Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 142 Hari Gondrong Nasional …

6,681 Views

STcartoon1“Kang Gareng, kamu sadar nggak, ndak ada satupun koruptor rambutnya gondrong?” ucap bungsu ponokawan Bagong kepada kakaknya, Gareng. Saat itu Tandes di Surabaya sedang terik-teriknya. Gareng ndak kontan menyahut. Si sulung asyik merem-melek ke lagu baru Ayu Ting Tong, Plat Nomor Palsu.

Itu lagu persembahan khusus buat orang-orang penting dalam ber-Bhineka Tunggal Ika, yaitu punya berbagai-bagai mobil tetapi plat nomornya tetap satu jua.

Petruk tanggap. Sambil menghabiskan lontong balap kesukaannya ia jawil Gareng agar segera merespon Bagong. Ia tahu betul kesayangan Semar ini jarang sekali bicara. Orangnya cuek pol. SUJU pentas saja dia tidak tahu kabarnya.

Maka, bisik Petruk, “Nek Bagong wis mulai njeplak, itu kesempatan kita meladeni, agar semangat bicaranya terpupuk terus…”

“Oh…Oke…Oke…Kamu tadi ngomong opo, Gong?” Gareng mengindahkan usul Petruk. Ia sambil matikan lagu bernuansa reggae Plat Nomor Palsu.

Ternyata Neneng, penjual di warung itu, suka sekali lagu itu. Sambil isah-isah mencuci piring terdengar Neneng menggerutu. Ia ngambek gara-gara lagu Plat Nomor Palsu dimatikan. Bibirnya yang seseksi Agnes Monica dimanyun-manyunkan. Gareng sayang Neneng. Ia mengalah. Distelnya kembali si Ayu Ting Tong. Bagong dan Petruk ia ewer-ewer ke luar tenda warung. Mereka pindah ke bawah pohon sawo dekat penjual bensin eceran, menjauh dari tape recorder warung.

Berapa…berapa..berapa….plat nomor mobilmu sesungguhnya…

Masih lamat-lamat terdengar lagu dari tenda warung. Tapi setidaknya Gareng kini lebih bisa bicara jelas.

“Kamu tadi ngomong opo, Gong? Aku denger ada soal koruptor-koruptornya gitu. Benar?”

Bagong diam saja. Ia tampak sudah mutung sambil matanya berkeriyepan karena debu Kota Pahlawan. Keningnya yang selebar lapangan voli nyureng-nyureng dan pipinya semakin tampak tembem. Petruk kepingkel-pingkel.

“Benar kan, Kang Gareng, ya Bagonglah. Tadi itu pas dia nyelomet mestinya kesempatan kamu langsung samber. Beri terus suasana agar Bagong mengutarakan segala unek-uneknya. Kamu malah asyik dengar nyanyian. Mau kamu Bagong jadi ketularan masyarakat yang sudah males berkata-kata? Yang cuma mendem perasaannya? Mau? Itu malah bahaya lho nanti-nantinya, ” kata Petruk masih kemekelen.

Bagong sudah nggeloyor pulang ke dukuhnya di Pucang Sewu. Gareng kemudian pulang ke Bluluktibo. Petruk ke Kembang Sore.

***

Mereka cukup lama tak saling ketemu setelah peristiwa Tandes itu. Sampai akhirnya tersiar kabar bahwa Neneng akan menyerahkan diri kepada KPK. Ternyata setelah dari dukuhnya masing-masing mereka datang mengecek ke Tandes, eh, Neneng masih buka warung di situ unutuk sopir-sopir dan tukang becak.

“Waduh panjang umur kamu, Neeeeeeng…kakak iparkuuuuu…” kata Petruk sambil cipika-cipiki Neneng yang kaget tiba-tiba disebut kakak ipar.

