Sindo

Belajar dari Sarah Sechan

4,021 Views

Aktris Sarah Sechan sedang berada di Malaysia ketika 21 April lalu. Jadi dia tidak tahu dan tidak melihat dengan mata kepala sendiri bahwa pada Senin itu di Tanah Air sedang ada perlakukan khusus terhadap perempuan.

Emang ada perlakuan seperti itu? Wah bagus dong,” katanya. “Dah dari lama aku tunggu (perlakuan khusus itu)…Tapi seharusnya perlakukan itu bukan hanya ada di Hari Kartini aja dong…Mestinya setiap hari. Hahaha…”

“Tapi, menurut saya, gak perlu buat semua wanita kali ya? Karena ada juga wanita yang kuat. Seharusnya yang dapat perlakuan itu adalah wanita hamil atau tua…”

Gini nih…Waktu saya lagi hamil, di luar negeri, waktu itu lagi liburan, kemana pun saya pergi dengan apa pun, entah dengan bus, MRT, para lelaki di sana pasti langsung berdiri. Nyilakan saya duduk. Udah terbentuk budayanya. Juga, kalau ada orang yang merokok, tahu di sampingnya orang lagi hamil, saya, pasti dia langsung nyingkir. “

“Nah, pas balik ke Indonesia, di bandara sekalipun gak ada yang menghargai wanita. Kan kalau di bandara ada yang harus scan tas itu kan. Biasanya orang-orang di belakang saya gak mau antre. Pasti langsung taruh tasnya di rolling scan itu. Ngambilnya juga duluan sebelum saya.”

“Di sini tuh kayaknya gak ada budaya lady’s first. Di masyarakat kita tuh adanya pejabat first, hehehe…Semua orang yang pakai baju pejabat pasti diduluin. Ibu hamil? Gak tuh.”

“Nah, sekali lagi, kalau memang mau memperlakukan wanita spesial, jangan di Hari Kartini aja..tapi memang setiap hari.”

“Ini mesti dimulai dari pendidikan keluarga…Hemmm… Untungnya saya punya suami yang selalu sopan terhadap perempuan. Dia selalu membukakan saya pintu. Ada sopan santunnya. Jadinya anak saya pasti juga akan menghargai perempuan. Keluarga memang berperan mendidik sopan santun ini. Gak harus ngajarin khusus. Tapi dengan sikap dan perilaku suami kepada saya, anak-anak pasti bisa belajar menghargai wanita…”

***

Sarah yang pernah jadi presenter MTV ini masih bagai sedia kala. Ceplas-ceplos. Dan ia cerdas. Jawaban-jawabannya mengajak kita merenung, bahwa masih banyak yang mesti kita pelajari sebagai bangsa.

Istilah bangsa yang “ramah-tamah”, bangsa yang “penuh senyum” dan sebagainya perlu kita tinjau ulang. Karena, jangan-jangan, semua itu baru terbatas sebagai semboyan. Belum ada kenyataannya. Tapi kita terlanjur percaya itu semua itu telah menjadi kenyataan.

Mirip istilah “gotong-royong”. Semua orang di sini percaya bahwa bangsa Indonesia itu berciri “gotong-royong”, sampai-sampai kabinetnya pernah bernama “kabinet gotong-royong”.

Padahal, menurut seorang teman, doktor ilmu sosial yang sedang membuat penelitian tentang hal ini, “gotong royong’ itu tak ada akarnya di Nusantara. Itu semboyan bikinan orang, yang mungkin saja Bung Karno. Kita lantas terhipnotis dan menyangka bahwa “gotong royong” itu memang tradisi kita.

Kita baru sadar bahwa “gotong-royong” bukan tradisi kita, kita bahkan masih harus belajar tentang kita, ketika membaca konstitusi. Dasar konstitusi kita menyebut bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Faktanya?

Karena “gotong-royong” memang belum tentu menjadi tabiat Nusantara yang sudah mendarah daging. Mungkin “gotong-royong” itu justru malah berurat akar di negara-negara Eropa, yang pengangguran dan orang-orang jomponya disantuni, yang perusahaan-perusahaannya banyak menyisihkan dana buat kesenian dan kegiatan-kegiatan sosial.

Di sini pergantian kekuasaan sendiri bahkan jarang yang tidak berdarah-darah. Kita bisa menengok ke belakang ke peralihan-peralihan kekuasaan zaman Mataram, zaman Singasari dengan Ken Arok-nya sampai ke pilkada-pilkada gubernur dan bupati hari ini.

Maka mungkin perlu kita tambahkan. Bukan cuma bangsa ini harus mulai belajar menghargai wanita, seperti kata Sarah Sechan. Kita semua, termasuk saya, juga harus mulai belajar gotong-royong, belajar ramah-tamah, belajar toleran dan sebagainya.

***

Tentu sah-sah saja mengukur kemajuan penghargaan pada perempuan dengan melihat tampilan fisik dan angka-angka. Keduanya adalah simbol. Dan manusia adalah makhluk simbolis.

Misalnya kita bangga baru-baru ini Sylviana Murni dilantik sebagai walikota Jakarta Pusat, sekaligus walikota wanita pertama di Jakarta. Kita bangga sopir-sopir busway mengenakan pakaian adat perempuan pada Hari Kartini. Penyelenggaraan turnamen sepakbola perempuan di Jayapura. Pemberian hadiah pada wanita penyapu teladan di Bogor pada Green Botani Square Festival. Bakti sosial di Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Tangerang. Kita bangga pula dengan angka 30 persen, yakni prosentasi perempuan yang masuk sebagai calon eksekutif maupun anggota legislatif pada Pemilu 2009.

Tapi intinya kan bukan simbol-simbol itu. Intinya adalah penghargaan dari dasar hati. Angka 30 persen termasuk angka 2 buat jumlah tokoh perempuan yang ada di tim ekonomi kabinet sekarang, tak terlalu berarti kalau semua itu ternyata hanya untuk menyenang-nyenangkan kaum wanita atau luar negeri. Bukan karena penghargaan yang tulus terhadap kemampuan perempuan.

Dari Sarah Sechan yang ceplas-ceplos, kita dan terutama saya memang masih harus belajar banyak.

(Dimuat di harian Sindo No. 83, tanggal 25 April 2008)