AREA 2011 - 2012

AREA 122 Senyum Instagram dari da Vinci

5,295 Views

TejomusikPara gubernur di Kalimantan tak cuma kompak. Mereka menuntut. Kuota BBM bagi Borneo tak ditambah oleh orang-orang Jakarta? Wow, mereka bakal stop suplai minyak.

“Bagaimana rakyat Kalimantan tidak sakit hati melihat tidak ada antrean panjang SPBU di Jawa pada siaran televisi. Kami di sini setiap hari antre berjam-jam. Konflik sosial kadang-kadang muncul akibat rebutan BBM,” kata Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah.

Akhirnya tuntutan empat gubernur itu di-oke-in. Bagi saya perkaranya bukan tuntutan akhirnya digubris. Letak soalnya, sejak kapan tuntutan ada. Ternyata sudah bertahun-tahun cyiinn… sejak awal 2000an lho.

Padahal mereka bukan saja pulau besar. Mereka sekaligus pemasok minyak. Kalau pulau besar yang juga sumber minyak diabaikan tuntutan jatah minyaknya bagi kawasannya sendiri, pigimane ya tuntutan kite satu persatu yang kecil-kecil ini dan bukan pemasok ape-ape?     Lihat tuh, setiap ada pemilu, Jakarta kotor di mata. Mulai deh gambar-gambar orang yang sok beres berpajangan.

Kita yang tak sebesar Borneo yang kompak ini, kita yang cuma satu per satu dan kecil-kecil ini menuntut para pihak tergambar mbok tahu diri. Kalau merasa nggak enak dilihat mbok potretnya nggak usah dibikin mejeng di tembok-tembok, tiang listrik dan pohon-pohon.

Enak dipandang nggak ada hubungannya dengan ganteng atau cantik. Seganteng atau secantik apa pun seseorang itu tetap nggak bakal enak dipandang kalau senyumnya pamrih.

Belasan daya sunting foto di Instagram mungkin bisa memperbaiki senyum para calon gubernur itu. Tapi, aplikasi gratis dari iTunes ini nggak bakalan sanggup menuluskan senyum yang silsilahnya memang tak dari hati. Mau foto-foto itu dikasih efek Kodak Instamatic dan Polaroid yang khas di Instagram, senyum tak tulus tetap saja tinggal dan ngekos di kesan pamrih.

Saya tidak tahu … Di Jakarta ada banyak ahli kubur, tapi ada berapakah ahli senyum? Dialah yang sanggup menilai korup atau tidaknya seseorang cuma dari caranya tersenyum?

Analis senyum Monalisa begitu banyak. Haruskah para calon anggota legislatif dan para calon gubernur itu dilukis dahulu oleh Leonardo da Vinci sehingga senyum mereka akan banyak yang menganalisa?

Hasil analisa dan temuan itu lalu dimasyarakatkan. Harapan, orang-orang langsung bisa menilai para calon itu sejatinya koruptor atau tidak hanya melalui senyum di foto-foto.

Ah, sesungguhnya teori dan analisa senyum tak benar-benar penting. Tanpa belajar dan kuliah pun bayi sudah sanggup menilai siapa yang sayang padanya, antara lain melalui senyum yang dilihatnya. Artinya secara firasat dan naluriah kita semua juga langsung bisa menilai ketulusan senyum manusia.

Artinya Kevin Systrom dan Mike Krieger yang menggagas Instagram tak usah kita minta menambah fitur detektor senyum tulus dalam daya sunting programnya. Para pemuda lulusan Universitas Stanford itu biar memikirkan hal lain saja seperti kenapa yang mengambil Instagram akhirnya Facebook dan bukan Twitter dan Google.

Kita sendiri sudah mampu kok menjadi detektor senyum tulus. Tapi sebagai penuntut Jakarta bersih pemandangan, kita yang kecil-kecil ini sudah memasok apa ke Jakarta ya?

Kalau Borneo kan sudah jelas: Dia besar, pemasok energi pula cyiinn