Saudara-saudara, ini darurat! Kabarnya jumlah pendengar radio kian merosot. Dari 70 persen warga pendengar radio pada 2004, kini konon jumlahnya tinggal 56 persen. Tak apa. Bagi kaum optimis setidaknya angka itu masih berarti 122 jutaan orang lho. Ini angka gerombolan yang besar dan terlalu sayang jika cuma disuguhi lagu-lagu, jika tak disusun menjadi barisan.
Tentu radio masih perlu menyiarkan lagu-lagu pop sebagai peringkat tertinggi siaran (40,5 persen) setelah dangdut (29, persen). Tapi biarkan saya menghayal bahwa 1.800-an radio di Indonesia bikin bisa melek 122 juta pendengarnya bahwa mitos-mitos di Tanah Air belumlah mati. Dan karena itu kita perlu barisan untuk perubahan.
Orang boleh menertawakan mitos-mitos seperti Nyi Roro Kidul dan lain-lain. Orang boleh menganggap bahwa segenap klenik itu telah kehilangan kepercayaannya dari masyarakat. Tapi nyaris 2.000-an radio termasuk radio komunitas mesti menyadarkan gerombolan itu bahwa mitos tetap ada.
Mitos soal Lawang Sewu di Semarang dan mitos-mitos lain boleh mati. Tapi setidaknya sampai 40 tahun terakhir ini kita percaya pada mitos APBN. Bahwa APBN itu adalah menyangkut mati-hidupnya negara.
Padahal, menurut pendapat kawan-kawan ekonom yang saya sarikan, APBN cuma menempati 20 persen ekonomi nasional. Sebagian besar, 80 persen ekonomi nasional, justru ditentukan oleh ekonomi rumah tangga dan ekonomi industri.
Radio-radio mesti menggencarkan bahwa APBN itu adalah rencana belanja eksekutif, untuk membayar 4,5 juta pegawai dan membangun beberapa hal, dengan pembelinya adalah rakyat. Memang sebagian rakyat juga ikut kecipratan dapat lapangan kerja dari proyek-proyek eksekutif yang dibiayai APBN. Tapi sebagian besar lainnya bekerja di ekonomi rumah tangga dan industri, di luar APBN.
Radio yang rata-rata didengar 3 jam oleh penduduk, mesti terus-menerus mempertanyakan di antara lagu-lagu sepanjang 3 jam itu, kenapa hanya untuk menyelamatkan APBN dengan menaikkan harga minyak, yang notabene cuma 20 persen ekonomi nasional, 80 persen perekonomian nasional jadi menanggung akibat?
Radio-radio yang jumlahnya masih akan meningkat, kabarnya sampai akhir tahun lalu saja muncul 2205 permohonan izin, mesti gencar mempertanyakan, kenapa APBN yang selama ini dibiayai oleh sebagian besar pajak, utang dan penjualan aset, tidak dicarikan sumber penerimaan dari hal lain?
Misalnya dari peninjauan kembali kontrak-kontrak pertambangan yang selama ini amat menguntungkan asing. Jadi kita bisa seperti umumnya negara-negara minyak lainnya, setiap ada kenaikan harga minyak dunia, rakyatnya senang karena ikut untung lantaran yang menguasai minyaknya bukan perusahaan asing.
Radio mesti mempertanyakan, banyak orang berani pada acara akbar 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang ditayangkan seluruh televisi, ada yang memecahkan lempeng besi cuma dengan jari dan lain-lain, tetapi kenapa kita takut memperbarui atau bahkan membatalkan perjanjian pertambangan dengan perusahaan asing yang merugikan kita.
Tanpa dukungan dari media massa, khususnya radio, selama 40 tahun mitos bahwa APBN itu adalah soal mati-hidupnya negara akan susah dihancurkan. Banyak ekonom yang telah mengingatkan itu. Tapi juga tak kalah banyak dan kompak ekonom-ekonom yang menjaga mitos itu, karena mungkin dapat keuntungan banyak dari memitoskan APBN.
Radio kita perlukan agar di belakang para ekonom yang putih, makin tumbuh barisan masyakarat pendukung, sehingga ekonom-ekonom penjaga mitos APBN mulai memperhitungkan daya tahannya.
(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 32, tanggal 26 Mei 2008)