Sindo

Tawa Khatulistiwa…

4,918 Views

Pontianak nyaris tak berdandan. Segalanya masih terdapat bagai sedia kala, setidaknya ketika terakhir saya ke sana sekitar 2 tahun lalu untuk pertunjukan teater-musik. Kalaupun ada hal baru itu Orchadz, hotel anyar di Jalan Gajah Mada.

Di seberangnya, hampir setiap bangunan di situ membuka kedai kopi yang menjulur sampai jalanan. Cangkirnya setengahnya rata-rata cangkir kopi di Jawa. “Tapi orang di sini bisa ngobrol sampai berjam-jam hanya dengan gelas kecil itu,” kata seorang sopir taksi.

Mereka memang betah ngobrol. Saya sudah lama duduk di situ, tapi orang-orang yang saya duga sudah lama nongkrong di situ juga tak beranjak. Termasuk perempuan muda, mungkin seumur 35-an, dengan rambut diikat dan berkaca-mata tipis.

Setelah berkenalan dan berbasa-basi sebentar, baru saya tahu wanita itu dokter. “Orang-orang seperti Mas ini sepertinye bise jadi pasien saye,” katanya sembari tertawa ketika kami mulai akrab.

Mungkin karena dia mengaku sedang mempelajari terapi kesehatan melalui tertawa. Sedangkan saya menurut banyak orang, termasuk kawan-kawan dekat, orangnya susah tertawa. Padahal, menurut saya, sering banget saya ini tertawa. Bener!

“Iya, tetapi saye lihat cepat sekali tawa itu lenyap. Tak pernah lepas. Mas cepat sekali berubah dari tawa terus serius lagi, bibir cepat mengatup,” kata, panggil saja, Mbak calon dokter saya ini. Lagi-lagi sambil ia tertawa renyah hingga mendongak ke langit tenda kopi di khatulistiwa.

***

Beruntung di pesawat ke Pontianak sebelumnya saya mencuri baca buku penumpang yang tertidur di kursi sebelah. Judulnya Terapi Tawa, 2007, ditulis oleh Dr Bona Simanungkalit, DHSM, M.Kes.

Di situ dijelaskan, tertawa bisa mengobati kanker, darah tinggi, sakit kepala, gangguan syaraf, maag dan lain-lain, melalui contoh-contoh terapi tawa di Amerika Serikat, Jerman, Malaysia, Jepang, India dan Australia.

Tertawa selama 20 detik, sanggup memacu gerak jantung dua kali normal selama 3-5 menit atau hampir setara dengan mendayung selama 3 menit atau mengayuh sepeda 10 menit. Setidaknya 80 otot akan berkerja selama kita ketawa.

Waktu kita ketawa, kata buku itu, akan dikeluarkan zat endorfin, serotonin (morfin alami yang ada di tubuh) dan melatomin. Ketiga zat ini sangat dibutuhkan oleh otak untuk ketenangan dan kenyamanan.

Tuh kan cemberut lagi,” kata Mbak calon dokter saya ini di kedai kopi. Saya tersentak.

Ya, bagaimana ndak cemberut. Baru saja kita menyambut gegap gempita Piala Eropa. Tapi sekarang pas kita sedang menyelenggarakan hajatan olahraga sendiri, PON, sambutan kok adem-adem saja. Nggak ada umbul-umbul penyambutan presiden, penyambutan atlet, malah baliho kontestan Pilkada di mana-mana sehingga…

“Aduh, Maaaas Mas, PON itu di Kalimantan Timur, Mas. Ini, Pontianak, Mas, Kalimantan Baraaaaat!” ujarnya.

Spontan saya ketawa. Seingat saya lepas banget saya ketawa petang itu hingga para pengunjung kedai kopi ini menengok. Mbak calon dokter saya itu berseru sampil mengunyah pisang goreng, “Yup, terus Mas. Ketawa. Awas, jangan cepet-cepet mingkem lagi…nah bagus…gitu dong terus…terus…”

Hehe…untung waktu itu saya belum baca koran, bahwa meski di Kaltim ada penyambutan PON, koordinasi penyelenggaraan pesta olahraga ini carut-marut. Andai saya sudah dengar kabar soal itu, tentu tawa saya tak akan sampai setara dengan 3 menit lebih mendayung.

***

Pengin rasanya saya mengajak calon dokter saya itu jalan-jalan di tepi sungai Kapuas. Tapi saya ndak berani. Kami berpisah. Di parkiran, saya melihat ada dua perempuan ABG yang mau cabut dengan mobilnya.

Tiba-tiba penyakit saya waktu kuliah dulu kambuh yaitu kalau kata hati “harus ikut dengan apa yang saya lihat” saya akan mati-matian untuk ikut. Di Bandung saya sering bolos kuliah karena pas di jalan lihat perempuan naik angkutan kota dan tiba-tiba saya merasa harus ikut.

Saya ketuk pintu mobil cewek ABG itu. Saya perkenalkan diri. Saya tunjukkan KTP. Saya bilang “saya orang baik-baik”. Saya katakan kekurangan saya apa aja, tapi tetap saya katakan “saya orang baik-baik”. Kedua cewek ABG itu saling melihat, lantas tertawa terbahak-bahak. Saya dipersilakan masuk. Rupanya mereka kakak-beradik. Yang nyetir adiknya.

Di sepanjang jalan mereka punya cerita yang segar dan lucu-lucu. Saya tertawa. Bahkan saya pura-pura ketawa meski cerita mereka kebetulan kurang lucu, karena di buku Terapi Tawa itu dibilang pura-pura ketawa juga bikin sehat.

Cuma, pas di depan Pontianak Convention, saya tidak bisa ketawa lagi. Di gedung bundar ini dua tahunan lalu saya pernah bikin pertunjukan bersama Buddha Dharma Indonesia yang dimotori Aiko Senosoenoto dari Jakarta. Tampil pula pemusik Viky Sianipar dan pemain bas terbaik Bintang Indrianto. Malam itu suasana gedung meriah. Saya hepi.

Jauh berbeda dibanding malam ini. Lampu gedung padam. Tak ada orang yang saya kenal. Bahkan tak seorang pun tampak lewat di halamannya.

Mungkin saya menyinggung perasaan dua anak ABG ini karena tak merespon cerita mereka dengan tawa. “Kebahagiaan kadang memang mengerikan ketika kite kenang. Dan itu membuat kite susah ketawa, ” saya teringat kata-kata Mbak calon dokter saya. Dan kini pesan pentingnye sudah saye sampaikan ke segenap Puan-puan.

(Dimuat di harian Sindo No. 94, tanggal 11 Juli 2008)