Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 122 Putri Brajadentist yang Tertukar ….

5,443 Views

Episode122Kalau ndak dari desa Sambong, bapak ini ya dari desa Kuniran. Pokoknya dari Kecamatan Sedan. Itu lho kecamatan di Kabupaten Rembang yang terkenal industri gentengnya. Cerita punya cerita dia terus merantau ke Surabaya. Seringnya ngamen di lampu merah Kedungdoro-Kedungsari.

Ndilalah Ponokawan Petruk yang sedang terjebak macet di kawasan itu  menikmati lagu si bapak. “Orangutan di Kalimantan saja  dibantai… Apalagi orangbiasa di Lampung dan Sumatera Selatan…” begitu  syair lagu si bapak dengan iringan kecrekan tutup botol.

Entah siapa yang mengarang lagu tentang pembantaian manusia di Mesuji itu…apa Pak SBY, apa Pak Kapolri, atau bisa jadi malah karangan si bapak sendiri. Yang penting Petruk kesengsem. Ia turun dari mobilnya. Kemacetan makin menjadi-jadi oleh sebab mobilnya ia tinggal di tengah jalan padahal lampu merah sudah ijo royo-royo.

“Hmmm…nama kamu siapa?” tanya Petruk.

“Briptu Normal. Kalau penyanyi Briptu Norman pakai Kamaru…Saya Normal-normal saja. Mboten pakai Kamaru.”
“Oke, Normal…Hmmm…Saya suka lirik lagu tadi… Tapi apa tidak kebalik? Mestinya kan begini: orang biasa saja dibantai apalagi orangutan?”

“Ow tidaaaaaak,” jawab Briptu Normal dengan gaya pelawak Sule Prikitew. Ia ketawa. Giginya tampak bagus. “Orangutan lebih baik dari manusia. Orangutan itu pemalu. Padahal, Pak Petruk, sekarang, manusia sudah tidak punya malu kan?”
“Lho, tapi manusia yang dibantai itu mungkin masih punya rasa malu. Yang membantai saja yang urat malunya sudah putus…”

Briptu Normal tak bisa menjawab. Ia pandang matahari terik. Perempatan Kedungdoro-Kedungsari kian macet gara-gara mobil Petruk parkir di tengah jalan. Suara klason-klakson makin berentet. “Dasar, ndak punya malu!” sopir-sopir teriak-teriak ke Petruk.

Petruk tertawa lalu menepuk-nepuk pundak Briptu Normal. “Ya sudah kalau memang itu syairmu…Ndak popo. Saya suka kok gaya nyanyimu,” kata Petruk.

Ujung-ujungnya Petruk menawari Briptu Normal main film.

***
Di kantor perusahaan filmnya di Pasar Baru, Jakarta, Gareng senang mendapat pemain baru Briptu Normal. Makin bisa dipastikan pekan depan syuting dapat dilaksanakan di Yogya. Tepatnya di kawasan rumah seniman Djaduk Ferianto dan Butet Kertarejasa.

Film layar lebar berdurasi 90 menit itu tentang pemberontakan Brajadenta di kerajaan Pringgandani. Dia raksasa sakti luar biasa, ingin merebut tahta Pringgandani dari tangan kakak perempuannya Arimbi.

O iya, kenapa Arimbi yang jadi ratu? Tidak jelas. Kakak Arimbi, yaitu Arimba, ketika masih merajai Pringgandani juga tak pernah memastikan bahwa kelak pemegang tampuk kekuasaan adalah adiknya, Arimbi. Persis Pak SBY yang tak pernah menjamin bahwa di 2014 istrinya, Bu Ani, akan mencalonkan diri sebagai presiden. Eh, tahu-tahu dodol juga. Arimbi yang telah diperistri oleh Bima akhirnya menjadi ratu menggantikan Prabu Arimba.

