AREA 2011 - 2012

AREA 109 Ini Soal “Pengin” Bir apa “Nggak” ….

4,421 Views

Ndak mesti temenan ma orang Ceko agar kita bisa minum bir. Saya sama sekali malah ndak punya kawan dari Ceko, republik dengan konsumsi bir tertinggi di dunia.

Dulu ayah kadang minum bir kalau pas kumpul-kumpul ma konco-konconya. Itu waktu saya SMA. Dari situ saya mulai mencicipi minuman beralkohol ini. Mungkin karena rasanya pahit-pahit gimana gitu. Kebetulan saya juga gemar emping. Kopi pun saya lebih suka yang pahit.

Biar laksana kopi, sedikit pahit namun membangkitkan“.     Seorang teman yang senang menulis puisi menempelkan sajak sebaris tersebut di pintu kamarnya.

Ya, pahit getir. Jangan lupa, New York penuh kedai kopi. Warga di sana tak cuma gemar bir.

Memang, seperti dalam denyut hidup keseharian, pahit ternyata punya sensasi sendiri. Dari salah satu lirik lagu seniman konser rakyat Leo Kristi yang seangkatan Gombloh, “Pahit, manis, asin, asamlah hidupmu…” yang lebih nyantol di batin saya adalah “pahit”.

Makanya ketika suatu saat bareng pelukis Made Wianta ke Belgia, salah satu dari lima negara peminum bir terbesar dunia selain Ceko, Jerman, Irlandia dan Amrik, saya kurang suka minum bir di sana. Bir di Belgia bagi saya terlalu acem.

Meski ayah kadang minum bir, beliau keberatan kalau saya minum bir ketika sedang mendalang apalagi menenggak langsung dari botol. (Soal kebiasaan saya minum bir berbotol-botol selagi mendalang pernah saya tulis di Area 64 tahun 2009 berjudul Bir pada Masa-masaku

Saya “dicuci” abis oleh ayah seusai mendalang dalam pernikahan model Ratih Sanggarwati di Ngawi. Kebetulan ayah menonton. “Nyucinya” dari Subuh usai wayangan sampai menjelang beduk Dzuhur. Sejak itu saya minum bir dari gelas pas ndalang.

Lalu entah karena apa makin lama saya makin tak minum bir selagi mendalang. Bahkan dalam hidup keseharian kemudian minum bir itu bisa dihitung dengan jari. Kalau sudah kepengin banget, saya baru minum bir. Itu pun paling gak sampai setengah gelas.

Untungnya kok saya tidak hidup di Jerman setidaknya pada saat-saat ketika mereka merayakan Oktoberfest, pesta minum bir selama kurang lebih 2 pekan. Saya bayangkan betapa sulitnya menempatkan diri dalam situasi ketika semua orang minum bir sampai total menghabiskan 7 juta liter bir.

Di Indonesia saja, tanpa Oktoberfest, kalau berada di tengah teman-teman yang nenggak bir, saya harus jelaskan bahwa saya tidak ngebir bukan karena dilarang oleh ini-itu. Tapi karena saya belum pengin banget. Saya nggak mau mereka menganggap saya kini suci apalagi sok suci.

Di tengah zaman munafik seperti sekarang, siksaan terbesar bagi orang yang antikemunafikan bukanlah dianggap kotor tetapi justru dianggap suci.

Maka sekarang saya agak deg-degan, kira-kira saya harus menjelaskan bagaimana ke teman-teman pada acara ultah ke-8 majalah Area? Tapi siapa tahu penjelasan itu tak diperlukan, karena spontanitas manusia siapa yang bisa menerka. Siapa tahu saat itu saya malah lagi pengin-penginnya minum bir.