Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 109 Komisi Peternakan Kroto ….

5,168 Views

Episode109“Kabeh tergantung otakmu!”

Hah?

Ujuk-ujuk Gareng kasih nasihat Bagong, adiknya. “Kalau pikiranmu ngeres, nglihat yang nggak kotor ya jadi cabul. Ndak usah lihat payudara, lihat buah pepaya saja imajinasimu sudah ke mana-mana. Lihat bolongan mulut gua-gua di tebing saja, darahmu sudah bisa umub. Ndasmu cenat-cenut.”

Ponokawan Bagong tambah bingung. Ndak ada ombak ndak ada angin kok tiba-tiba dituturi. Bibirnya yang tebal membuka semakin ngowoh. Wajah ndowehnya tambah kelihatan pah pong ngah ngoh. Petruk segera ngasih pencerahan.

“Gini lho Gong. Kang Gareng kesalnya ndak ke kamu. Walah orang tipe kamu itu dimarahi atau nggak sama saja. Orang Sunda bilang sarua wae. Kakang Cakrawangsa itu sebenarnya muntabnya malah ke para pemimpin seperti bupati dan gubernur. Masa’ mereka bilang bahwa kasus pemerkosaan sekarang tumbuh subur gara-gara perempuan pakaiannya kurang tertutup. Seorang gubernur malah bilang, perkosaan akhir-akhir ini terjadi ya karena salah perempuan sendiri kok pakai rok mini di angkutan umum…”

“Rok Mini, Truk?”
“Ho’o, Gong, rok mini.”
“Rok Mini temannya Rok Tari, Rok Memey, Rok Keke …?”

“Oalah itu Cut Mini, Gong, gobloooook…” Gareng membanting gelas teh tariknya. Petruk balik kanan. Keduanya mangkel kenapa kok  sejak zaman Ken Dedes pertama ketemu Ken Arok di Taman Boboji sampai zaman “Ken Arok Mini”, si bungsu ponokawan itu memelihara otaknya yang ndak meningkat-meningkat. Negara masih mending, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Lha ini Bagong memelihara kebodohannya sendiri.

“Setuju!!!” Bagong mengagetkan Petruk-Gareng. Mereka balik lagi ke tempat Bagong. “Aku setuju, Kang. Semuanya tergantung isi kepala kita. Kalau pikiran perempuan porno, mereka melihat pisang dan timun juga akan mikir kemana-mana…Betul nggak?”

Wah, Petruk dan Gareng nyaris bertepuk tangan takjub pada pesatnya perkembangan logika Bagong.

***

 

Iya, ya. Sekarang memang semakin banyak remaja putri pakai rok mini ke mana-mana, termasuk pas naik angkutan umum. Apalagi tak sedikit angkutan umum kacanya gelap. Untung Dewi Subadra tak punya anak gadis. Anaknya laki-laki, Abimanyu. Tapi Subadra memang berbeda dari kebanyakan ibu-ibu. Istri Arjuna itu tak cuma mikir anaknya sendiri. Siang malam ia khawatir akan keselamatan dan kehormatan para perawan di seluruh negeri.

“Ah, mana ada dewan kehormatan naik angkutan kota,” Bagong nyeletuk.

Gareng dan Petruk kembali geregetan. Baru saja mereka memuji kecerdasan Bagong. Eh, sekarang dia kumat lagi gobloknya. “Ini soal kehormatan perempuan, Gong. Bukan dewan kehormatan perempuan. Apalagi dewan kehormatan saja. Kalau dewan kehormatan saja, itu adanya di partai,” Gareng gemas.

Petruk menambahkan, “Perempuan kalau marah kan teriaknya  ‘jangan renggut kehormatanku’, bukan ‘jangan renggut dewan kehormatanku’!!!”