Proteslah si adik, Brajadenta. “Masa’ perempuan jadi pemimpin,” pekiknya. Pekik dan kepalan tangan itu kemudian dilanjutkan. Lanjutkan! Lanjutkan! Berlanjutlah menjadi pemberontakan yang didukung oleh adik-adik Brajadenta seperti Brajamusti dan Brajalamatan. Brajawikalpa yang awalnya plonga-plongo belakangan juga mendukung makar.

Arimbatmaja alias Gatutkaca, anak Arimbi-Bima, turun tangan. Ia hadapi pemberontakan paman-pamannya itu. Brajamusti tewas. Sukmanya menjelma kesaktian di tangan kanan Gatutkaca. Brajalamatan gugur. Sukmanya menjelma kedigdayaan di tangan kiri si Gatut. Brajawikalpa pun mati. Rohnya menjadi perisai yang melindungi punggung Gatutkaca.

***

Pembuat naskah film “Putri Brajadentist yang Tertukar” adalah Bagong.

Brajamusti berarti senjata yang terus-menerus siaga. Maka Bagong mengubahnya menjadi Pak Century. Artinya orang yang siang-malam selalu berlindung di balik senjata dan kekuasaan. Brajalamatan bermakna senjata yang samar-samar. Bagong mengubahnya menjadi Pak Mafia Pajak. Maknanya, tokoh yang juga dilindungi oleh senjata namun bedil itu tak kasat mata.
Maksud Brajawikalpa adalah senjata yang berupa rajah atau stempel. Bagong mengubahnya menjadi Pak Lumpur Lapindo. Maksudnya, tokoh yang wajahnya kalau diterawang penuh rajah atau stempel lumpur.

Gatutkaca tetap dinamai Gatutkaca. Dalam naskah Bagong, jika Pak Gatutkaca sanggup menghadapi Pak Century, Pak Mafia Pajak dan Pak Lumpur Lapindo maka Pak Gatut akan semakin sakti mandraguna. Kesaktian dari ketiga tokoh akan manunggal di dalam badannya sehingga pantas menjadi pemimpin Pringgandani menggantikan Arimbi. Wuiiiih….

***

Cekcok baru berlangsung menyangkut tokoh pemberontak Brajadenta. Gareng dan Petruk tetap membayangkan Brajadenta adalah laki-laki yang bergigi dan bergeraham bagus. Mereka punya calon kuat pemerannya: Briptu Normal dari Rembang. Sebaliknya, Bagong ingin Brajadenta justru perempuan. Profesinya dokter gigi. Namanya Dewi Brajadentist.

Alasan Bagong yang pernah ikut kursus bahasa Inggris satu jam, “Denta” itu berarti gading gajah. Ini mirip gigi. Kebetulan dalam bahasa Inggris “dental” berhubungan dengan gigi dan “Dentist” berarti dokter gigi. Bagong punya calon kuat pemeran: Putri, gadis gingsul dari Mesuji.

“Lho, kan nduk pakem wayang, Brajadenta kalah. Mati. Nyawanya menyatu ke gigi Gatutkaca. Maka siapa saja yang dicokot Gatutkaca pasti bongko…Sebaiknya untuk saat ini lakonnya Brajadenta dirayu, dibuai oleh Gatutkaca. Merayu itu kan sama dengan membunuh. Buaian kan sejatinya adalah pembunuhan. Ingat, aksara Jawa kalau dipangku mati. Nah, setelah mati, baru Brajadenta hidup lagi memperbaiki gigi Gatut agar Gatutkaca giginya sehat..ndak jadi ksatria macan ompong… ” Bagong ngotot.

Karena syuting berlangsung di rumah Djaduk dan Butet yang notabene adalah anak-anaknya Pak Bagong juga, yaitu Bagong Kussudiardja, Gareng dan Petruk ngalah. Pemeran ditukar. Brajadenta diperankan oleh si gingsul dari Mesuji. Briptu Normal kembali berperan sebagai pengamen di Surabaya. Selapan hari kemudian ia pulang ke Rembang, kembali ke akar menjadi buruh pembuat genteng.
***