“Halah Truuuuk, Truk. Panjang umur itu kalau diworo-woro mati tapi ternyata masih hidup. Saya kan cuma didesas-desuskan bakal ditangkap KPK,” kata Neneng sedikit manja-manja yok opo gitu.

“Lha, sekarang ditangkap KPK itu sama dengan lonceng kematian…” Petruk ngeyel.

“Halah, kata siapa,” Bagong nyeletuk dengan suara paraunya. “Banyak yang sudah ditangkap KPK, disidang. Lalu apa? Ndak mati-mati juga kan? Masih hidup. Harta hasil korupsinya juga tidak dikembalekno ke negara. Makanya banyak orang yang milih bisnis korupsi saja. Korupsi milyaran. Memalsukan nomor polisi kendaraan. Paling dihukum nggak sampai seumur wedus sakit. Keluar penjara masih kaya. Lha kalau kerja jujur ndak korupsi perlu berapa ratus tahun termehek-mehek kerja siang malam?”

Petruk njawil Gareng. Kode bahwa mumpung Bagong mau bicara sebaiknya Gareng cepat-cepat menanggapinya.

“Wah, mlethik pikiranmu, Gong,” puji Gareng. Ia menarik Bagong dan Petruk dari keramaian orang-orang di Warung. Mereka ke bangku panjang dekat penjual bensin eceran dekat pohon sawo. Di situ relatif ndak banyak orang yang nguping. Mereka sekalian pamit ke Neneng. Petruk pun pamit. “Iyo…iyo….Truk,” balas Neneng, “Tapi kapan-kapan dijaga itu cangkemmu ..aku bukan kakak iparmu…nanti aku bisa diulek-ulek sama istri Kang Gareng..”

***

“Bagong, tadi kamu menyinggung soal koruptor. Dulu kita ketemu terakhir di sini kamu juga menyinggung koruptor…Kamu kok tumben tertarik soal masalah sosial,” tanya Gareng.

“Iya, Kang Gareng. Soalnya banyak yang nggak sadar soal koruptor. Kalian sadar nggak bahwa ndak ada satupun koruptor yang rambutnya gondrong?”

Maksud Bagong, sudah jelas-jelas lelaki koruptor itu pasti berambut pendek, mengapa kok orang baik-baik tetap mencontohnya. Kenapa orang baik-baik kok tidak berambut gondrong saja agar mudah dibedakan dari para koruptor.

Gareng kamitenggengen. Tak bisa segera ia jawab persoalan pelik itu. Petruk tak ada bantu-bantunya ke Gareng. Ini serba salah. Keduanya sebenarnya ingin ketawa mendengar pertanyaan Bagong. Tapi keduanya sadar, ngenyek Bagong pada setiap ia bertanya lama-lama akan menguburkan minatnya untuk berbicara.

Mereka lalu anteng. Ketiga ponokawan tak berceloteh. Hanya suara bis kota lewat penuh penumpang seperti pernah digambarkan dalam lagu Franky Sahilatua. “Tuh, buka matamu. Seluruh penumpang sesopir sekernet-kernetnya rambutnya pendek kan? Padahal mereka orang baik-baik. Kerja keras. Orang baik-baik kok rambutnya pendek? Terus apa beda mereka dengan koruptor kalau begitu,” Bagong memecah keantengan.

Bagong tetap tak mau dengar kata-kata Gareng bahwa orang gondrong juga ada yang jadi preman, jadi koboi dan lain-lain. “Ah itu cuma oknum orang gondrong, Kang Gareng,” bantah Bagong.

“Hmmm…Gini saja: Kamu tahu hari lahirnya Gajah Mada? Atau hari lahirnya Bung Tomo?”

“Buat apa Gong?” Gareng dan Petruk kompak kaget.

“Aku usul dicanangkan jadi Hari Gondrong Nasional. Upacaranya sudah kebayang. Pengibar benderanya Limbad. Pembaca doanya Ki Joko Bodo…Kamu punya usul siapa inspektur upacaranya?”