AREA 2007 - 2008

Ada Istilah “Uang Belanja”, bukan “Uang Produksi”

4,200 Views

Apakah betul orang Indonesia suka belanja, bukan suka berproduksi? Bisa betul kalau dilihat dari wayang sebagai salah satu tradisi Nusantara. Nenek moyang kita melalui wayang mengajarkan, untuk melukiskan negara yang makin surut, kita bilang “pasar wis ilang kumandange”. Artinya, pasar sudah mulai sepi.

Pasarlah yang pertama kita sebut sebagai pertanda merosotnya negara. Bukan kualitas sawah sebagai lahan produksi. Bukan kualitas sekolah. Misalnya gedung-gedung sekolah sudah banyak yang mulai rusak kayak di Banyumas bahkan di Provinsi DKI Jakarta sendiri. Di daerah Bekasi juga.

Bukan pula merosotnya mutu pegawai negeri dalam pelayanan publik, yang pertama kita sebut sebagai perlambang sandyakalaning negara. Leluhur kita mengajarkan pertama kali mesti kita sebut pasar, tempat hiruk pikuk transaksi jual beli.

Anggota parlemen mutunya melorot, tak apa. Ketua parlemennya berkeberatan tim pemberantasan korupsi dari KPK menggeledah kantor parlemen, tak apa. Tak mengapa pula atap dan plafon sekolah-sekolah mulai ambruk. Itu belumlah simbol masa senja bangsa. Lain halnya apabila tempat transaksi jual-beli sudah mulai kehilangan kumandang.

Entah ada berapa ribuan radio komunitas di Tanah Air sejak era reformasi dicanangkan. Tapi yang menonjol cuma beberapa. Antara lain Radio Gapura Klewer. Mungkin karena tempatnya di pasar, yaitu Pasar Klewer Surakarta. Dia bisa hidup dari Rp 500 per pemesanan lagu, karena yang pesan banyak yakni para pedagang pakaian tradisional di dekat keraton itu.

Kalau kita ingat bangku sekolah, terutama soal penyebaran agama di Nusantara, kita juga ingat perdagangan. Sebagian besar agama disebarkan oleh kaum pedagang. Artinya, kita mengenal agama asing itu dari transaksi-transaksi jual beli di pasar (pelabuhan), bukan dari tempat-tempat produksi maupun pendidikan.

Tak heran jika hampir 400 ribu orang Indonesia menyerbu belanja ke Singapura tiap tahun dengan total belanja nyaris Rp 2 trilyun. Mereka memburu Mango, Esprit, Kipling yang biasanya didiskon bahkan kualitas di atasnya yang jarang dirabat pun seperti Aigner, Salvator dan Zara.

Tak cuma di Singapura. Di Thailand dan Cina, kata seorang teman, orang Indonesia dikenal sebagai “ATM berjalan” saking getolnya berbelanja. Termasuk di Saks Fifth Avenue, Barney dan Bergdorf Goodman di New York. Kalau ada lewat orang Indonesia, para penjaja di sana kerap berseru Miss Indonesia…Miss Indonesia…Let’s have a look

Di Mekkah bahkan ada pasar yang konon diberi nama oleh orang-orang Indonesia, Pasar Seng. Masih debatable soal artinya. Ada yang bilang itu berasal dari nama atap seng, ada pula yang bilang singkatan dari “senggol” karena pasar ini sangat padat dengan orang Indonesia sampai bersenggol-senggolan.

Makanya saya termasuk yang pesimistis “Hari Tanpa Belanja” yang pertama dicanangkan Ted Dave, seniman Kanada, tahun 1993, bisa efektif terjadi di Indonesia. Ya, saya pesimistis, meski kini sudah 30-an negara turut merayakan hari perlawanan budaya konsumtivisme (atau konsumerisme?) itu.

Tapi apakah kita satu-satunya penggila belanja? Kalau sampeyan pernah satu lift hotel dengan orang-orang Brunei Darussalam di Singapura, kita perlu hati-hati menjawabnya. Karena sampeyan bisa himpit-himpitan dengan tas-tas belanjaan orang Brunei, di kedua pundak, kedua siku dan kedua tangan dan dengan nafas yang ngos-ngosan.

Merasa bersalah boleh, asal jangan merasa satu-satunya yang paling bersalah di dunia. Jadi gak usah sampai bunuh diri. Produksi masih bisa kita kejar, di samping belanja.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 29, tanggal 25 April 2008)