Bagong: Ah, mbelgedes…Semua tergantung otakmu. Iya kan, Kang Gareng? Kalau otakmu ngeres, dengar ‘kehormatan’ ya pikiranmu ke situ. Kalau utekmu sedang bersih kayak utekku sekarang, dengar ‘kehomatan’ ya pikiranmu ke Dewan Kehormatan Partai…”

Ganti Gareng dan Petruk yang sekarang melongo mendengar alasan Bagong.

Dewi Subadra yang semula sedih jadi tersenyum melihat adegan ponokawan bertiga. Bos putri ini memberi sasmita agar Gareng mengajak Bagong bermain, dan meninggalkannya berdua cuma dengan Petruk di Keputren Madukara.

***

“Petruk, kamu jangan menyepelekan Bagong,” Dewi Subadra mengawali obrolannya berdua di keputren. “Apa yang dibilang Bagong mungkin ada benarnya. Selama ini setiap mendengar ‘kehormatan’, aku biasanya cuma terbayang kegadisan seorang dara. Ternyata kehormatan bisa juga ada di partai…”

“Nggih, Ndoro putri. Malah namanya lebih mentereng…jadi Dewan Kehormatan…”

“Berarti salah langkah sedikit saja, sebuah partai bakal bisa diperkosa juga oleh para hidung belang politik. Kehormatannya akan terenggut.”

“Wah hahahaha…bukan saja akan, Ndoro Putri …sekarang kehormatan partai malah sudah, nuwun sewu, sudah diperkosa ramai-ramai…”

Petruk lalu melanjutkan dengan wadul ini itu. Ia wadul bagaimana perkosaan terhadap partai itu menimbulkan amarah dari alam raya. Para dewa yang mengurus air menjadi murka. Dewa Mintuna dan Dewa Baruna semakin pelit memuncratkan dan membuncahkan air. Banyak penduduk antre air besih membawa jirigen-jirigen ibarat mereka antre pemberian zakat.

Alam raya tambah marah lagi, lanjut Petruk, lantaran para pemerkosa partai justru dapat remisi hukuman. “Di Ngarab Saudi mereka dipotong tangan, di Cina dipotong lehernya, di tanah Nuswantoro ini malah dipotong masa hukumannya,” ujar Petruk seakan mengulang desas-desus yang sudah ramai berkembang di  masyarakat.

“Ssssttt…wis wis…” sergah Subadra. “Keluh kesah itu gampang. Kalau cuma berkeluh-kesah, 240 juta orang di Nuswantoro ini bisa. Buat apa aku ngajak bicara kamu di sini. Kita perlu solusi, Truk. Langkah pertama, bikinlah para pemerkosa itu mengaku. Koruptor, ya pemerkosa itu, sekarang kalau dipanggil KPK kok terus jadi bungkam? Sudah sana. Cari solusi!”

***

Sepulang dari Keputren Madukara Petruk bingung mencari solusi. Untung ia teringat pesan Subadra agar jangan meremehkan Bagong. Inilah jawaban Bagong atas kepuyengan Petruk.

“Orang-orang KPK kebanyakan dari latar kuliah hukum. Tidak ada yang dari universitas pertanian. Peternakan juga nggak ada. Kita kasih saja pelatihan ternak kroto untuk orang-orang KPK. Nanti setiap koruptor yang dipanggil dikasih konsumsi kroto. Nanti pasti akan ngoceh terus.”

“Jadi, KPK itu malih Komisi Petenakan Kroto?” Petruk-Gareng bertanya tapi terus terpana serta manggut-manggut.

“Itu saja belum cukup Truk, Reng. Kita harus ngasih pelatihan ke orang-orang KPK bagaimana cara yang benar memanggil orang. Pelatihnya adalah tukang halo-halo panggil sopir di mal-mal dan perkantoran…”

“Car caller?” Petruk dan Gareng serempak bertanya. “Masa’ para pemimpin KPK dilatih oleh car caller?”

“Jangan menyepelekan mereka. Mereka kalau manggil orang itu bener-bener manggil, bukan basa basi…Ada nggak tukang halo-halo panggil sopir yang cuma pura-pura manggil?”