Blog

Cerita Sebuah Cover

7,146 Views

ST4DC2Ini cerita sebuah cover, alias sampul muka. Teramat penting memang posisinya, sangat dihargai dan diutamakan. Paling tidak mewakili isi dalam sebuah album rekaman, juga buku atau barang apapun. Cover bias juga pembungkus memang… Kali ini memang soal cover ebuah album rekaman. Dan bukan sebuah album rekamn biasa, maksudnya “musik yang biasa-biasa” saja. Ini album rekaman seorang seniman Sujiwo Tejo. Multi instrumentalis. Pelbagai aktifitas seni sudah dilakoninya. Seperti apa baiknya cover album rekaman seorang seniman “sekelas” Sujiwo Tejo? Itu dasar pemikirannya. Maka tiga orang asyik melempar ide, dengan argumentasi masing-masing. Semua sebenarnya ujung-ujungnya kepengen dapat memancing orang untuk membeli album rekaman ini. Lantas, kita akan “grab” pasar yang mana sih?

Ada ide lukisan karya Tejo sendiri tentu. Tejo mengangguk setuju. Lukisan yang mana? Ditunjuk lukisan ini, ini lukisan Petruk kan? Tejo senyum dan agak kaget, lho kok kamu tahu ini Petruk? Tapi dia buru-buru menjawab lagi, pas juga album ini dengan cover tersebut. Petruk kan tokoh yang bias mewakili isi albumku ini, ucap Tejo.
Lalu dating lagi ide, jngan lukisan. Kenapa? Terlalu “berkelas”. Kenapa memangnya? Karena nanti susah dimaknai oleh kebanyakan orang. Gambar lukisan, kesannya terlalu segmented gitu. Tapi nanti dulu, aku berpikir justru karma figurnya Petruk, bukankah menjadi lebih cair dan “merakyat”. Tunggu dulu…eit tunggu dulu…

Argumentasi makin menyala-nyala. Tapi ingat saja, semua tetap berniat baik kok. Dan ketika dilempar kembali ke sang seniman, Sujiwo Tejo sendiri, dia langsung menjawab,”Kalian tentukanlah. Jangan aku. Aku Percaya, hasilnya pasti baik dan bermanfaat. Pasti niatnya kan baik?”

Alhasil dipanggil semua musisi, beberapa rekan dekat, kerabat. Disuruh menilai, konsep mana yang terbaik. Jadinya semua menerima, foto diri Tejo dengan kostum unik merah-putih bergaris, “jas” hitam. Ala Madura? Pas dong dengan figure Tejo? Juga karena lebih unik, iseng, lucu dan pasti akan gampang diterima semua kalangan…..
Ide di bawa ke bagian design. Di tangan “mbah” Elia, sang designer jadinya memang ditafsirkan lebih “iseng”. Tidak diambil yang frontal menghadap ke depan, tapi menyamping dan tertawa lebar. Tambahin kumis dong yang melintang! Mbah sigap mengakali Tejo jadi berkumis tebal….

Lebih unik, proses terjadinya foto yang lantas menjadi cover. Karena konsep menymping tidak ada dalam scenario sebenarnya. Itu ide iseng dari fotografer, seorang hobbyist serius perempuan bernama Nelly dan….sang “art director” (kebetulan si art director dadakan tersebut adalah “mantan” fotografer). Foto outdoor tersebut setelah berbagai gaya, nah terakhir si “art director” iseng aja, “Tejo coba kamu menyamping, mbak Nelly ambil dia deh sambil duduk menyamping begitu.” Jeprat jepret, itulah frame-frame “gaya” pamungkas session foto pada sore itu!

Jadilah foto-foto dalam file dikirimkan ke Mbah Elia. Diolah mbah, dipilah-pilih. Jadinya seperti yang semua bias lihat.

Pokoke ujungujungnya kan baik dan benar, begitu senyum Tejo ketika melihat “hasil final”, setelah lewat proses ramai tapi tetap “santun” dan damai. Pas kan, damai yuk damai, berjuang tapi tetap santai…

(dionm)