Sindo

“Visit China Year 2008” di Indonesia

3,444 Views

Dulu waktu kanak-kanak saya sering mikir bahwa yang paling berkuasa itu badan. Kekuatan fisik. Komik-komik silat dan senior Jacky Chen, yaitu almarhum Bruce Lee, jadi idola saya.

Kebetulan di daerah saya banyak areal tebu yang terutama kalau malam rawan dijadikan persembunyian rampok jalanan. Maka pelajaran berhitung, sejarah dan lain-lain kurang saya perhatikan. Alasan saya, kalau di jalan kita dirampok atau disatroni penjahat, kita perlu silat. Kita tak butuh pelajaran berhitung maupun sejarah.

Maka keluar masuklah saya ke perguruan silat di Jawa Timur. Dan idola saya juga orang-orang yang berkaitan dengan kekuatan fisik. Baju dan jabatan Panglima ABRI, Panglima TNI waktu itu, segera menjadi kekaguman saya.

Apalagi ini didorong oleh dongeng-dongeng yang punya dasar fakta. Bahwa hari itu, dulu sekali, bumi tanpa batas-batas wilayah, baik batas area kampung, desa maupun negara. Lalu orang-orang yang punya kekuatan fisik, jago berantem dan lain-lain, memancangkan patok-patok batas teritorial.

Mereka yang tak punya kekuatan dan keberanian berkelahi, apa boleh buat, ya terpaksa nrimo cuma menjadi pengikut. Demikian dan seterusnya maka lahirlah kampung, desa, negara dan para pengikut akan menjadi warga negara.

Ternyata belakangan saya sedikit keliru. Yang jauh lebih berkuasa di balik kekuatan fisik adalah uang. Dengan uang kita bisa membeli bedil, tukang pukul, alarm dan lain-lain.

Jabatan menteri keuangan seperi yang disandang Mbak Sri Mulyani saat ini tiba-tiba menjadi jauh lebih serem ketimbang jabatan Panglima TNI, bahkan ketika dilaksanakan oleh tokoh berahang tegas seperti almarhum Jenderal Benny Moerdani.

***

Contoh yang paling mutakhir adalah Cina. Bahwa uang, dalam hal ini harga, sangat berkuasa. Produk Cina hadir dan menyerbu ke mana-mana. Rasanya baru kemarin, yakni ketika Deng Xiaoping bikin gebrakan ekonomi tahun 1978, yang merangsang produktivitas rakyatnya. Pertumbuhan sektor pertanian dan industri mereka langsung melesat 10 persen di era 80-an. Dan diteruskan sampai kini.

Memang untuk ukuran Indonesia, kekuasaan ekonomi Cina baru di urutan 16. Tapi temen-temen bilang, jika seluruh proyek pembangunan listrik 10 ribu megawatt berbahan bakar batu bara berjalan di Indonesia, Cina yang unggul di bidang teknologi listrik tegangan tinggi akan melonjak ke posisi 5 besar di sini.

Saya ingat Jeffrey D. Sach, ekonom Columbia University, pernah menaksir Cina bakal menggusur Amerika Serikat pada 2050. Tapi sejawatnya, Goldman Sachs bahkan meramal lebih singkat. Yakni, setelah menaklukkan Jerman 2009, Jepang 2015, Cina sudah pasti bakal menggulung Paman Sam tak sampai 2050, tapi 2039.

Ah, tak usah terkecoh angka-angka yang masih entar-entar itu. Kini saja Amerika sudah kebanjiran produk Cina. Seorang warganya, Sara Bongiorni, terdorong rasa patriotik Amerika-nya sampai menjalankan proyek dokumenter “Setahun Hidup tanpa Produk Cina”. Hasilnya bikin dia tercengang. Warga Amerika sudah tak bisa lepas dari kungkungan produk Cina. Nilainya sekitar 250 miliar dolar AS per tahun.

***

Tak cuma Amrik kan? Indonesia juga. Kita aja sering tak sadar. “Di suatu seminar yang kebetulan saya jadi moderatornya,” kata artis Lula Kamal yang kami wawancarai, “Ada satu pembicara bilang, coba kita lihat dan perhatikan berapa banyak produk-produk dari Cina yang menempel dan ada di sekitar kita…Eh, tanpa saya sadari, ternyata, waktu itu, barang-barang yang saya bawa dan pakai kebanyakan dari Cina hahaha…”

“Mungkin karena harganya murah. Jadi terjangkau masyarakat. Apalagi VCD player Cina itu katanya bisa muter film bajakan. Nah ada temen yang pake player dari negara lain. Gak bisa nyalain filmnya. Tapi ketika dicoba player Cina, eh, dia nyala. Jadi memang produk Cina itu lucu deh. Mungkin karena di beberapa negara yang melarang karya bajakan, produksi player-nya juga gak bisa baca bajakan.”

Cuma, tandas Lula, untuk produk yang mahal dan sangat vital, sebaiknya kita semua mengkaji ulang untuk membeli produk Cina yang terkenal tidak awet dan kualitasnya rendah.

Bintang iklan Heidlar Fazel alias Ade menambahkan, “Pemerintah kan punya lembaga konsumen. Harusnya masyarakat dikasih tahu, kenapa satu produk bisa murah tapi untuk produk yang sama lainnya bisa mahal. Misalnya ada DVD Player dari Cina, murah memang, tapi watt-nya bisa sampai 800. Produk sejenis bikinan negara lain bisa cuma 150-200 watt.

Cuma, seperti kata Ade dan Lula, jika uang kita terbatas, harga murah adalah satu-satunya patokan buat kita membeli sesuatu.

Artinya, seperti saya bilang tadi, uang adalah faktor penentu. Saya benar.

***

Sayangnya, saya berharap keliru lagi. Yakni bukan bedil dan uang penguasa yang sebenarnya. Tapi impian maupun cita-cita. Daya dorong impian seharusnya jauh lebih luar biasa ketimbang daya bedil dan uang. Mimpi akan kembalinya kebesaran Indonesia itulah yang bisa bikin kita lebih selektif terhadap barang-barang Cina yang bakal kita beli.

Mimpi jadi besar dengan gambaran Nusantara jadi persinggahan kapal dagang Cina-India (India kini bangkit pula), juga tidak mungkin. Karena teknologi berkembang. Kapal laut yang melayari jalur dagang Cina-India tak perlu sandar di Nusantara seperti abad ke-6, keramaian yang turut melahirkan kebesaran Sriwijaya.

Saya belum tahu, mimpi kita sebaiknya yang kayak gimana. Tapi rasanya sederhana saja. Sungguh-sungguh kalau punya gawe. Jangan mencanangkan Visit Indonesia Year tahun ini, tapi acara-acara kesenian tak digencarkan promosinya oleh government.

Puluhan kelompok teater dan musik tradisional termasuk orkes simponinya di Yogyakarta tak digalang oleh government buat menyemarakkan Yogya sebagai salah satu tujuan wisata Nusantara, kata pekerja budaya KMRT Indro ‘Kimpling’ Suseno.

Pekan lalu saya ketemu duta besar di salah satu negara Eropa yang bahkan sibuk sendiri dan harus keluar kocek sendiri buat dinner mempromosikan Visit Indonesia Year 2008.

(Dimuat di harian Sindo No. 80, tanggal 04 April 2008)