Sindo

“Ujian Nasional” Ujian Kita Semua, Bukan Cuma Pelajar

3,293 Views

Sidang Ibu-ibu yang saya muliakan. Semingguan ini nyaris tak ada yang saya kerjakan di lapangan kesenian. Entah itu ngedalang, akting, main musik, maupun melukis. Saya cuma jalan kesana-kemari tak tentu tuju. Tapi ternyata ada gunanya juga. Sebagian akan saya ceritakan di sini. Mudah-mudahan membawa manfaat sekadarnya.

Pertama, saya ketemu Yok Koeswoyo. Ternyata sekarang dedengkot Koes Plus itu lebih banyak nyepi di kawasan Pandeglang. Hidup bersama para petani. Malam berbaur bunyi kodok dan jangkrik. Sudah tua memang. Agak iteman. Tapi wajahnya cerah.

Sebetulnya tidak sekadar cerah sih. Tapi saya takut berlebihan kalau menyebut wajah itu bercahaya.

Kenapa ya? Saya baru tahu, tepatnya menduga-duga, rahasia kenapa Mas Yok jadi kayak gitu. Ternyata, ketika saya tawarin makan dan minum, orang Tuban ini menolak halus. Kata sahabatnya, sudah beberapa waktu ini Yok mengurangi makan dan minum, serta mengurangi banyak hal.

Sehari sebelumnya saya semobil bersama seorang kiyai. Ketika melaju di kawasan Kemang, Jakarta, beliau bilang, banyak orang yang menyangka bahwa sangat susah menjalani laku mengurangi banyak hal.

Padahal mungkin, hal-hal kebutuhan orang hidup memanglah cuma makan-minum dan lain-lain sekadarnya. Sebenarnya ya cuma itu. Artinya, orang yang sedang menjalani laku sebenarnya tak sedang mengurangi apa-apa seandainya dalam denyut kesehariannya ia sudah hidup secukupnya.

Makan yang aneh-aneh dan banyak, apalagi yang mahal-mahal, sebetulnya cuma khayalan manusia, bahwa yang seperti itulah yang dibutuhkan di kehidupan bumi.

Iya ya? Saya jadi teringat kata-kata teman, bahwa sarapan pun sebenarnya cuma khayalan manusia bahwa hal itu sudahlah keharusan. Padahal, sarapan tidak wajib. Sama halnya, makan 3 kali sehari adalah khayalan belaka bahwa hal itu merupakan keharusan. Yang bijak adalah makan ketika lapar, dan berhenti menjelang kenyang.

***

Sidang Ibu-ibu yang saya muliakan. Di lain pihak dari pertemuan itu, dalam kurun sepekan ini saya juga bertemu Pak Marzuki Usman, mantan berbagai menteri kita sejak urusan pariwisata sampai kehutanan. Sudah lama kami tak bertemu. Ketemu-ketemu, Pak Marzuki wanti-wanti kita tinggal menghitung hari masuknya berbagai tenaga kerja asing di Indonesia.

Sesuai perjanjian internasional dalam globalisasi, kita tinggal menghitung hari saat makin berduyun-duyunnya tenaga kerja asing. Entah itu dokter, eksekutif-eksekutif perbankan, pengacara dan lain-lain. “Bisa saja nanti sopir taksinya orang India, dan dalangnya orang Thailand,” katanya sambil terkekeh.

Meski bergurau, kayaknya orang Jambi ini sedang mengingatkan saya, bahwa makin tingginya tingkat persaingan kerja akan tiba sebentar lagi. Dan kini pesan itu saya teruskan ke Ibu-Ibu agar disampaikan ke putra-putri. Artinya makin tinggi pula tingkat kemampuan intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan putra-putri buat haha-hehe di masa depan yang telah kian mendekat.

Lantas, lewat forum ini, saya bertanya kepada Mas Yok dan Pak Kiyai itu, makin tingginya tingkat pengetahuan dan ketrampilan nanti cuma khayalan kita aja atau kebutuhan riil yang mesti kita rebut? Kalau khayalan, berarti tak usah babak-belur kita raih. Kalau riil, harus kita buru dengan cara belajar di sekolah yang bagus dan mahal. Harus lulus Ujian Nasional (UN) dengan nilai standar rata-rata 5,0 untuk segenap mata pelajaran. Nggak bisa nggak!

***

Ya, pekan ini saya praktis nggak ngapa-ngapain. Ngider menjajakan lukisan juga nggak. Itu tadi, saya cuma jalan nggak tahu ke mana dan secara kebetulan ketemu orang-orang. Termasuk teman-teman di Gunung Kidul, kawasan Yogyakarta. Di sana banyak orang gelisah karena anaknya nggak lulus UN. Keesokan harinya, di Jakarta, saya baca koran ada 3.000-an lebih siswa sekolah menengah atas di Provinsi DI Yogyakarta nggak lulus UN. Pantes.

Eh, saya juga ketemu sejarawan Pak Anhar Gonggong. Sayangnya lupa saya tanya, tingginya tingkat persaingan nanti itu hanya khayalan kita atau riil akan terjadi. Dia cuma mengingatkan saya bahwa yang termasuk khayalan kita adalah bahwa Indonesia kelanjutan dari Sriwijaya dan Majapahit. Ndak! Indonesia itu sesuatu yang baru. Khayalan akan kebesaran Sriwijaya dan Majapahit akan bikin kita terlena. Katanya, lebih baik kita berpikir buat kejayaan negeri ini di masa depan.

Ya, oke Pak Anhar, sekarang lewat forum ini sampeyan tak tanyain. Tingginya tingkat persaingan kerja nanti itu termasuk khayalan kita juga atau justru memang kebutuhan riil kita? Kalau riil, berarti sama dengan makan secukupnya, kenapa tidak membuat wajah orang-orang yang mengejar itu cerah bagai Yok Koeswoyo?

Kenapa guru-guru juga ikut panik sampai berbaik hati “menghadapi” sendiri atau jadi tameng UN agar murid-muridnya lulus, padahal wayang mengajarkan murid-muridlah yang harus mengadapi musuh (ujian) sebelum guru turun tangan (ini sekaligus menguji hebat tidaknya ilmu yang diturunkan oleh sang guru)?

“Persaingan itu riil, yang khayal adalah ketakutan kita untuk menghadapi persaingan itu. Ketakutan selalu berhubungan dengan khayalan pada sesuatu yang belum kejadian…bahwa kalau tak lulus UN kita pasti susah…bahwa kalau tidak kerja di perusahaan tertentu kita bakal mati, ” kata sang kiyai.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 15 Juni 2007)