Tempo

Amandemen Indonesia Raya

11,610 Views

Jangan-jangan bangsa Indonesia tak pernah sungguh kompak lantaran lagu kebangsaannya tak sungguh menampung ekspresi kolektif kebangsaan itu. Waktu masih kanak-kanak bahkan sampai SMA di Situbondo, daerah  Pulau Jawa di Jawa Timur yang bahasa sehari-harinya Madura, kami senantiasa tak bisa khidmat menyanyikannya dalam upacara bendera. Selalu ada yang cekikikan atau setidaknya merasa punya bahan untuk mencemooh mereka yang sok khidmat. Kemudian ketika kuliah di Bandung, setelah jauh dari kultur Madura, saya mendengar teman-teman dari suku lain termasuk Jawa meledek orang Madura dalam lagu Sorak-sorak Bergembira. “…Indonesia merdeka …Madura juga…Indonesia merdeka…Madura juga…,” lantun mereka. Kenapa kami di daerah Madura tak bisa khidmat menyanyikannya dan kenapa orang Madura sering dibilang mau memerdekakan diri?

Kemungkinan jawaban kenapa tak bisa khidmat itu  saya peroleh dua pekan lalu ketika bertemu Doktor bidang musik Harry Roesli. Katanya, ia menemukan belasan kelemahan Indonesia Raya antara lain berupa kekeliruan penekanan suku kata atas dasar ketukan maupun progresi nada-nada dalam Indonesia Raya. Contoh, di awal lagu, atas dasar ketukan maupun progresi nada-nada, orang mau tak mau harus menekan “sia”  pada kata “Indonesia”. Padahal, dalam bahasa Indonesia resmi maupun tak resmi, tekanan  pada kata yang terdiri atas empat suku kata jatuh pada suku kata ketiga yaitu “ne”.  Saya kira ada benarnya. Bukankah hanya pada saat mencemooh, putus asa, marah dan sejenis itu kita menekan suku kata terakhir pada kata-kata yang terdiri atas empat suku kata?

Pantas bu guru waktu itu tak penah bercerita aspek representasi kebahasaan Indonesia Raya di tengah berbagai bahasa daerah di Indonesia. Mungkin karena hukum-hukum tekanan pada pengucapan bahasa Madura, yang persis bahasa Indonesia, tak terwakili dalam segi kebahasaan Indonesia Raya. Ini tak sebagaimana aspek representasi warna dalam bendera Merah-Putih. Bu guru kerap bercerita betapa Merah-Putih merepresentasikan ekspresi merah dan putih di berbagai daerah sejak tajin s ampai ragam hias, sejak dulu sampai sekarang. Tak heran muncul ledekan “…Indonesia merdeka…Madura juga…,” pada Sorak-sorak Bergembira. Tapi apa benar hanya orang Madura yang ingin merdeka dari Indonesia (Raya)?

Bisa jadi ketidakterwakilan pengucapan dalam Indonesia Raya tak cuma dialami oleh orang Madura. Cuma, mudah ditebak alasannya, orang  Madura memang yang paling gampang dijadikan bulan-bulanan humor seperti pada lagu Sorak-sorak Bergembira itu. Sudah jelas bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang antara lain diperkaya oleh bahasa-bahasa daerah termasuk bahasa Madura. Lalu dalam percakapan dengan teman-teman berbagai suku saya tandai hukum-hukum tekanan pada pengucapan mereka juga mirip bahasa Madura, mirip bahasa Indonesia.

Bangsa ini sudah diajak bersatu oleh bahasa Indonesia dan Merah-Putih. B ahkan keduanya tercantum dalam UUD 45. Sayang kalau ajakan itu kembali dimentahkan justru oleh lagu kebangsaan, yang kata pertamanya saja sudah mengajak orang untuk mencemooh atau bahkan marah-marah pada persatuan itu.

Silakan  para politisi di legislatif dan eksekutif  menganggap remeh urusan lagu atau musik ini dan lebih sibuk mengurus entah apa. Tapi saya tetap ingin kembali mengingatkan pentingnya dan keutamaan musik yang sering tanpa kita sadari. Hampir setiap fotografer figur yang baik selalu menyalakan musik ketika memotret sesuai ekspresi figur yang diinginkan. Fotografer itu tak cuma mengarahkan ekspresi figur dengan kata-kata, atau sebut saja dengan semacam teks dalam UUD 45. Ia juga tak cuma mengarahkan figur atau bangsa yang hendak dipotret itu dengan warna, atau sebut saja semacam merah dan putih dalam bendera. Bahkan dalam banyak kepercayaan dan agama, hal yang musikal dianggap lebih awal dan lebih akhir ketimbang teks kata-kata maupun rupa. Bisikan musikal diberikan kepada orang bahkan semasih ia janin, dan setelah di liang lahat.

Saya tak ingin masuk ke dalam polemik tentang keabsahan lagu Indonesia Raya, yang liriknya sudah berkali-kali diubah, sebagai karya orisinal atau tidak. Para ahli telah melakukan itu misalnya ahli musik Amir Pasaribu di tahun 50-an, yang kemudian dilanjutkan lagi tahun 90-an antara lain oleh polemik pengamat musik Remy Silado dan Kaye A. Solapung. Saya cuma ingin mengusulkan agar lagu kebangsaan — baca: hal musikal  seperti juga hal-hal musikal yang dibisikkan sejak janin hingga liang lahat—direvisi atau kalau perlu dibangun kembali sehingga bisa merepresentasikan hukum-hukum pengucapan berbagai daerah.

Lagu kebangsaan pastilah bukan semacam sistem demokrasi yang bisa didatangkan dari luar dan harus bisa dipakai oleh seluruh daerah yang tanpa sejarah demokrasi, karena lagu kebangsaan bukan demokrasi yang rasional dan bisa dicapai dengan pembelajaran. Lagu kebangsaan — sekali lagi baca: hal musikal seperti juga hal-hal musikal yang dibisikkan sejak janin hingga liang lahat — adalah urusan emosional.

(Pernah dimuat di majalah Tempo sebelum tahun 2000)