dunia, yakni cinta atas dasar hitung-hitungan untung rugi, ternyata masih ada cinta yang kudus.

Dalam film Franky and Jhonny itu ketika subuh-subuh pasangan Al Pacino dan Michelle Pfeiffer menelpon penyiar sebuah radio untuk memutarkan lagu “Franky and Jhonny” dari Debussy, sang penyiar bilang begini: “Saya tidak tahu apakah kalian adalah pasangan yang betul-betul bernama Franky dan Jhonny. Saya hanya bersyukur bahwa saya masih percaya bahwa cinta memang ada. Kalau tidak, buat apa larut malam sampai menjelang subuh ini saya capek-capek siaran dan memutar lagu-lagu cinta.”

(Dimuat di harian Sindo No. 77, tanggal 14 Maret 2008)