AREA 2011 - 2012

AREA 115 ‘Met Tahun Baru, ‘Met Itu-itu Saja

5,788 Views

TejomusikBosan kerutinan? Cobalah berdoa agar besok matahari tak terbit lagi. Sayangnya, bila terkabul doa itu kita pasti kalang kabut. Kesimpulannya, perubahan memang perlu. Tapi tanpa rutinitas dan kemonotonan, rasa aman jadi hilang.

Jika sedang sebel ma istri atau suami bisa dicoba tidur tanpa mereka. Setelah sekian hari Sampeyan kembali merindukan bangun tidur dengan pasangan baring berada di samping.

Kekaguman saya pada Yuni Shara dan Dewi Sandra antara lain dari segi itu. Kok bisa ya mereka, dan beberapa yang lain berganti-ganti pasangan nikah. Bagaimana rasanya kehilangan rutinitas bersama para mantan?

Tetapi, kalau dipikir, dalam kawin cerai berapa kali pun toh rutinitas tetaplah ada. Siapa pun pasangan baru mereka, selalu ada yang tetap dan itu-itu juga. Pasangan mereka tetaplah manusia, bukan robot, bukan hewan bukan pula makhluk jadi-jadian.

Kita pun boleh bosan kepada tahun Masehi. Lalu menggantinya dengan Tahun Jawa, Tahun Sunda, Tahun Cina dan sebagainya. Toh tetap ada yang sama dan itu-itu juga sebagai patokan, yakni poros matahari maupun perputaran rembulan.

Julius Caesar dari Romawi misalnya “cuma” mengganti nama bulan Quintilis menjadi namanya, Julius, yang kemudian kita kenal sekarang dengan bulan Juli. Patokannya tetap sama dengan patokan orang-orang Mesir kala itu: matahari.

Dinasti Qin membuat awal tahun baru Cina pada bulan yang tetap. Setelah dinasti itu, bulan awal tahun baru Cina tak berubah-ubah tergantung siapa yang sedang memimpin (Kalau tidak salah, bulan pertama Masehi pun sebenarnya bukan Januari).

Ya, berubah-ubah. Tapi selalu ada yang tetap. Kalau tidak atas dasar perhitungan rembulan ya matahari. Orang Jawa misalnya, membuat tahunnya sendiri yang diawali pada 78 Masehi. Ya tetap saja tak sepenuhnya baru. Mereka menjadikan rembulan sebagai pedoman.

Orang Sunda membuat Kalender sendiri yang disebut Caka Sunda, yang diakui sampai di kerajaan Kelantan Malaysia. Nama-nama harinya tak sepenuhnya sama dengan nama-nama hari di Jawa. Tapi beberapa di antaranya sama, yaitu Soma untuk Senin, Buda untuk Rabu dan Sukra untuk Jum’at. Mereka gabungkan perhitungan matahari dan rembulan, sehingga tiap tahun kalendernya relatif tidak bergeser dari almanak Masehi.

Namun bagi saya, yang penting Caka Sunda toh tetap merujuk matahari dan rembulan.

Keberuntungan sekaligus tragedi manusia barangkali adalah kesanggupannya untuk membuat pembaruan, tapi pada saat yang sama pembaruan itu tak bisa mereka canangkan di luar kerangka dan kebiasaan lama, yang ternyata cuma dari itu ke itu.

Orang-orang Kanto di Jepang cuma bisa menggeser-geser tahun baru Shogatsu dengan penjualan fukubukuro (kantung keberuntungan) antara tanggal 1 sampai 3 di awal bulan, atau sampai tanggal 7. Tapi rujukan tahunnya tetap sama, yaitu tahun Masehi.

Ada yang menganggap tahun baru, Chuxi, cuma berlangsung beberapa hari. Ada pula yang memperpanjang masa itu sampai tengah bulan, Cap Go Meh. Toh dasarnya tetap sama, tahun Imlek.

Adakah perubahan dan gairah baru yang tak mengacu pada apa-apa yang telah kuno dan menjemukan?