Sindo

Bunuh Diri, Nasi Goreng Rebus, Kerupuk

3,697 Views

Beberapa agama dan kepercayaan, yang saya ingat, mengharamkan masturbasi, onani dan semacamnya. Di luar perkara keyakinan, dunia ilmu pengetahuan kerap saya dengar memperdebatkan baik tidaknya seks mandiri itu bagi kesehatan fisik dan non-fisik.

Ada ahli yang bilang, seks sendirian itu ndak bagus. Ahli lain bilang bagus, daripada main bareng profesional yang belum tentu kebersihannya terjaga. Ada juga yang berpendapat, bolehlah yang gituan itu dipakai buat latihan otot.

Ya, saya nggak tahu lah bagus atau nggak. Tapi saya mulai makin mengerti, dan kemudian mulai paham kenapa itu dosa.

Mungkin karena seks tanpa pasangan itu adalah pintu gerbang suasana menuju ke suasana “merasa sendirian”. Padahal merasa sendirian sangatlah berbahaya. Bahayanya mungkin lebih ketimbang kasus lumpur Lapindo maupun naiknya harga minyak goreng.

Dan manakala seseorang mencapai puncak suasana merasa sendirian, tak ada pihak lain lagi yang dia rasa bisa diharapkan berpihak, saat itulah bunuh diri bakal kejadian.

***

Di tengah rasa kesendirian, yang awalan maupun pintu gerbangnya bisa bermacam-macam, termasuk masturbasi, seseorang akan sulit membaca sebuah larik puisi Rendra dari kumpulan sajak Sepatu Tua, bahwa “suka duka kita tidaklah istimewa kerna setiap orang mengalaminya.”

Pada puncak perasaan kesendirian, seperti kerap diajarkan di dalam wayang, seseorang akan merasa bahwa suka dukanya adalah yang pertama dan satu-satunya di dunia.

Erwin Kurniawan, 36 tahun, yang awal bulan ini bunuh diri di Riau pasti susah membaca baris syair itu. Sebelum bunuh diri, almarhum juga diduga meracuni isterinya yang sedang hamil 8 bulan serta ketiga anak lelakinya atas sebab himpitan ekonomi.

Kalau ini benar, pasti Erwin juga merasa bahwa kalau dibiarkan hidup, keluarganya akan hidup sendiri. Sepi tanpa pihak lain. Dan penderitaan keluarganya akan jadi satu-satunya di dunia setelah penderitaannya.

Jadi teringat buku Suicide yang ditulis Emile Durkheim (1858-1917) tentang tiga tipe bunuh diri. Yakni egoistic suicide, bunuh diri karena merasa nggak punya ikatan dengan pihak lain. Anomic suicide, bunuh diri karena kosongnya hukum-hukum serta moralitas sosial. Fatalistic suicide, bunuh diri karena tekanan peraturan.

Tapi bagi saya, ketiga tipe yang teringat itu intinya adalah puncak perasaan sendirian. Itu yang juga membunuh Ribiyem (sambil ngajak serta 3 anaknya bunuh diri) di Gunung Kidul, Ni Luh Sukardi di Bali, Ny. Junania Mercy (sambil ngajak keempat anaknya) di Malang, Ny. Jasih (sambil ngajak 2 anaknya) di Cirebon….dan lain-lain.

***

Eh, Ibu-ibu…Sori-sori-sori…Ternyata bukan cuma puncak kesunyian yang mengantar kita ke tali gantungan dan racun tikus (Oh ya, 60 persen kasus bunuh diri tahun lalu di Nusantara secara gantung diri, kedua minum racun…sisanya dengan bakar diri, senjata tajam dan peluru). Ternyata minyak goreng juga bisa bikin bunuh diri.

Seorang teman di Forum Kelapa Indonesia bilang, dengan harga minyak goreng mahal, masyarakat akan lebih sering menggunakan minyak itu berulang-ulang (jelantah). Padahal, katanya, kalau dipakai terus-menerus kandungan minyaknya akan menjadi semacam oli …atau apalah…saya kurang mudeng. Tapi, intinya, itu beracun. Dan membunuh orang secara perlahan.

“Tapi itu kan bukan bunuh diri. Itu kan nggak sengaja. Orang juga nggak tahu bahwa selama ini sudah pada bunuh diri dengan minyak jelantah,” mungkin demikian bantah salah seorang ibu.

Kalau ada yang bilang gitu saya akan jawab, “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu…Siapa tahu lho sebenarnya jutaan orang di Indonesia ini pengin bunuh diri tapi nggak menyolok…Jadi matinya itu nggak dirasanin alias digunjingin orang.”

Lha iya toh. Mungkin dia sudah capek protes tentang harga-harga, dari biaya sekolah sampai harga minyak goreng. Merasa nggak ada pihak lain yang berpihak. Merasa sendirian. Terus mutusin bunuh diri secara baik-baik.

Saya sih usulnya, jangan bunuh diri. Kalau bisa. Tapi memeriksa jangan-jangan minyak goreng ini termasuk mitos kebutuhan kita juga. Artinya bukan kebutuhan yang sebenarnya, tetapi dihembus-hembuskan oleh zaman bahwa minyak goreng adalah kebutuhan.

Sama halnya jangan-jangan wanita langsing bukanlah kecantikan itu sendiri. Potensi kecantikan ada di setiap wanita, mau langsing atau gemuk. Tapi zaman ini meniup-niupkan mitos bahwa kecantikan identik dengan kelangsingan, dan kita termakan mitos itu tanpa sadar.

Maksud saya, Bu, daripada putus asa protes sana-sini soal harga minyak goreng, kenapa kita nggak ngerebus makanan saja. Bahkan nasi goreng kalau perlu direbus. Namanya nasi goreng rebus.

Tapi jangan salah. Mas Fransiscus Welirang, pemimpin di Indofood mengingatkan saya, rumah tangga cuma perlu 30 persen dari minyak goreng di pasaran. Sebagian besar justru untuk industri. Antara lain kerupuk. “Dan rata-rata orang Indonesia tidak bisa makan tanpa kerupuk,” katanya.

Oh iya ya? Ah, ibu-ibu, siapa tahu ada di antara ibu-ibu yang punya ide bikin kerupuk rebus. Kasih alamatnya dong?

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 22 Juni 2007)